PERTEMUAN DENGAN KHIDRKhidr adalah 'pemandu gaib' kaum Sufi, dan ia dipercaya sebagai Penuntun tanpa nama bagi Musa a.s. di dalam al-Qur'an. 'Orang Berbaju Hijau' ini sering dihubungkan sebagai 'Orang Yahudi' dan dalam legenda disamakan dengan tokoh-tokoh seperti St. George dan Elijah. Dongeng ini --atau laporan-- adalah karakteristik dari fungsi supranatural yang dihubungkan pada Khidr, baik dalam cerita rakyat maupun diantara guru-guru darwis. Suatu ketika, saat berdiri di tepi sungai Oxus, aku melihat seorang pria tercebur. Pria lainnya, berbusana darwis, berlari menolongnya, tetapi dia sendiri terseret ke dalam air. Tiba-tiba aku melihat pria ketiga, berpakaian jubah berkilauan, hijau bercahaya, melemparkan diri ke air. Tetapi saat ia menyentuh permukaan air, bentuknya tampak berubah; ia bukan lagi seorang manusia, melainkan sebatang kayu. Dua orang lain berusaha meraihnya, dan bersama-sama mereka mencapai tepi. Sulit untuk mempercayai apa yang telah kulihat, aku mengikuti dari kejauhan, menggunakan semak-semak yang tumbuh di sana sebagai pelindung. Dua pria menarik diri terengah-engah di tepian sungai; batang kayu tersebut terus hanyut. Aku mengawasinya, sampai jauh lepas dari pandangan, dan tersangkut di pinggir, dan pria berjubah hijau, basah kuyup, menarik diri ke pinggir. Air yang membasahinya mulai menetes; sebelum aku mencapainya, ia sudah hampir kering. Aku menjatuhkan diri di depannya, menangis: "Anda pasti Khidr yang Hadir, Orang Berjubah Hijau, Guru Para Suci. Berkati aku, agar dapat mencapai." Aku takut menyentuh jubahnya, karena tampak menjadi seperti api hijau. Dia berkata; "Engkau sudah terlalu banyak melihat. Mengertilah bahwa aku datang dari dunia lain, dan aku tanpa mereka ketahui melindungi orang-orang yang telah melakukan pelayanan. Engkau mungkin murid Sayed Imdadullah, tetapi engkau belum cukup dewasa untuk mengetahui apa yang kami lakukan demi Allah." Ketika aku mendongak, ia sudah lenyap, dan yang dapat aku dengar adalah suara gemuruh di udara. Setelah kembali dari Khotan, aku melihat orang yang sama. Ia tengah berbaring di atas kasur jerami di sebuah tempat peristirahatan dekat Peshawar. aku berkata pada diriku sendiri, "Bila waktu lalu aku masih mentah, maka sekarang sudah dewasa." Aku memegang jubahnya, yang ternyata sangat biasa --kendati di baliknya aku melihat sesuatu kilau hijau. "Anda pasti Khidr," kataku padanya, "Tetapi aku harus tahu bagaimana orang yang tampak biasa seperti Anda menunjukkan keajaiban-keajaiban ... dan mengapa. Jelaskan keahlian Anda padaku, agar aku dapat melakukannya pula." Ia tertawa, "Engkau tidak sabar, temanku! Waktu lalu engkau terlalu keras kepala --dan sekarang masih keras kepala. Pergilah, ceritakan pada siapa pun yang engkau jumpai bahwa engkau telah bertemu Khidr Ilyas; mereka akan memasukkanmu ke rumah sakit jiwa, dan semakin bersikeras bahwa engkau benar, mereka akan semakin mengikatmu." Kemudian ia mengambil sebuah batu kecil. Aku menatapnya -- dan mendapatkan diriku lumpuh berubah seperti batu, sampai ia mengambil tas-pelananya dan berlalu. Ketika aku ceritakan kisah ini, orang-orang tertawa atau menganggapku tukang cerita, dan memberiku hadiah. HASAN AL-BASHRIKetika ia ditanya: "Apakah Islam, dan siapakah ummat Muslim?" ia menjawab: "Islam ada di dalam buku, dan muslim ada di pusara." APA YANG SESUNGGUHNYA DIKETAHUI MANUSIAManusia menganggap, secara khayal, bahwa mereka mengetahui Kebenaran dan pemahaman Ilahiyah. Kenyataannya, mereka tidak tahu apa-apa. (Al-Jurjani) SUFYAN ATS-TSAURISeorang pria dalam mimpinya berjumpa dengan Sufi yang dihormati karena perbuatan baiknya. "Aku diberi penghargaan karena menyingkirkan kulit buah di jalan, yang seseorang dapat terpeleset olehnya," ujar si Sufi. Ketika hal ini dilaporkan kepada Sufyan ats-Tsauri, berkata; "Betapa beruntungnya ia tidak dihukum untuk setiap peristiwa dimana ia beramal dan merasa