hamba yang hina

Name: Aku
rumah: Di dalam aku
hamba:Jalantrabas Jalan Yang Cepat Menuju Ilahi

 

KOLOM BERITA

 

ARCHIEVES

 

SHOUTBOX

 

Pengunjung

geovisite
geovisite

 

Links

 
 

Wednesday 27 August 2008
Tarekat Ala Syekh Suchrawardi
Syeikh Ziauddin Jahib Suhrawardi, mengikuti disiplin Sufi kuno, Junaid al-Baghdadi, dianggap sebagai pendiri tarekat ini pada abad kesebelas Masehi. Seperti halnya tarekat-tarekat lain, guru-guru Suhrawardi diterima oleh pengikut Naqsyabandi dan lainnya.
India, Persia dan Afrika semuanya dipengaruhi aktikitas mistik mereka melalui metode dan tokoh-tokoh tarekat, kendati pengikut Suhrawardi ada diantara pecahan terbesar kelompok-kelompok Sufi.
Praktek-praktek mereka diubah dari kegembiraan mistik kepada latihan diam secara lengkap untuk ‘Persepsi terhadap Realitas’.
Bahan-bahan instruksi (pelajaran) tarekat seringkali, untuk seluruh bentuk, hanya merupakan legenda atau fiksi. Bagaimanapun bagi penganut, mereka mengetahui materi-materi esensial untuk mempersiapkan dasar bagi pengalaman-pengalaman yang harus dijalani murid. Tanpa itu, diyakini, ada kemungkinan bahwa murid dengan sederhana mengembangkan keadaan pemikiranang sudah berubah, yang membuatnya tidak cakap dalam kehidupan sehari-hari.
IBNU YUSUF SI TUKANG KAYU
Pada suatu waktu, terdapat seorang tukang kayu bernama Nazhar bin Yusuf. Ia menghabiskan sebagian hidupnya selama bertahun-tahun untuk mempelajari kitab-kitab kuno yang berisi banyak pengetahuan yang sudah agak terlupakan.
Ia mempunyai pelayan setia, dan suatu hari ia berkata padanya: “Aku sekarang berhasil memperoleh pengetahuan kuno yang harus digunakan untuk menjamin keberadaanku selanjutnya. Oleh karena itu aku ingin engkau membantuku menyelesaikan proses yang akan membuatku muda lagi dan abadi.”
Ketika ia menjelaskan prosesnya, si pelayan pertama kali merasa segan untuk menyelesaikannya. Si pelayan memotong-motong Nazar dan memasukkannya di dalam sebuah tong besar, diisi dengan cairan tertentu.
“Aku tidak dapat membunuhmu,” ujar pelayan.
“Ya, engkau harus, karena toh aku akan mati, dan engkau akan kehilangan. Ambillah pedang ini. Jaga terus tong ini, jangan katakan siapa pun apa yang sesungguhnya engkau lakukan. Setelah duapuluh delapan hari, bukalah tongnya dan keluarkan aku. Aku akan memperoleh kembali kemudaanku.”
Setelah beberapa hari, dalam kesepiannya, pelayan mulai merasa sangat tidak nyaman, dan semua jenis keraguan pun menjangkitinya. Maka ia mulai membiasakan diri dengan peran anehnya. Secara teratur orang datang ke rumah dan menanyakan majikannya, tetapi ia cuma dapat menjawab, “Sementara ini ia tidak di sini.”
Akhirnya pihak berwenang datang, curiga bahwa si pelayan berbuat sesuatu pada majikannya sehubungan dengan lenyapnya dia. “Biarkan memeriksa rumah,” kata mereka, “Jika kami tidak menemukan apa pun, kami akan menahanmu sampai majikanmu muncul.”
Si pelayan tidak tahu apa yang harus dilakukan, pada saat itu sudah berlangsung selama duapuluh satu hari. Tetapi ia mengambil keputusan, dan berkata;
“Tinggalkan aku di sini bersama tong ini sebentar, dan kemudian aku siap ikut denganmu.”
Ia pun pergi ke kamar dan membuka tutup tong.
Tiba-tiba manusia kecil, tampak lebih muda tetapi persis seperti majikannya, kendati cuma setinggi tangan, melompat keluar tong, dan berlari berputar-putar, sambil terus berucap.
“Terlalu cepat, terlalu cepat…”
Kemudian, saat pelayan masih memandang dengan terkejut, benda kecil itu lenyap di udara.
Pelayan keluar dari kamar, petugas menangkapnya. Majikannya tidak pernah terlihat lagi, kendati banyak sekali legenda tentang Nazar bin Yusuf si tukang kayu; tetapi harus kita tinggalkan untuk kesempatan lain.
