hamba yang hina

Name: Aku
rumah: Di dalam aku
hamba:Jalantrabas Jalan Yang Cepat Menuju Ilahi

 

KOLOM BERITA

 

ARCHIEVES

 

SHOUTBOX

 

Pengunjung

geovisite
geovisite

 

Links

 
 

Friday 30 November 2007
SEKILAS KH.MUBASSYIR MUNZIR
Kediri, suatu kawasan di wilayah Propinsi Jawa Timur,telah lama dikenal sebagai salah
satu tempat penggemblengan dan penggodogan, kawah candradimuka, pencetak
kader-kader handal dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal ini tidak terlepas dari
banyaknya Pesantren yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota maupun
Kabupaten, di kota, dan terlebih lagi di kawasan pedesaannya. Sebutlah di antaranya
Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren
Lirboyo, Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes dan lain sebagainya.
Pesantren-Pesantren tersebut umumnya memiliki kekhususan (dalam hal pengajaran
dan pengamalan) dalam bidang-bidang tertentu, walaupun akhirnya sama-sama
bermuara pada pendalaman Ilmu-ilmu Agama Islam.

Sementara itu, di sebelah barat alun-alun kota Kediri, setelah menyeberangi Kali Brantas,
terdapat suatu kawasan yang kental dengan nuansa Islami.Kawasan itu dikenal dengan
nama Bandarkidul. Di wilayah Bandarkidul ini,terdapat sediitnya lima Pesanrtren yang
berafiliasi pada RMI (Rabithatul Ma'ahid Al-Islamiyyah), suatu organisasi/Asosiasi
Perhimpunan Pesantren di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama). Salah satu diantara
lima Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari.

Sesuai dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu
Lembaga Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib),
disamping juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak menghafal).
Pesantren ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan
generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any.
Atau dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma'nan wa 'amalan.
Sanad / Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun 1967
oleh KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa itu.
Pada awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang Tashawwuf,
terutama peng-'Istiqomah'-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini berjalan kurang lebih
selama lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putera.

Barulah, pada tahun 1973, setelah beliau menikah, Pesantren ini menerima santri puteri.
Dan mulai pada tahun itu pula, Pesantren ini mulai membuka Program Pengajian Al-qur-an
Bil-Ghoib (hafalan). Hal ini adalah karena isteri beliau,ibu Nyai Hj.Zuhriyyah adalah merupakan
seorang Hafidhah(penghafal) Al-Qur-an.Lebih dari itu, beliau juga merupakan puteri dari
Ulama terkenal, KH.Munawwir Krapyak Jogjakarta,yang selain seorang Hafidh, juga termasyhur
sebagai Perintis Pesantren Tahfidh al-Qur-an di Indonesia, seorang kampiun dalam bidang
Ilmu-Ilmu Al-Qur-an dan seorang ahli Qira-ah Sab'ah.

Seiring dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma'unah Sari pun terus berkembang,
baik dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan yang
semakin representatif.Namun begitu,khusus untuk Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib, masih terbatas
pada kalangan Santri Puteri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.

Pada tahun 1989,muassis (pendiri) Pesantren, KH. M. Mubasyir Mundzir wafat.
Dengan iringan tangis pilu para santri dan khalayak masyarakat yang merasa sangat
kehilangan, beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma'unah Sari.

Sebelum wafat, karena beliau tidak dikaruniai putera, beliau telah memberikan wasiat
yang berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat beliau,
yang disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan kepada
K. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid. Beliau adalah
putera dari KHR.Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah.
Dengan kata lain, K. R.Abdul Hamid adalah keponakan Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah Mundzir.
Dan dengan demikian,tercapailah cita-cita dari Pendiri,yang menginginkan Pesantren
yang didirikannya kelak tumbuh dan berkembang menjadi tempat bagi para santri yang
ingin menghafal Al-Qur-an. Hal ini adalah karena Kyai Abdul Hamid juga merupakan
seorang penghafal Al-Qur-an (Hafidh) dan menguasai pula Qira-ah Sab'ah.

Selanjutnya,dibawah asuhan dan bimbingan Kyai Abdul Hamid bersama Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah,
Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari-pun semakin tumbuh dan berkembang.
Latar belakang dan asal para santri juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan berasal
dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Papua (Irian Jaya), Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Sumatera, dan lebih-lebih dari Pulau Jawa. Mulai saat itu pula, dibuka Program
Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib untuk santri Putera.