senang atas perbuatan itu." (Al-Ghazali) DOSADosa menentang Allah adalah satu hal; tetapi dosa pada sesama manusia adalah lebih buruk. (Sufyan ats-Tsauri) MANUSIA HARUS DALAM KEADAAN BENARUwais al-Qarni berkata pada beberapa pengunjung: "Apakah engkau mencari Allah? Jika demikian, mengapa engkau datang kepadaku?" Para pengunjung hanya berpikir bahwa mereka memang mencari Allah. Kehadiran mereka dan emanasi (pancaran) mereka terbuka. "Jika engkau tidak demikian," lanjut Uwais, "kendaraan apa yang mengangkut dirimu denganku?" Karena mereka para cendekiawan dan emosionalis, mereka tidak dapat memahaminya. BAYAZID AL-BISTHAMISeorang Majusi pemuja api ditanya, mengapa ia tidak menjadi Muslim. Ia menjawab: "Jika maksudmu bahwa aku harus menjadi orang sebaik Bayazid, aku tidak berani. Bagaimanapun, jika maksudmu aku harus menjadi orang sejelek engkau, aku tidak sudi." KELASKelas-kelas yang lebih rendah pada masyarakat adalah mereka yang mempergemuk diri sendiri dalam kehidupan atas nama agama. (Ibnu al-Mubarak) NAMA-NAMAEngkau menyebutku orang Kristen, untuk membuatku marah dan membuat dirimu sendiri merasa senang. Lainnya menyebut diri mereka orang Kristen, untuk membuat diri mereka sendiri merasakan emosi yang lain. Baiklah jika kita berurusan dengan kata-kata yang menyenangkan, aku akan menyebutmu penyembah setan. Itu akan memberimu suatu agitasi yang akan menyenangkan dirimu untuk beberapa waktu. (Zabardast Khan) BAYAZID AL-BISTHAMISeorang pria religius yang tulus, murid Bayazid, suatu hari berkata padanya: "Aku terkejut bahwa seseorang yang menerima Allah tidak harus hadir di masjid untuk shalat." Bayazid menjawab: "Aku, di lain pihak, terkejut bahwa siapa pun yang mengetahui Allah dapat memuja dan tidak kehilangan akal sehatnya, menjalankan shalatnya yang tidak sempurna." MELAYANIAku tidak akan melayani Allah seperti seorang buruh, dalam pengharapan akan upahku. (Rabi'ah al-Adawiyah) MENJADI SEORANG BERIMANEngkau mungkin melihat dirimu sendiri menjadi seorang beriman, bahkan bila engkau adalah penganut kemusyrikan. Tetapi engkau tidak dapat benar-benar percaya pada sesuatu sampai engkau menyadari proses di mana engkau berada pada posisimu. Sebelum engkau melakukan ini, engkau harus siap pada dalil (postulat), bahwa semua keyakinanmu mungkin salah, bahwa apa yang engkau anggap keyakinan mungkin hanya sejenis prasangka yang disebabkan oleh sekitarmu --termasuk warisan leluhurmu, yang engkau mungkin memiliki keterikatan perasaan padanya. Keyakinan sejati milik kerajaan pengetahuan sejati. Hingga engkau memiliki pengetahuan, keyakinan adalah gabungan opini semata, bagaimanapun hal itu mungkin tampak bagimu. Gabungan opini melayani kehidupan biasa. Keyakinan hakiki dimungkinkan oleh pembelajaran yang lebih tinggi. (Diatributkan pada Ali) PANDAI BESI DARI NISYAPURAbu Hafsh sang pandai besi dari Nisyapur menunjukkan tanda-tanda anugerah yang aneh melalui kekuatan perhatiannya, dari awal ia menjadi murid. Ia diterima sebagai penganut Syeikh Bawardi, dan kembali ke bengkel melanjutkan kerjanya. Ketika pikirannya terpusat, ia menarik sepotong besi membara dari tempaan dengan tangan telanjang. Kendati ia tidak merasa panas, pembantunya pingsan melihat pemandangan yang belum pernah terjadi ini. Ketika ia menjadi Syeikh Agung kaum Sufi di Khurasan, tercatat bahwa ia tidak berbicara bahasa Arab dan menggunakan penerjemah ketika berbicara dengan pengunjung Arab. Namun, ketika ia mengunjungi Sufi agung di Baghdad, ia berbicara dengan bahasa demikian bagus sehingga kemurnian bicaranya tidak tertandingi. Ketika Syeikh Baghdad memintanya untuk mengatakan pada mereka arti kemurahan hati, ia menjawab, "Aku akan mendengar penjelasan yang lain lebih dulu." Guru al-Junaid kemudian berkata, "Kemurahan hati adalah tidak menyamakan kemurahan hati dengan dirimu sendiri, dan tidak mempertimbangkannya." Abu Hafsh berkomentar, "Perkataan Syeikh sangat