GADIS YANG KEMBALI DARI KEMATIAN
Pada zaman dulu terdapat seorang gadis cantik; putri seorang pria yang baik, seorang perempuan yang kecantikan dan kehalusan gerak-geriknya tiada banding.
Ketika usianya dewasa, tiga pemuda, masing-masing menunjukkan kapasitas yang tinggi dan menjanjikan, melamarnya.
Setelah memutuskan bahwa ketiganya sebanding, sang ayah menyerahkan keputusan akhir pada putrinya.
Berbulan-bulan sudah, dan si gadis tampaknya belum juga mengambil keputusan.
Suatu hari ia tiba-tiba jatuh sakit. Dalam beberapa saat ia meninggal. Ketiga pemuda tersebut, bersama-sama ikut ke makam, membawa jasadnya ke pemakaman dan dikebumikan dengan kesedihan yang sangat dalam.
Pemuda pertama, menjadikan pusara sebagai rumahnya, menghabiskan malam-malamnya di sana dalam penderitaan dan perenungan, tidak dapat memahami berjalannya takdir yang membawanya pergi.
Pemuda kedua, memilih jalanan dan berkelana ke seluruh dunia mencari pengetahuan, menjadi seorang fakir.
Pemuda ketiga, menghabiskan waktunya untuk menghibur sang ayah yang kehilangan.
Sekarang, pemuda yang menjadi fakir dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat di mana terdapat seorang yang terkenal karena karya seninya yang luar biasa. Melanjutkan pencarian pengetahuan, ia kemudian berdiri di sebuah pintu, dan diterima di meja tuan rumah.
Ketika tuan rumah mengundangnya makan, ia sudah mulai menyantap hidangan ketika seorang anak kecil menangis, cucu orang bijak tersebut.
Si guru menggendong bocah dan melemparnya ke api.
Seketika si fakir melompat dan meninggalkan rumah, menangis:
“Iblis keji! Aku sudah membagi penderitaanku ke seluruh dunia, tetapi kejahatan ini melebihi semua yang pernah dicatat sejarah!”
“Jangan berpikir apa pun,” ujar tuan rumah, “Untuk hal-hal sederhana akan tampak muncul secara terbalik, kalau engkau tidak memiliki pengetahuan.”
Sambil berkata, ia membaca suatu mahtera dan mengacungkan sebuah emblem berbentuk aneh, bocah tersebut keluar dari api tanpa luka.
Si fakir mengingat-ingat kata-kata dan emblem tersebut, pagi berikutnya ia kembali ke pemakaman di mana kekasihnya dimakamkan.
Singkat kata, si gadis berdiri di depannya, kembali hidup sepenuhnya.
Gadis itu kembali ke ayahnya, sementara para pemuda berselisih siapa diantara mereka yang bakal dipilih.
Yang pertama berkata, ‘Aku tinggal di pusara, memeliharanya dengan kesiap-siagaanku, berhubungan dengannya, menjaga kebutuhan ruhnya akan dukungan duniawi.”
Yang kedua mengatakan, “Kalian berdua mengabaikan kenyataan, bahwa akulah yang sesungguhnya berkeliling dunia mencari pengetahuan, dan akhirnya menghidupkannya kembali.”
Yang ketiga mengatakan, “Aku telah berduka untuknya, dan seperti seorang suami serta menantu aku tinggal di sini, menghibur ayah, membantu merawatnya.”
Mereka meminta si gadis menjawab, yang kemudian dijawabnya:
“Ia yang menemukan mantera untuk mengembalikan aku, adalah seorang pengasih sesama manusia; ia yang merawat ayahku seolah anak baginya; ia yang berbaring di sisi pusaraku - ia bertindak seperti seorang kekasih. Aku akan menikahinya.”
PERUMPAMAAN TUAN RUMAH DAN TAMU
Para guru seperti tuan di rumahnya sendiri. Tamu-tamunya adalah mereka yang mencoba mempelajari ‘Jalan’. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah di rumah tersebut sebelumnya, dan mereka hanya mempunyai pemikiran yang samar, seperti apa sebenarnya rumah tersebut. Meskipun demikian, rumah itu ada.
Ketika tamu memasuki rumah dan melihat tempat khusus untuk duduk, mereka bertanya, “Apakah ini?” Dijawab, “Ini tempat di mana kami duduk.” Maka mereka duduk di kursi, dengan sedikit kesadaran tentang fungsi kursi.