Diantara para santri ini,banyak pula diantara mereka yang merupakan alumnus Pesantren-Pesantren
kenamaan,seperti Pesantren Lirboyo dan Ploso, keduanya di Kediri , Pesantren Tegalrejo Magelang,
Pesantren Langitan Tuban, dan lain sebagainya. Dengan berkumpulnya para alumnus
Pesantren-pesantren tersebut,tidaklah mengherankan apabila selain mengikuti
kegiatan-kegiatan wajib, terutama menghafal al-Qur-an, kerapkali terjadi diskusi-diskusi
ala Bahtsul Masa-il, sebagai salah satru wujud pengembangan dari Ilmu-ilmu yang mereka
peroleh di Pesantren mereka sebelumnya. Namun begitu, bagi mereka yang kebetulan
belum pernah mengenyam pendidikan Pesantren sama sekali, tidak perlu berkecil hati,
karena dari para alumnus Pesantren tadi, mereka bisa memperoleh arahan dan bimbingan,
melalaui Madrasah Al-Mundziriyyah di Pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran dasar
yang sangat penting, sebagai bekal kelak di kemudian hari. Kalaupun masih kurang puas,
mereka bisa mengaji di Pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren Lirboyo.

Selain itu, diantara para santri juga tidak sedikit yang merupakan jebolan Perguruan Tinggi,
sehingga mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan mereka
sesama santri. Hal ini dirasa penting, terutama dalam kaitannya untuk menata dan mengatur
manajemen organisasi Pesantren, agar lebih solid dan efisien.
posted by Jalan trabas @ 18:43   0 comments
SUNAN GESENG
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.
Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya. Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan SunanGeseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.
Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia. Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.METODE DAKWAH ” SUNAN GESENG ”
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam. Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat.


Kematian di mata sunan geseng
"Banyak orang yang salah menemui ajalnya. mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah di tahan , nafas sudah di gulung, dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirtanirmaya belum mau. maka ia menemukan serba indah."
"Dan ia anggap manusia yang luar biasa.padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam daloam angan-angan yang menyesatkan yang tak nyata. budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia rasa dan pikirannya.baginya hidup didunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikan akan keduniawian,pendapat orang gelandangan yang pergi kemana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati sesungguhnya dunia ini neraka

jalantrabas.
posted by Jalan trabas @ 17:59   1 comments
SYEKH ABDULLAH MUBAROK




Cicalung Kecamatan Tarikolot Kabupaten Sumedang (sekarang, Kp Cicalung Desa Tanjungsari Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya) dari pasangan Rd Nura Pradja (Eyang Upas, yang kemudian bernama Nur Muhammad) dengan Ibu Emah. Beliau dibesarkan oleh uwaknya yang dikenal sebagai Kyai Jangkung. Sejak kecil, beliau sudah gemar mengaji/mesantren dan membantu orang tua dan keluarga, serta suka memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Setelah menyelesaikan pendidikan agama dalam bidang akidah, fiqih, dan lain-lain di tempat orang tuanya. Di Pesantren Sukamiskin Bandung beliau mendalami fiqih, nahwu, dan sorof. Beliau kemudian mendarmabaktikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat dengan mendirikan pengajian di daerahnya dan mendirikan pengajian di daerah Tundagan Tasikmalaya. Beliau kemudian menunaikan ibadah Haji yang pertama.
Walaupun Syaikh Abdullah Mubarok telah menjadi pimpinan dan mengasuh sebuah pengajian pada tahun 1890 di Tundagan Tasikmalaya, beliau masih terus belajar dan mendalami ilmu Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah kepada Mama Guru Agung Syaikh Tolhah bin Talabudin di daerah Trusmi dan Kalisapu Cirebon. Setelah sekian lamanya pulang-pergi antara Tasikmalaya-Cirebon untuk memperdalam ilmu tarekat, akhirnya beliau memperoleh kepercayaan dan diangkat menjadi Wakil Talqin. Sekitar tahun 1908 dalam usia 72 tahun, beliau diangkat secara resmi (khirqoh) sebagai guru dan pemimpin pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah oleh Syaikh Tolhah. Beliau juga memperoleh bimbingan ilmu tarekat dan (bertabaruk) kepada Syaikh Kholil Bangkalan Madura dan bahkan memperoleh ijazah khusus Shalawat Bani Hasyim.
Karena situasi dan kondisi di daerah Tundagan kurang menguntungkan dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, beliau beserta keluarga pindah ke Rancameong Gedebage dan tinggal di rumah H. Tirta untuk sementara. Selanjutnya beliau pindah ke Kampung Cisero (sekarang Cisirna) jarak 2,5 km dari Dusun Godebag dan tinggal di rumah ayahnya. Pada tahun 1904 dari Cisero Abah Sepuh beserta keluarganya pindah ke Dusun Godebag.
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad( Abah Sepuh )
Gapura menuju Maqam Abah Sepuh
Senja Di Mesjid Nurul Asror.
Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad kemudian dan bermukim dan memimpin Pondok Pesantren Suryalaya sampai akhir hayatnya. Beliau memperoleh gelar Syaikh Mursyid. Dalam perjalanan sejarahnya, pada tahun 1950, Abah Sepuh hijrah dan bermukim di Gg Jaksa No 13 Bandung. Sekembalinya dari Bandung, beliau bermukim di rumah H Sobari Jl Cihideung No 39 Tasikmlaya dari tahun 1950-1956 sampai beliau wafat.Setelah menjalani masa yang cukup panjang, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad-sebagai Guru Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dengan segala keberhasilan yang dicapainya melalui perjuangan yang tidak ringan, dipanggil Al Khaliq kembali ke Rahmatullah pada tangal 25 Januari 1956, dalam usia 120 tahun. Beliau meniggalkan sebuah lembaga Pondok Pesantren Suryalaya yang sangat berharga bagi pembinaan umat manusia, agar senantiasa dapat melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mewariskan sebuah wasiat berupa “
TANBIH” yang sampai saat sekarang dijadikan pedoman bagi seluruh Ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya dalam hidup dan kehidupannya
posted by Jalan trabas @ 17:43   0 comments
KH. A. SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN



KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.

Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu, pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Sepulang dari Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.
Abah Anom & Istri (Hj. Yoyoh / Ummy)
Abah Anom
Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961 didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah. Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.
posted by Jalan trabas @ 17:42   0 comments
TAREKAT QODIRIYAH WA NAQSABANDIYAH
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia. Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, tentang adab (etika), tentang dzikir, dan tentang murakabah.
posted by Jalan trabas @ 17:38   1 comments
Saturday 24 November 2007
SYEKH ABDUL RAUF SINKEL
Inilah ulama besar yang ikut mewarnai sejarah mistik Islam di nusantara. Namanya Sheikh Abdur Rauf Singkel, terkadang ditulis Abdur Al-Ra'uf Al-Sinkili. Mistik Islam itu ia ajarkan melalui Tarekat Syattariyah.

Tarekat Syatariyah sendiri mulai muncul di India pada abad 15. Nama Syattariyah dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, yaitu Abdullah Al-Syattar.

Tarekat Syattariyah pernah menduduki posisi penting lantaran tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang besar pengaruhnya di dunia Islam. Di Indonesia, tarekat ini lalu dikembangkan oleh Sheikh Singkel.

Dilahirkan di Singkel, Aceh, pada 1024 H/1615 M, nenek moyang Sheikh Singkel berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Nama Singkel dinisbakah pada daerah kelahirannya itu.

Beberapa literatur menyebutkan, ayah Singkel adalah kakak laki-laki dari Hamzah Al-Fansuri, kendati tidak cukup bukti yang meyakinkan bahwa ia adalah keponakan Al-Fansuri. Nama yang terakhir ini merupakan seorang ulama yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya.

Namun, ada pula yang menyatakan bahwa ayah Singkel, yakni Syeikh 'Ali adalah seorang Arab yang telah mengawini wanita setempat dari Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di Sumatera Barat. Keluarga itu lantas menetap di sana.

Pendidikan pertama Singkel didapatkan di tempat kelahirannya, Singkel, terutama dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayahnya juga mempunyai pesantren. Singkel pun menimba ilmu di Fansur, karena ketika itu negeri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di nusantara serta merupakan titik hubung antara orang Melayu dan kaum Muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan. Beberapa tahun kemudian, Singkel berangkat ke Banda Aceh, ibukota kesultanan Aceh dan belajar kepada Syams al-Din al-Samatrani, seorang ulama pengusung doktrin Wujudiyyah.

Sejarah perjalanan karier Singkel diawali saat dia menginjakkan kaki di jazirah Arab pada 1052 H/1642 M. Tercacat ada sekitar 19 guru yang pernah mengajarinya dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping sebanyak 27 ulama terkemuka lainnya.

Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah. Studi keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir.

Ketika di Yaman, Singkel belajar di sebuah kota bernama Bayt al-Faqih yakni dengan keluarga Ja'man. Beberapa anggota keluarga ini terkenal sebagai ahli sufi dan ulama terkemuka, antara lain Ibrahim Muhammad Ja'man serta Faqih al-Thayyib Abi al-Qasim Ja'man. Sebagian ulama Ja'man adalah juga murid-murid dari Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.