bagus. Tetapi aku merasa bahwa kemurahan hati berarti melakukan keadilan tanpa menghendaki keadilan." Al-Junaid berkata pada yang lain, "Berdirilah kalian semua! Karena Abu Hafsh melebihi Adham dan seluruh bangsanya." Abu Hafsh pernah berkata, "Aku meninggalkan kerja, dan kemudian kembali. Lalu kerja meninggalkanku, dan aku tidak pernah kembali." (Hujwiri: The Revelation of the Veiled) ASY-SYIBLI DAN AL-JUNAIDAbu Bakr ibnu Dulaf ibnu Jahdar ('asy-Syibli'), dan Abul Qasim al-Junaid, si 'Merak Kaum Terpelajar', adalah dua guru Sufi awal. Mereka berdua hidup dan mengajar lebih dari seribu tahun yang lalu. Kisah tentang masa belajar asy-Syibli di bawah al-Junaid, diberikan di sini, diambil dari The Revelation of the Veiled, salah satu dari buku-buku penting dalam bidangnya. al-Junaid sendiri memperoleh spiritualitasnya melalui pengaruh Ibrahim ibnu Adham ('Ibnu Adhem' dalam puisi Leigh Hunt), ia sebagaimana Budha, adalah seorang pangeran yang turun tahta mengikuti tarekat (Jalan), dan meninggal pada abad kedelapan. Asy-Syibli, anggota istana yang angkuh, pergi ke al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, "Aku dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah padaku." Al-Junaid berkata, "Aku tidak dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara." "Apa yang harus kulakukan?" tanya asy-Syibli. "Pergilah dan jadilah penjual belerang." Setahun berlalu, al-Junaid berkata padanya, "Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan jadi apa pun selain mengemis." Asy-Syibli menghabiskan satu tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke al-Junaid, dan sang Guru berkata kepadanya: "Bagi ummat manusia, kau sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka." Ia pergi, menemukan mereka semua kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan mereka. Sekembalinya asy-Syibli, al-Junaid berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai pagi berikutnya. Ia diterima sebagai murid. Setahun sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa menjadi orang paling rendah dari seluruh makhluk. Ia menggunakan ilustrasi perbedaan antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas. Suatu hari, karena bicaranya tidak jelas, ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat. Dia berkata: - Bagi pikiranmu, aku gila.
- Bagi pikiranku, engkau semua bijak.
- Maka aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku
- Dan meningkatkan kebijakanmu
- 'Kegilaanku' dari kekuatan Cinta;
- Kebijakanmu dari kekuatan ketidaksadaran.
GHULAM HAIDAR DARI KASHMIRMendengarkan suatu perdebatan diantara murid-muridnya, mengenai pentingnya ketaatan dengan sangat teliti terhadap hukum keagamaan, sebagai sarana penerangan, Ghulam Haidar memberi perintah, atas suatu alasan, agar mengumpulkan orang-orang berikut dan dibawa ke hadapannya; Seorang Yahudi, seorang Kristen, seorang Zoroaster, seorang pendeta Hindu, seorang Sikh, seorang Budha, seorang Farangi ('Frank' atau Kristen), seorang Syiah, seorang Sunni, seorang penyembah berhala, dan lainnya. Terakhir, termasuk pedagang, pekerja, petani, pendeta dan pramuniaga, tukang roti dan berbagai tipe perempuan. Selama tiga tahun murid-muridnya mengumpulkan orang-orang ini di satu tempat secara bersamaan, tidak memberitahu mereka bahwa kehadiran mereka diminta oleh guru. Dalam usaha tersebut, mereka menyebarkan rumor, tentang harta karun di Kashmir, dijadikan pedagang, dikirim ke tempat jauh untuk menjadi guru pribadi serta pelayan. Akhirnya, semua terkumpul. Ketika diberitahu bahwa sudah ada, Ghulam Haidar menyuruh mereka agar orang-orang tersebut diundang makan di Gedung Kuliahnya, Zawiya. Ketika semua selesai makan, Pir (Ghulam Haidar) menunjukkan kepada tamu yang sebagian besar adalah orang-orang asing yang tidak mengikuti ajarannya. Juga hadir semua murid, yang telah diberitahu tidak boleh ikut ambil bagian dalam acara tersebut, kecuali