Tuan rumah menjamu mereka, tetapi mereka terus bertanya, kadang-kadang tidak berhubungan. Sebagai tuan rumah yang baik, ia tidak menyalahkan mereka. Mereka ingin tahu, misalnya, di mana dan kapan mereka akan makan. Mereka tidak tahu kalau tidak seorang pun sendirian, dan pada saat itu juga ada orang lain yang memasak makanan, serta terdapat ruang lain di mana mereka akan duduk dan menikmati makanan. Karena mereka tidak dapat melihat makanan atau persiapannya, maka mereka bingung, barangkali penuh keraguan, kadang-kadang perasaannya kurang tentram.
Tuan rumah yang baik, mengetahui masalah tamunya, harus menentramkan mereka, sehingga mereka dapat menikmati makanan saat disajikan. Pada mulanya mereka segan mendekati makanan. Sebagian tamu cepat mengerti dan menghubungkan satu hal tentang rumah tersebut kepada yang lain. Mereka ini adalah orang-orang yang dapat mengkomunikasikan kepada teman mereka yang lambat. Tuan rumah, sementara itu, memberi jawaban kepada masing-masing tamu sesuai kapasitasnya memahami kesatuan dan fungsi sebuah rumah.
Namun hal itu tidaklah cukup untuk keberadaan sebuah rumah –karena harus siap menerima tamu– maka harus ada tuan rumahnya. Seseorang harus latihan secara aktif tentang fungsi rumah, supaya orang asing yang menjadi tamu serta mereka yang menjadi tanggung jawab tuan rumah, memungkinkannya terbiasa dengan rumah tersebut. Pada awalnya, sebagian besar dari mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah tamu, dan apa makna tamu sesungguhnya; apa yang dapat mereka bawa, dan apa yang diberikan kepada mereka.
Tamu yang berpengalaman, yang telah belajar tentang rumah dan keramahan, pada akhirnya berkurang kikuknya, dan ia kemudian berada pada kedudukan untuk lebih memahami rumah dan beberapa bentuk kehidupan di dalamnya. Sementara ia tetap mencoba memahami apa rumah itu, atau mencoba mengingat aturan-aturan etika, perhatiannya terlalu banyak disita oleh faktor-faktor ini sehingga dapat meneliti, katakanlah, keindahan, nilai atau fungsi perabotan.
ILMU PERBINTANGAN
Suatu ketika, melalui ilmunya, seorang Sufi mengetahui bahwa sebuah kota akan diserang musuh. Ia mengatakannya kepada tetangga, yang menyadari bahwa ia orang yang jujur tetapi sederhana, kemudian menganjurkan:
‘Aku yakin kalau engkau benar, dan engkau harus pergi memberitahu raja. Tetapi jika engkau ingin dipercaya, tolong katakan bahwa engkau diilhami, bukan dari kearifan, tetapi dari ilmu perbintangan. Maka ia akan bertindak, dan kota mungkin selamat.”
Sufi tersebut melakukannya, dan penduduk kota diselamatkan dengan tindakan pencegahan yang tepat.
PERKATAAN SYEIKH ZIAUDDIN
Pembenaran diri lebih buruk daripada perasaan murni.
TIGA CALON SUFI
Tiga orang berhasil memasuki lingkaran Sufi, meminta izin untuk pengajarannya. Salah seorang diantara mereka hampir saja melepaskan diri, marah karena perilaku aneh sang guru.
Yang kedua, diberitahu oleh murid-murid lainnya (atas petunjuk guru) bahwa guru tersebut seorang penipu. Ia segera mengundurkan diri.
Yang ketiga dibiarkan bicara, tetapi ia sama sekali tidak ditawari pelajaran dalam waktu yang lama, hingga ketertarikannya hilang dan meninggalkan lingkaran tersebut.
Ketika semuanya pergi, sang guru berkata demikian:
“Orang pertama adalah gambaran tentang prinsip: ‘Jangan menilai hal-hal fundamental melalui penglihatan’.”
Orang kedua adalah gambaran tentang keputusan, ‘Jangan menilai hal-hal yang amat penting hanya dengan mendengarkan.’
Orang ketiga adalah contoh tentang ucapan: ‘Jangan menilai melalui pidato (ceramah), atau kekurangan akan hal itu’.”
Ditanya oleh murid, mengapa para pelamar tidak diberi petunjuk dalam persoalan tersebut, sang guru menjawab:
“Aku di sini untuk memberi pengetahuan yang lebih tinggi; bukan mengajar orang-orang yang menganggap bahwa mereka sudah tahu di lutut ibunya.”