Guru paling berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan Singkel adalah Ibrahim Abdullah Ja'man, seorang muhaddits dan faqih. Di samping itu dia juga seorang pemberi fatwa yang produktif. Seperti diuraikan Dr Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, sebagian besar waktu Singkel dihabiskan untuk mempelajari ilm al-zhahir (pengetahuan eksoteris) seperti fiqih, hadits dan subyek lain yang terkait. Sementara guru Singkel yang lain, yakni Ishaq Muhammad Ja'man, terkenal sebagai muhaddits dan faqih di Bayt al-Faqih.

Ketika belajar di Zabid, Singkel banyak menimba ilmu kepada Abd Al-Rahim al-Shiddiq Al-Khash, Amin Al-Shiddiq al-Mizjaji dan Abd Allag Muhammad Al-Adani. Sejumlah ulama Yaman semisal Abd Fatah Al-Khash, Sayyid al-Thahit Al-Maqassari, Qadhi Muhammad Abi Bakr Muthayr dan Ahmad Abu Al-Abbas al-Muthayr juga banyak berhubungan dengan Singkel.

Sesuai urutan rute haji, diketahui kemudian bahwa Singkel menyinggahi kota Jeddah di Saudi Arabia dimana dia belajar dengan muftinya Abd Al-Qadir Al-Bharkali. Selanjutnya di Makkah, Singkel belajar dengan Badr Al-Din al-Luhuri dan Abd Allah Al-Luhuri. Guru Singkel terpenting di Makkah adalah Ali Abd Al-Qadir.

Singkel juga menjalin hubungan dengan beberapa ulama terkemuka di Makkah. Antara lain Isa al-Maghribi, Abd Al-Aziz Al-Zamzani, Taj Al-din Ibn Ya'qub, Ala' Al-Din Al-Babili, Zayn Al-Abidin Al-Thabari, Ali Jamal Al-Makki dan Abd Allah Sa'id Ba Qasyir al-Makki. Dari banyak ulama inilah yang akhirnya menjadi bagian dari jaringan Singkel dalam upayanya menyebarkan pembaruan dan pengetahuan Islam di nusantara.

Perjalananan akhir Singkel adalah di Madinah sekaligus menyelesaikan pelajarannya. Di kota tersebut, dia belajar dengan dua orang ulama penting, Ahmad Al-Qusyasyi dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani. Dari Al-Qusyasyi dia mempelajari ilmu-ilmu dalam (ilm al bathin) yakni tasawuf dan ilmu terkait lainnya. Oleh gurunya itu, Singkel lantas ditunjuk sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Ini sekaligus menandai selesainya pelajaran dalam jalan mistis.

Ibrahim Al-Kurani banyak menanamkan pelajaran secara intelektual kepada Singkel. Pelajaran yang tidak hanya menyangkut pemikiran melainkan pada tingkah laku pribadi dan ilmu pengetahuan tentang pemahaman intelektual Islam bukannya pengetahuan spiritual atau mistis.

Kedua ulama tersebut menjadi sentral dalam pencarian pengetahuan religi spiritual Singkel. Bahkan tak berlebihan jika al-Qusyasyi telah dianggap sebagai guru spiritual dan mistis Singkel sementara Al-Kurani menjadi guru intelektualnya.

Kualitas intelektual Singkel tak perlu diragukan lagi berkat didikan para ulama terkemuka saat itu. Pengetahuannya bisa dibilang sangat lengkap. Mulai dari syariat, fiqih, hadist, disiplin ilmu ekosoteris hingga kalam dan tasawuf.

Karier mengajarnya dimulai di Haramayn (Mekah dan Madinah). Hal ini dinilai Azyumardi Azra tidak mengherankan mengingat menjelang datang ke Makkah dan Madinah, Singkel telah mempunyai pengetahuan memadai untuk disampaikan kepada kaum muslim di Melayu-Indonesia. Selama 19 tahun dia belajar di tanah Arab. Merasa sudah cukup menggali ilmu dari banyak ulama, Singkel memutuskan kembali ke nusantara.

Ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya di Arab. Murid yang berguru kepadanya makin bertambah banyak dan bukan hanya berasal dari sekitar wilayah Aceh saja tapi seantero nusantara. Tak sedikit di antara murid-muridnya tadi menjadi ulama terkenal seperti Syeikh Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman, Sumbar), Abd Al-Muhnyi dari Jawa Barat serta Dawud Al-Jawi Al-Fansuri Ismail Agha Mushthafa Agha 'Ali Al-Rumi asal Turki.