menonton. Ghulam Haidar berbicara dalam beberapa bahasa, menjelaskan perlunya bagi manusia untuk mengabdikan dirinya pada usaha, dan menguasai misteri yang menjadi hak asasinya, tanpa memperhatikan prasangkanya. Tanpa kecuali, orang-orang tersebut berhasrat mengikuti Pir, dan rasa saling benci mereka hilang. Dan tamu-tamu tersebut tersebar, bahwa guru dikenal sebagai 'Sepotong Roti'; mereka 'Adonan yang dibuat Kashmir Pir', tanpa menghiraukan prasangka dasar mereka. Setelah pertemuan ini, Haidar berkata: "Adonan adalah adonan," dan "satu adonan tidak lebih baik dari yang lainnya." JANGAN MAKAN BATUSeorang pemburu berjalan menembus hutan, dan ia melihat sebuah papan pemberitahuan yang dibacanya: 'Dilarang Makan Batu'. Keingintahuannya timbul, dan ia mengikuti jalan setapak melewati tanda tersebut sampai tiba di sebuah gua, di pintu masuk terdapat seorang Sufi sedang duduk. Sufi berkata padanya: "Jawaban untuk pertanyaanmu adalah bahwa engkau tidak pernah melihat sebuah pemberitahuan larangan makan batu, karena memang tidak dibutuhkan siapa pun. Tidak makan batu bisa disebut kebiasaan umum." "Hanya apabila manusia mampu menghindari kebiasaan lain yang sama, bahkan lebih destruktif daripada makan batu, ia akan bisa melebihi keadaannya yang menyedihkan pada saat ini." MENGAPA ANJING TIDAK DAPAT MINUMAsy-Syibli ditanya: "Siapa yang membimbingmu di jalan?" Ia berkata, "Seekor anjing. Suatu hari aku melihatnya hampir mati kehausan, berdiri di tepi air. Setiap kali melihat bayangannya di air, ia ketakutan dan mundur, karena dikiranya itu anjing lain. Akhirnya, karena sangat membutuhkan, ia mengusir rasa takutnya dan melompat ke air; dan 'anjing lain' itu pun lenyap." Anjing tersebut menemukan bahwa rintangan, yang ternyata dirinya sendiri, penghalang antara dirinya dan apa yang ia cari, mencair. "Dalam cara yang sama, rintanganku sendiri lenyap, ketika aku tahu bahwa itu adalah apa yang kuambil sebagai milikku sendiri. Dan jalanku pertama kali ditunjukkan padaku melalui perilaku seekor anjing." PERAGAAN LATIHANSuatu hari, orang yang jahat mengundang Osman al-Hiri untuk makan bersamanya. Ketika Syeikh datang, orang tersebut mengusirnya. Tetapi ketika sudah pergi beberapa langkah, ia memanggilnya kembali. Hal ini terjadi lebih dari tigapuluh kali, sampai orang lain, tidak sabar melihat kesabaran dan kelembutan sang Sufi, segera berlutut mohon ampun. "Engkau tidak mengerti," ujar al-Hiri, "Apa yang kulakukan tidak lebih dari yang dilakukan anjing terlatih. Kalau engkau memanggilnya, ia datang; ketika engkau mengusirnya, ia pergi. Perilaku ini bukan ciri Sufi, dan tidak sulit dilakukan oleh siapa pun." APA YANG DIUCAPKAN SETANPada suatu ketika terdapatlah seorang darwis. Saat duduk merenung, ia memperhatikan bahwa terdapat semacam setan di dekatnya. Si darwis berkata, "Mengapa engkau duduk di sana, tidak berbuat jahat?" Setan mendongakkan kepala dengan letih, "Sejak para ahli dan calon guru di tarekat semakin bertambah, tidak ada lagi yang dapat kulakukan." EMPAT SYEIKH DAN KHALIFAHKhalifah Manshur memutuskan untuk mengangkat salah satu dari empat Syeikh Sufi Agung, menjadi Hakim Agung di Kerajaan. Mereka dipanggil ke Istana -- Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, Misar dan Syuraih -- tetapi di jalanan mereka sudah membuat rencana. Abu Hanifah, salah seorang dari Empat Doktor Utama Ilmu Hukum, sebagaimana dia sekarang disebut, berkata: "Aku akan lari dari kedudukan tersebut dengan pengelakan. Misar akan berpura-pura gila. Sufyan akan melarikan diri; dan aku perhitungkan bahwa Syuraih yang akan menjadi Hakim." Sufyan segera pergi dan menghilang, melarikan diri menjadi terhukum karena tidak setia. Tiga orang yang lainnya masuk dan mendatangi Khalifah. Pertama, Manshur berkata pada Abu Hanifah, "Engkau akan menjadi Hakim." Abu Hanifah menjawab, "Wahai Pemimpin Ummat, aku tidak bisa, aku bukan orang