MEMBUATKU BERPIKIR TENTANG …
Suhrawardi mengatakan:
“Aku pergi menemui teman, dan kami duduk mengobrol.
Terdapatlah seekor unta melintas dengan lambat, dan aku berkata padanya:
Apa yang membuatmu berpikir?’
Katanya, ‘Makanan.’
‘Tetapi engkau bukan orang Arab; sejak kapan daging unta untuk makanan?’
‘Tidak, tidak seperti itu,’ katanya. ‘Kau lihat, semuanya membuatku berpikir tentang makanan’
posted by Jalan trabas @ 18:34   0 comments
Saturday 2 August 2008
Tafsir Ala Sufi
Ini adalah kisah Bahlul, seorang bawahan Khalifah Harun ar-Rasyid yang prilakunya sering konyol, lugu, tapi menarik. Suatu hari Bahlul datang menemui penguasa dinasti Abbasiah itu dengan wajah kecut, seperti memendam kecewa."Kamu darimana saja Bahlul?" tanya Harun ar-Rasyid."Aku baru saja dari neraka, Baginda," jawab Bahlul enteng saja. "Dari neraka? Buat apa ke sana?" tanya Baginda keheranan."Saya khawatir kalau-kalau negeri kita kekurangan api, Tuan. Saya ke neraka ingin meminta api, untuk persediaan di sini. Tetapi sayang saya tak berhasil membawanya.""Kenapa?""Kata para penghuninya, di neraka tak ada api.""Mereka pasti bohong! Bagaimana bisa tak ada? Di neraka kan pusat dari segala api.""Saya pikir juga begitu, Tuan. Saya bahkan sudah mendesak dan memohon dengan sangat, tetapi jawaban mereka tetap satu: di neraka tak ada api! Saya tanya, kenapa bisa begitu? Nah kata mereka, setiap penghuninya datang ke sini membawa api (yang akan membakar)-nya sendiri-sendiri."Kisah itu saya kutip dari sebuah kolom ringan Sabrur R Soenardi. Lalu kisah kecil, pendek, tapi bermagnet ini kemudian dibukukan dengan judul yang seperti di atas. Saya dimintai Sabrur memberi pengantar sekira tahun 2003.Menurut Sabrur, neraka yang termaktub di sana adalah "neraka huthamah" sebagaimana dipahami kaum sufi. Dalam Al-Quran surat 104 ayat 6-7 digambarkan bahwa "neraka huthamah" adalah "api yang kobarannya naik sampai ke hati". Oleh kaum sufi neraka itu dipahami ketika hati terbakar oleh ego; ketika hati kalah oleh kecenderungan2 jahat.Apa yang dikemukakan oleh Sabrur itu adalah tafsir sufistik. Biasanya cara orang sufi memandang atau "menegur" masalah berbeda dengan para peneguh formalis. Kaum agamawan formalis yang biasanya kita lihat setiap hari menenteng umpatan dan cacian terus-menerus memompa sekuat-kuatnya ketakutan kepada umatnya bahwa dosa sang pendosa mendapatkan ganjaran jilatan api neraka.Ih, betapa mengerikannya itu Tuhan, yang kerjanya hanya membakar dan membakar dan membakar. Tiap waktu. Hidup kita pun seperti dalam titian ketakutan. Dan ketika ketakutan mendominasi sukma dan raga, maka kreativitas memudar hingga ke titik nadir: bego.Tapi wacana sufistik menawarkan keindahan tafsir yang lain: "Di neraka tak ada api... sebab apinya sudah dibawa oleh masing2 orang untuk membakar dirinya sendiri." Hah, betapa jauhnya cara memahami kedua anasir agama di atas. Yang satu membakar dan kelihatan membara; yang kedua sejuk dan terasa menyentuh di pedalaman jiwa.Kita membutuhkan yang kedua ini untuk bisa menerangi golak hidup yang kian tak keruan saat ini. Wacana sufistik mengajak orang untuk kembali kepada dirinya, kepada pedalaman jiwanya. Ia menyentuh akal hati seorang insan dan bukan sekadarwadak-raganya sebagaimana yang ternisbah dalam praktik agama yang lazim.Sufi tak berkompeten untuk "menghajar" para pendosa yang dicap dina dengan serentetan celaan, gertakan, dan dakwaan, melainkan "mengajar" dan turut mendoakan mereka agar selalu mendapat percik cahaya kebajikan (hidayah) dari Allah--sekerak apa pun dosa yang telah ia perbuat.
gus muh
jalantrabas
posted by Jalan trabas @ 22:22   1 comments