Karena pengetahuannya yang luas itu, maka Sultanah Shafiyyat Al-Din menunjuk Singkel menjadi Qadhi Malik Al-'Adil atau mufti yang bertanggungjawab terhadap administrasi masalah keagamaan di kesultanan Aceh. Dengan dukungan sultanah, Singkel berhasil menghapus ajaran Salik Buta, tarekat yang sudah ada sebelumnya.

Aceh ketika itu masih diramaikan pertentangan antara penganut doktrin Wujudiyyah dan Nuruddin Al-Raniri. Namun tidak ada sumber yang menyebutkan bahwa Singkel pernah bertemu dengan Al-Raniri sekitar periode 1047 H/1637 M dan 1054 H/1644-45 M. Kendati demikian, Singkel berusaha melepaskan diri dari kontroversi dua paham tersebut.

Singkel meninggal tahun 1105 H/1693 M. Dia dimakamkan di dekat kuala atau mulut sungai Aceh. Tempat tersebut juga menjadi kuburan untuk istri-istrinya, murid kesayangannya Dawud Al-Rumi dan murid-murid lainnya. Di kemudian hari, ia dikenal dengan nama Tengku Syech Kuala yang namanya diabadikan pada perguruan tinggi di Banda Aceh yakni Universitas Syiah Kuala. Singkel pun dikenal sebagai Wali Tanah Aceh. Makamnya hingga kini ramai dikunjungi para peziarah.

Singkel Dalam Karya
Sepanjang hidupnya, tercatat Singkel sudah mengggarap sekitar 21 karya tulis, terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih dan selebihnya kitab ilmu tasawuf. Bahkan tercatat kitab tafsirnya berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.

Dia juga menulis sebuah kitab fiqih berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari'yyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara' Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah. Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqaiq al-Huruf (Detail-Detail Huruf) serta Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajali).

Namun, di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Ditulis ketika Singkel masih berada di Aceh, kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan hingga ke luar negeri. Diyakini oleh banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Di samping pula kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir al-quran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.

Pada bagian lain, pendapat Singkel terhadap paham wahdadul wujud dipaparkannya dalam karya Bayyan Tajali. Karya ini juga merupakan usahanya untuk merumuskan keyakinan pada ajaran Islam. Dia berujar bahwa betapapun yakin seorang hamba kepada Allah, khalik dan mahluk tetap memiliki arti tersendiri.
posted by Jalan trabas @ 20:54   0 comments
SYEKH WAN SULAIMAN
Nama lengkapnya ialah Wan Sulaiman bin Wan Siddiq bin Wan Aman bin Wan Net binti Wan Su. Wan Su adalah Datuk Temenggung Kolot Bukit Lada yang berasal dari Patani. Wan Net binti Wan Su berkahwin dengan Wan Muhammad Hadi. Wan Sulaiman dilahirkan di Kampung Pulau Tengah, Mukim Padang Kerbau, dalam daerah Kota Setar, Kedah pada tahun 1291 Hijrah/1874 Masih dan meninggal dunia pada 28 Muharam 1354 Hijrah/2 Mei 1935 Masihi.

Ibu kepada Wan Sulaiman bernama Wan Jamilah atau digelar dengan Wan Tam Kecil. Wan Jamilah adalah adik beradik dengan Datuk Kerani Muhammad Arsyad, Kerani Rahsia Kerajaan Kedah. Ayah mereka berdua bernama Haji Abu Bakar (Kadi Daerah Yan, Kedah) bin Wan Nurdiman bin Datuk Seri Paduka Raja Laksamana.
Wan Jamilah adalah anak saudara dan sepupu kepada Wan Hajar (Mak Wan Besar) binti Wan Ismail bin Datuk Seri Paduka Raja Laksamana, iaitu ibu kandung kepada Sultan Abdul Hamid, Raja Muda Tengku Abdul Aziz dan Tengku Mahmud, Presiden Majlis Negeri yang pernah menjadi Pemangku Sultan. Bererti pula Wan Jamilah adalah anak saudara sepupu kepada Wan Muhammad Saman bin Wan Ismail yang pernah menjadi Perdana Menteri Kedah. Ini kerana Wan Hajar adalah adik beradik dengan Wan Muhammad Saman.