Arab; oleh karena itu aku tidak mungkin diterima oleh orang-orang Arab." Khalifah berkata, "Ini tidak berkaitan dengan darah. Kita perlu pelajaran, dan engkau guru paling dihormati saat ini." Abu Hanifah bersikeras, "Jika kata-kataku benar, aku tidak dapat menjadi Hakim. Dan jika mereka salah, aku tidak pantas untuk kedudukan itu, dan karena itu aku tidak memenuhi syarat." Maka Abu Hanifah menjelaskan maksudnya, dan dibebaskan. Misar, calon kedua yang merasa segan, mendekati Pemimpin Ummat dan menyentuh tangannya, menangis: "Apakah engkau baik-baik, engkau dan si kecil dan ternakmu?" "Bawa dia," teriak Khalifah, "Karena jelas ia gila." Hanya tinggal Syuraih, dan mengaku sakit. Tetapi Manshur menyuruhnya menjalani pengobatan, dan menjadikannya Hakim. MASALAH KEHORMATANSeorang Sufi pengembara, ditemukan di padang pasir, dibawa ke tenda kepala suku Badui yang liar. "Kau mata-mata musuh kami, dan karena itu kami akan membunuhmu," ujar kepala suku. "Aku tidak bersalah," jawab Sufi. "Kau lihat pedang ini?" tanya Sufi, menggambar pedang. "Sebelum kau dapat mendekatiku, akan kubunuh salah satu dari orang-orangmu di sini. Jika kulakukan; kau akan memiliki hak yang sah untuk membalas kematiannya. Sementara melakukan itu, aku akan menyelamatkan kehormatanmu, yang saat ini dalam bahaya karena ternoda oleh darah seorang Sufi." FUDHAIL ORANG JALANAN DAN ANAKNYAFudhail ibnu Ayyadh, dulunya adalah orang gelandangan. Setelah berubah ke kehidupan religius, ia merasa bahwa dirinya menyembah Allah di jalan yang benar dan membayar perbuatan jahatnya, karena itu ia mencari semua korban dan mengganti kerugian mereka. Suatu hari, ia merasakan pengalaman aneh. Ia meletakkan anaknya di lututnya dan menciumnya. "Apakah engkau menyayangiku?" tanya si anak, "Ya, tentu saja," jawab Fudhail. "Tetapi bukankah engkau juga menyayangi Allah, seperti yang sering engkau katakan padaku?" "Ya, aku yakin demikian," jawab si ayah. "Tetapi bagaimana, engkau dapat dengan satu hati mencintai dua kekasih?" Sejak saat itu Fudhail menyadari bahwa apa yang dicintai, sesungguhnya hanyalah sentimentalitas, dan bahwa ia harus menemukan bentuk cinta yang lebih tinggi. Peristiwa tersebut adalah merupakan asal perkataannya: "Apa yang secara umum dianggap sebagai pencapaian ummat manusia paling tinggi atau mulia, sesungguhnya adalah tingkatan paling rendah dari hal-hal tinggi yang mungkin dicapai bagi ummat manusia." MASALAH KEDERMAWANANSeorang murid, memberi hormat kepada Sufi, dengan penuh ingin tahu ia bertanya, "Mengapa tigapuluh bagal Herat yang amat bagus ada di halaman Anda?" Sang Guru menjawab, "Mereka untukmu." Murid senang sekali mendengar bahwa mereka semua untuknya, kendati demikian ia bertanya, "Aku harus membayar tentunya?" "Harganya," ujar guru, "mungkin lebih dari yang dapat kau bayar dengan dirimu sendiri. Tetapi syaratnya, jangan mengatakan pada siapa pun bahwa aku memberimu bagal. Aku di sini bukan untuk dikenal sebagai 'orang baik' diantara orang lain karena perbuatan demikian. Pada umumnya orang berpikir bahwa sesuatu 'baik' yang akibat dan asalnya tidak dapat mereka mengerti." "Tidak ada yang lebih kecil daripada hargamu," jawab murid. Ia tuntun bagal-bagal tersebut dengan gembira, berbicara pada dirinya sendiri, "Guruku sesungguhnya menguntungkan diriku. Ini manifestasi luar dari suatu berkah bagian dalam." Senja tiba, dan dalam beberapa saat murid tersebut sudah ditangkap patroli malam. Salah seorang dari mereka bicara pada yang lain, "Kita tuduh saja orang ini atas kejahatan tertentu yang tidak dapat kita pecahkan. Kita dapat menduga bahwa ia membeli bagal-bagal ini dari keuntungannya mencuri, jika ia tidak dapat mempertanggungjawabkan kemilikan mereka. Ia mungkin bersalah, tengah dalam pengobatan dan miskin. Sebagian dari kita pernah melihatnya sebelumnya, dan percaya bahwa ia mempunyai teman dengan karakter rneragukan." Dibawa ke depan pengadilan sumir, si murid pertama-tama menolak menjawab berbagai pertanyaan tentang asal-mula bagal tersebut. Hakim yang memeriksa memerintahkan agar ia dimasukkan ke tempat interogasi. Sementara itu, murid yang lain mendatangi guru, yang mengirim mereka, secara berantai, mengikuti nasib dari murid pertama. Mereka melaporkan, dari waktu ke waktu, "Ia menolak bicara," dan, "Ia semakin lemah -- mereka menyiksanya." Akhirnya Sufi berdiri dan tergopoh-gopoh menuju pengadilan. Ia bersaksi hahwa dirinya yang memberi bagal-bagal kepada orang tersebut,. karenanya si tahanan dibebaskan. Kemudian ia menunjuk pengadilan, muridnya dan publik, yang bingung atas peristiwa tersebut: "Reputasi kedermawanan mengandung tiga kejahatan; ia dapat merusak manusia yang mempunyai reputasi ini; dapat membahayakan manusia yang memuja kedermawanan jika ia menirunya secara bebal; dapat mengikis siapa pun yang menerima kedermawanan jika ia tahu pemberinya. Seharusnya tidak ada kewajiban apa-apa. Itulah mengapa Sufi berkewajiban melatih kedermawanan dengan kerahasiaan yang lengkap. Bentuk kedermawanan paling tinggi yang dikenal orang awam sebanding dengan tingkat paling rendah kedermawanan sejati. Semula diadakan sebagai cara mengenalkan orang pada kebebasan. Kemudian menjadi berhala dan kutukan." ORANG YANG BERUNTUNGAl-Mahdi Abbassi mengemukakan pendapat yang dapat dibuktikan bahwa, apakah orang-orang mencoba membantu seseorang atau tidak sesuatu yang ada pada seseorang dapat menggagalkan sebuah tujuan tersebut. Beberapa orang keberatan dengan teori ini, ia menjanjikan sebuah demonstrasi. Ketika setiap orang lupa peristiwa tersebut, al-Mahdi menyuruh seorang pria meletakkan sekarung emas di tengah jembatan. Pria lain diminta membawa orang berhutang yang tidak beruntung ke salah satu ujung jembatan dan menyuruhnya menyeberang. Abbassi dan saksi-saksinya berdiri di ujung jembatan yang lain. Ketika orang itu pergi ke ujung lain, Abbassi bertanya padanya, "Apa yang kau lihat di tengah jembatan?" "Tidak ada,", jawabnya. "Bagaimana bisa demikian?" "Segera setelah aku mulai menyeberangi jembatan, pikiran yang ada padaku adalah bahwa barangkali menyenangkan menyeberang dengan mata tertutup. Dan kulakukan." BUNGA DAN BATUKetika guru agung dan syuhada Manshur al-Hallaj berada di tengah kerumunan, dihukum karena kemurtadan dan bid'ah, ia tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan saat tangannya dipotong di depan umum. Ketika kerumunan orang melempar batu yang menyebabkan luka parah, ia tenang saja. Salah seorang temannya, seorang guru Sufi, mendekatinya dan memberinya -- bunga. Manshur berteriak seolah dalam siksaan. Ia melakukan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak dapat disakiti oleh perbuatan orang-orang yang mengira mereka berbuat benar. Tetapi hanya sentuhan dari orang yang tahu, seperti dia, bahwa dirinya dihukum dan dituduh dengan tidak adil, jauh lebih menyakitkan baginya dari siksaan apa pun. Manshur dan teman Sufinya, tidak berdaya kendati mereka ada di depan tirani seperti itu, teringat akan pelajaran tersebut. Sementara penganiaya-penganiaya mereka hampir terlupakan. Saat sekarat, Manshur berkata, "Orang-orang di dunia ini mencoba berbuat baik. Aku anjurkan engkau mencari sesuatu di mana bagian paling kecilnya lebih berarti daripada semua kebaikan; pengetahuan tentang kebenaran -- pengetahuan sejati." HANBAL DAN PEMIKIRAN YANG TERKONDISIAhmad ibnu Hanbal adalah pendiri salah satu dari empat madzhab hukum yang besar, dan sahabat beberapa Guru Sufi awal. Di masa tua dan lemahnya, sebuah kelompok bid'ah di Baghdad merampas kekuasaan dan mencoba menyingkirkan dirinya, yang dari sudut pandang mereka dianggap sebagai kebenaran. Imam Ahmad menolak, maka ia diberi seribu cambukan dan disiksa. Sebelum mati, dan memang meninggal segera setelah disiksa, ia ditanya apa yang ia pikirkan tentang pembunuh-pembunuhnya. Katanya, "Aku hanya