PENDIDIKANNYA

Dalam usia 9 tahun, Wan Sulaiman mendapat pendidikan bahasa Melayu di sekolah yang dibuka oleh Haji Din. Pendidikan tersebut ditempuh lebih kurang tiga tahun, iaitu sekitar tahun 1882 - 1885. Dalam masa yang sama beliau juga mengaji al-Quran kepada Haji Ismail al-Kalantani. Wan Sulaiman juga mempelajari bahasa Inggeris kepada Dr. Gromez. Wan Sulaiman berhasil mengIslamkan gurunya ini setelah beliau pulang dari Mekah. Pada usia 12 tahun, Syaikh Wan Sulaiman memasuki pengajian pondok. Gurunya, Syaikh Omar al-Qadri memberi perhatian kepada pengajian kitab Jawi. Dengan asas pengajian Jawi inilah Syaikh Wan Sulaiman berangkat ke Mekah pada tahun 1888M.
Beliau belayar keMekah melanjutkan pelajarannya sekitar tahun 1887/1888M. Sewaktu di Mekah beliau belajar kepada ramai ulama.
Senarai ulama dunia Melayu di Mekah yang pernah menjadi guru kepada Wan Sulaiman ialah:
  • Syaikh Faqir Muhammad Andakhuri al-Bukhari (wafat pada 19 Rabi`al-Awwal 1321 / 14 Jun 1903 di Taif. Dari beliaulah Syaikh Wan Sulaiman baiah thariqat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Ahmadiah)
  • Syaikh Muhammad Zainuddin Sumbawa (wafat pada 3 Mei 1895)
  • Syaikh Muhammad Khayyat (merupakan seorang ulama terkemuka di Masjidil Haram. Ketika Syaikh Wan Sulaiman menjadi Qadhi Besar Kedah, beliau telah dilantik menjadi Syaikhul Islam Kedah yang pertama. Beliau wafat di Pulau Pinang pada tahun 1915M)
  • Syaikh Muhammad Amin Ridwan (mengajar di Masjid Nabawi di Madinah)
  • Syaikh ‘Ali Surur bin Muhammad az-Zawawi al-Makki al-Mazhari
  • Syaikh Hasan al-Ja’fari as-Saidi
  • Syaikh Nik Mat Kecik al-Fathani
  • Syaikh Wan Ali al-Kalantani
  • Syaikh Ahmad al-Fathani
  • Syaikh Daud bin Mustafa al-Fathani
  • Syaikh Ahmad Lingga
  • Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan ramai lagi.
Beliau tinggal di Mekah hampir 20 tahun lamanya.

Di antara sahabat beliau yang sebaya umur dengannya ialah Syaikh Muhammad Said Linggi (lahir 1292 Hijrah/1875 Masihi, meninggal dunia 1345 Hijrah/1926 Masihi). Walau bagaimanapun Syaikh Wan Sulaiman bin Wan Siddiq menerima Thariqat Naqsyabandiyah daripada Syaikh Faqir Muhammad Andakhuri al-Bukhari (meninggal dunia di Taif pada 19 Rabiulawal 1321H/14 Jun 1903M). Dalam masa tiga tahun terakhir, beliau memberikan tumpuan sepenuhnya terhadap Ilmu Tarekat Naksyabandiyah Mujaddiyah Ahmadiyah. Dari gurunya iaitu Tuan Syaikh Fakir Muhammad Al-Bukhari, Haji Wan Sulaiman ditauliahkan Khalifah Tarekat yang ke-34. Manakala Syaikh Muhammad Said Linggi adalah pengamal Thariqat Ahmadiyah Idrisiyah yang diterima daripada Syaikh Muhammad ad-Dandarawi.
Selain itu diantara ulama seperguruan dengan beliau semasa di Mekah adalah:
  • Syaikh Muhamad Tahir Jalaluddin
  • Syaikh Muhammad Mukhtar ‘Atarid Bogor
  • Syaikh Abdullah Fahim
  • Haji Ismail Labok, Kelantan (kemudiannya menjadi Mufti Kerajaan Pontianak, Kalimantan)
  • Haji Ibrahim Tok Raja ( Mufti Kerajaan Kelantan)
  • Tuan Guru Guru Haji Omar Sungai Keladi
  • Tok Bachok, Kelantan dan
  • Tok Kenali
PERKAHWINAN

Sewaktu masih berada di Mekah, Haji Wan Sulaiman mengahwini Wan Kalsom (Wan Tom) binti Wan Abdul Hamid, anak bekas Kadi Daerah Yan, Kedah dan dikurniakan 11 orang cahayamata.

AKTIVITI

Wan Sulaiman pulang ke Kedah pada hari Isnin 9 Rabiulakhir 1324/30 Julai 1906M. Sungguh pun demikian ada pendapat yang menyebut bahawa beliau pulang pada tahun 1329H/1910M.

Menurut pendapat al-Muarrikh Tuan Guru Hj Wan Muhammad Saghir: “bahawa beliau pulang ke Kedah pada 9 Rabiulakhir 1324 Hijrah/ 30 Julai 1906 Masihi dikuatkan pula sebuah karya beliau berjudul `Umdatul Aulad, diselesaikan di Kedah pada 8 Muharam 1326H bersamaan 10 Februari 1908M. Oleh sebab karya ini diselesaikan di Kedah lebih kurang 2 tahun sebelum tahun 1329H/1910M, dengan demikian pendapat yang menyebut Wan Sulaiman pulang ke Kedah pada tahun 1329H/1910M adalah sangat diragui.”