dapat mengatakan bahwa mereka memukulku karena mereka percaya bahwa mereka benar dan aku salah. Bagaimana aku dapat menuntut keadilan terhadap mereka yang percaya bahwa mereka benar?" ORANG PERCAYA APA YANG DIKIRA BENARAjaran, sebagaimana kebiasaannya, sepanjang urusan kehidupan secara umum. Syeikh Abu Thahir al-Harami mengendarai keledainya ke pasar, seorang murid mengikuti di belakang. Di sisinya, seseorang berteriak, "Lihat, ini orang kafir kuno!" Sang pengikut al-Harami, timbul amarahnya, berteriak pada tukang fitnah tersebut. Sebelum pertikaian semakin sengit, Sufi menenangkan muridnya, berkata, "Jika engkau menghentikan pertengkaran ini, aku akan menunjukkan padamu bagaimana engkau dapat melarikan diri dari persoalan seperti ini." Mereka pergi bersama ke rumah Syeikh. Lantas Syeikh menyuruh pengikutnya membawakan sekotak surat: "Lihatlah ini. Semua surat ini ditujukan padaku. Tetapi mereka menulis istilah yang berbeda. Ini seseorang menyebutku 'Syeikh Islam', kemudian, 'Guru Mulia'. Lainnya mengatakan aku 'Orang Bijak dari Altar Kembar'. Dan sebutan-sebutan lainnya. Amatilah bagaimana masing-masing sebutanku sesuai dengan anggapan mereka. Tetapi aku tidak satu pun seperti apa yang ia pikirkan demikian. Demikian itulah yang baru saja dilakukan orang malang di pasar tadi. Dan engkau menolaknya. Mengapa engkau berbuat demikian -- sudah menjadi aturan umum dalam kehidupan?" ARAH MANA YANG BENAR?Seorang bijak yang dihormati secara luas, menjadi irrasional dalam mengajukan fakta-fakta dan argumentasi. Diputuskan untuk mengujinya, sehingga yang berwenang di negara tersebut dapat menyatakan apakah ia membahayakan tatanan masyarakat atau tidak. Pada hari pengujian, ia berparade melewati ruang pengadilan menunggang seekor keledai, menghadap ke belakang keledai. Ketika saatnya berbicara untuk dirinya sendiri, ia berkata pada hakim: "Saat Anda melihatku tadi, ke arah mana aku menghadap?" Hakim menjawab, "Menghadap ke arah yang salah." "Anda menggambarkan maksudku," jawabnya, "karena aku telah menghadap ke arah yang benar, dari sudut pandangku. Keledainyalah yang menghadap ke arah yang salah." SANG GURUBerkaitan dengan guru Sufi, bahwa di masa mudanya, ia ingin mendekatkan diri pada guru yang tengah mengajar. Maka ia mencari guru, dan minta menjadi muridnya. Guru berkata, "Kau belum siap." Karena anak muda itu terus bersikeras, guru mengatakan, "Baiklah, aku akan mengajari engkau sesuatu. Aku akan pergi haji ke Mekkah. Ikutlah bersamaku." Si murid sangat gembira. "Karena kita bepergian bersama," ujar guru, "yang satu harus memimpin, lainnya patuh. Pilih peranmu." "Aku akan mengikuti, Anda memimpin," jawab murid. "Jika kau tahu bagaimana mengikuti," ujar guru. Perjalanan dimulai. Saat mereka istirahat semalam di padang pasir Hijaz, mulailah hujan. Guru berdiri dan memegang penutup untuk murid, melindunginya. "Tetapi ini yang seharusnya kulakukan untuk Anda," ujar si murid. 'Aku perintahkan kau untuk membiarkan aku melindungimu," ujar guru. Saat tengah hari, anak muda berkata, "Sekarang hari baru. Biarkan aku jadi pemimpin, dan Anda mengikutiku." Guru setuju. "Sekarang aku akan mengumpulkan ranting kayu, untuk membuat api," kata anak muda. "Kau tidak boleh melakukan itu, aku yang akan mengumpulkannya," jawab guru. "Aku perintahkan Anda duduk di sana sementara aku mengumpulkan ranting kayu," ujar si anak muda. "Kau tidak boleh melakukan ini," jawab guru, "karena ini tidak sesuai dengan persyaratan pengikut membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpin." Maka pada setiap kesempatan, Guru menunjukkan pada murid, apa sesungguhnya arti murid, melalui demonstrasi. Mereka berpisah di pintu gerbang Kota Suci. Menemui guru selanjutnya, anak muda itu tidak dapat menemukannya. "Itulah yang harus kau pelajari," ujar orang lebih tua darinya, "adalah sesuatu tentang sikap dasar hubungan murid." Murid harus tahu bagaimana