Tidak berapa lama dari tarikh kepulangannya, Wan Sulaiman dilantik dengan beberapa jawatan; dimulai dengan kadi, kemudian Kadi Besar pada tahun 1910M dan terakhir sekali Syaikhul Islam Kedah pada tahun 1920M menggantikan Syaikh Muhammad Khayat. Selain sebagai Syaikhul Islam, beliau juga giat mengajar di beberapa surau. Kemuncak aktivitinya ialah mengajar yang dipusatkan di Masjid Zahir [gambar diatas adalah majlis perasmian Masjid Zahir pada tahun 1915].

Beliau juga menganggotai Majlis Syura atau Majmuk Ulama. Majlis Syura ini mengandungi 12 orang ulama dengan dipengerusikan oleh Syaikh Wan Sulaiman sementara (datuk kepada Perdana Menteri Malaysia sekarang) selaku setiausahanya. Ulama-ulama lain yang menganggotainya termasuklah Syaikh Abdullah Fahim, Syaikh Muhammad Khayat, Syaikh Jarum Derga (Haji Wan ldris Wan Jamal), Haji Ahmad Awang, Haji ldris Ayer Hitam, Haji Muhammad Saman, Keramat Serban Hijau, Haji lbrahim Paya Sena, Haji Muhammad Arif Sungai Nonang dan Haji Hussain Nasir al-Banjari (Tuan Hussain Kedah). Majmuk ini berkumpul setiap malam Jum’at di Masjid Zahir untuk bermuzakarah hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam


THARIQAT NAQSYABANDIYAH


Selain mengajar perkara-perkara yang tertakluk dengan fardu ain, fekah, usuluddin, tasawuf, al-Quran dan tajwidnya, Syaikh Wan Sulaiman juga mentawajjuhkan zikrullah menurut kaedah Thariqat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mujaddidiyah.



Thariqat ini beliau ambil dari gurunya Tuan Syaikh Fakir Muhammad Al-Bukhari, Haji Wan Sulaiman ditauliahkan Khalifah Tarekat yang ke-34. Silsilahnya adalah seperti berikut:
Syaikh Wan Sulaiman menerima daripada Syaikh Faqir Muhammad al-Bukhari رضي الله عنه menerima daripada Syaikh Muhammad Umar al-Ahmadi رضي الله عنه menerima daripada Syaikh Abu Said al-Ahmadi رضي الله عنه menerima daripada Syaikh Abdullah ad-Dihlawi al-‘Alawi رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Habibullah Jan Janan Mazhar al-’Alawi رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh asy-Syarif Nur Muhammad al-Badawani رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Muhamad Sayfuddin bin Muhammad Ma’sum رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Muhammad Ma’sum bin Ahmad رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Muhammad Baqibillah رضي الله عنه, menerima daripada Muhammad al-Khawajaki al-Amkani رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Darwish Muhammad as-Samarqandi رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Muhammad Zahid رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Ubaidullah Ahrar رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Ya’akub al-Jarkhi رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Muhammad Alaudin al-‘Attar al-Bukhari رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh as-Sayyid Bahauddin Muhammad bin Muhammad al-Bukhari رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh as-Sayyid Amir Kulal bin as-Sayyid Hamzah رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh ‘Ali ar-Ramitani رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh al-Anjir al-Faghnawi رضي الله عنه, mengambil dari Syaikh Arif ar-Riyukari رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Abdul Khaliq bin Abdul Jamil al-Ghuddanawi رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Abu Ya’kub Yusuf bin Ayyub al-Hamdani رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Abu ‘Ali al-Fadhl bin Muhammad at-Tusi al-Farmidi رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Abul Hasan Ali bin Abu Ja’far al-Kharqani رضي الله عنه, menerima daripada Syaikh Abu Yazid Taifur bin Isa al-Bisthami رضي الله عنه, menerima daripada al-Imam Abu Ja’faq as-Sodiq رضي الله عنه, menerima daripada Sayyidina al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq رضي الله عنه, menerima daripada Sayyidina Salman al-Farisi رضي الله عنه, menerima daripada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq رضي الله عنه, menerima daripada Sayyidina Muhammad Rasulullah صلى الله عليه وسلم