mematuhi, bukan semata ia harus taat. Pertanyaan apakah menjadi murid atau tidak, datang setelah seseorang tahu apa sesungguhnya murid. Orang-orang menghabiskan waktu mereka bertanya-tanya apakah mereka harus menjadi murid -- atau yang lainnya. Sejak asumsi mereka (bahwa mereka dapat menjadi murid jika mengharapkannya) tidaklah benar, mereka hidup di dunia yang salah, dunia kaum intelektual. Orang-orang seperti itu tidak mempelajari pelajaran pertama. HILALI DARI SAMARKANDHilali, ditemani lima muridnya, melakukan perjalanan jauh melintasi Asia Tengah. Dari waktu ke waktu, Hilali membuat rombongannya bertindak dalam cara beragam. Inilah beberapa petualangan mereka: Ketika mereka mencapai Balkh dan utusan dari penduduk kota datang menyambut Guru, Hilali berkata kepada Yusuf Lang, "Kau jadilah Guru." Yusuf pun diterima dan dihormati. Laporan-laporan menyebar tentang keajaiban yang terjadi hanya dengan tinggal di bawah atap yang sama seperti orang-orang sakit. "Inilah apa yang orang-orang pikir mengenai kedarwisan, dan apa yang kita tahu tidaklah demikian," ujar Hilali. Di Surkhab, rombongan memasuki kota yang semua penduduk berpakaian sama, tidak seorang pun berjalan di depan yang lain. "Manakah Guru Agung?" tanya pemimpin kota. "Akulah ia," jawab Hilali. Tiba-tiba mereka mundur sambil berseru, "Kami mengetahuinya melalui Cahaya Matanya." "Ambil pelajaran dari ini," ujar Hilali kepada rombongannya. Ketika memasuki Qandahar mereka diberi banyak makanan oleh Pemimpin Sardar, semua duduk melingkar. Hilali memberi perintah bahwa ia harus diperlakukan seperti murid, dan Jafar Akhundzada diperlakukan seperti Guru. Tetapi Pemimpin Sardar berkata, "Bahwasanya, rombongan ini bersinar dengan cahaya spiritual, dan apa pun yang kau katakan tentangnya, aku menganggapnya sebagai Qutub, Pusat Daya Tarik Zaman." Semua menghormati Hilali, yang terpaksa memperkenalkan diri, Sardar meskipun penguasa, juga mempunyai kapasitas merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain. KUTUKAN ORANG BADUISuatu hari, di Oasis Kufah, seorang suku Badui yang kasar melangkahi Hasan, cucu Nabi Muhammad saw, dan mencacinya, ayahnya dan ibunya. Hasan berkata, "Orang Badui, apakah kau perlu bantuan? Apa masalahmu?" Tetapi si Badui, tanpa memperhatikan sama sekali, terus berteriak dan menyumpah. Hasan membawa uang dan memberikannya pada orang tersebut, dan bicara padanya lagi: "Orang Badui, maafkan! Hanya ini yang ada di rumah ini; tetapi aku berkata, bahwa jika kami mempunyai yang lain, akan kuberikan padamu, tanpa syarat." Ketika mendengar kata-kata ini, si Badui tertegun dan menangis, "Aku bersaksi bahwa kau benar-benar cucu Nabi. Karena aku datang ke sini untuk menguji apakah silsilahmu dan sikapmu sesuai satu dengan yang lainnya." MENGAPA DARWIS DI ISTANASalah satu perintah Hadrat ibnu al-Khafif di Syiraz adalah: "Seharusnya Sufi tidak mendatangi penguasa, atau datang dengan senang hati jika diundang olehnya." Oleh karena itu, merupakan suatu peristiwa yang mengejutkan bagi dua orang calon Sufi yang tiba di rumahnya (Ibnu al-Khafif), saat mereka bercerita bahwa ia berada di istana raja. Mereka berubah pikiran tentang kesucian sang Guru dan memutuskan berjalan di kota sebagai pengganti penghormatan mereka padanya. Mengunjungi sebuah toko, mereka dengan tidak merasa berdosa terlibat dalam suatu pertengkaran, karena dituduh mencuri dan diseret di depan pengadilan raja. Diyakinkan oleh penjaga toko bahwa keduanya bersalah, kerajaan memerintahkan agar mereka segera dibunuh, sebagai pelajaran bagi yang lain. Ibnu al-Khafif, masih di pengadilan istana, menengahi dan hidup mereka diselamatkan. "Mungkin sudah wajar bagimu berpikir bahwa tidak seharusnya aku ada di istana," ujar guru kepada keduanya, "tetapi setidaknya pelajarilah bahwa seorang Sufi melakukan hal-hal yang tak terduga karena alasan-alasan yang tidak kelihatan tetapi cukup beralasan." |