Jalur silsilah thariqah Naqsyabandi Syaikh Wan Sulaiman ini sama dengan jalur silsilah yang diterima oleh Syaikh Abdul ‘Adzim al-Manduri (wafat 1335H/1916M) dan Sayyid Abdurrahman bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Zainal ‘Abidin al-Idrus (wafat 1335H/1917M) atau lebih dikenali dengan nama Tokku Paloh [Tokku Paloh menerima thariqah Naqsyabandiah daripada Syaikh Muhammad Sholeh az-Zawawi رضي الله عنه, menerima daripada Muhammad Mazhar al-Ahmadi رضي الله عنه (wafat 1301H/1883M di Madinah), menerima daripada Syaikh Abu Said al-Ahmadi رضي الله عنه (wafat 1277H/1860M di Madinah)].

Ada yang berpandangan bahawa memasuki thariqat akan mengakibatkan kemunduran pembangunan duniawi, namun jika kita membaca karya-karya mengenai ilmu tersebut yang dikarang oleh ahlinya, termasuk karangan-karangan Syaikh Wan Sulaiman, tuduhan seperti itu adalah tidak benar. Sebagai contoh Wan Sulaiman adalah seorang ulama yang bergerak aktif sama ada untuk kepentingan duniawi dan ukhrawi. Wan Sulaiman juga telah mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai Islam yang merupakan fatwa rasmi kerajaan Kedah pada zamannya. Di dalam sebuah kitab karangannya bertajuk Fakihat al-Janiyah, halaman 10, beliau mengatakan: “….. tidak sempurna insaniahnya ini melainkan dengan thariqat ….”

Syaikh Wan Sulaiman berpandangan bahawa selain aktiviti duniawi, urusan kehidupan (ma`isyiah) mestilah disegandingkan dengan aktiviti secara berjamaah antara guru (mursyid) dengan murid-muridnya.

Katanya lagi, pertemuan shuhbah dengan mursyid sekurang-kurangnya setiap hari tiga kali, iaitu pada waktu sembahyang Subuh, Zuhur dan Asar. Setiap pertemuan sentiasa membahaskan pelbagai bidang ilmu, bahkan juga tiada sunyi daripada membahaskan permasalahan dan kepentingan duniawi. Walau bagaimanapun urusan duniawi mestilah ditimbang menurut yang dibenarkan oleh syarak Islam atau sebaliknya.

JASANYA

Beliau adalah pemikir dan pengasas pertama Madrasah al-Hamidiah pada tahun 1916M di Limbong Kapal Kedah. Limbung Kapal terletak di Alor Setar dan tidak jauh dari Pejabat Agama Kedah ketika itu. Beliau melantik sahabatnya Haji Abdullah Fahim menjadi mudir madrasah tersebut. Madrasah al-Hamidiah ini lebih dikenali di Kedah dengan nama Sekolah Arab Limbung Kapal atau Madrasah Pak Wan Sulaiman. Ia merupakan tempat pendidikan Islam mengikut sistem persekolahan moden kedua terawal di Semenanjung Tanah Melayu, kerana yang paling awal ialah Madrasah al-Attas di Johor Bahru, 1914 Masihi.

Pada tahun 1930M, Syaikh Wan Sulaiman telah mewakafkan sebidang tanahnya bagi meluaskan Madrasah al-Hamidiah memandangkan perkembangan pembelajaran yang begitu pesat. Pelajarnya semakin bertambah yang datang bukan sahaja dari Kedah, tetapi juga dari luar negeri itu. Sekolah Arab Limbung Kapal akhirnya memenuhi tuntutan pendidikan sezaman pada ketika itu. Usaha Syaikh Wan Sulaiman mendapat sokongan dari guru-guru yang berwibawa dan sanggup mengajar di sekolah tersebut. Antara guru itu ialah Syaikh Abdullah Fahim dan Syaikh Ibrahim bin Yusof.

Setelah memperhatikan kemajuan pendidikan tersebut, Wan Sulaiman bersama Tengku Mahmud akhirnya memikirkan pula untuk menubuhkan sekolah menengah Islam. Walau bagaimanapun Wan Sulaiman tidak sempat melihat sekolah yang dicadangnya itu, kerana sekolah tersebut berfungsi setahun setelah beliau meninggal dunia. Sekolah itu ialah al-Ma'ahad Mahmud yang kemudian lebih dikenali dengan nama Maktab Mahmud di Simpang Kuala Alor Setar yang mulai bergerak pada 29 Rabiulawal 1355 Hijrah/16 Jun 1936 Masihi.

Maktab Mahmud termasuk di antara sekolah menengah Islam yang terkenal di Malaysia sampai sekarang. Ramai pelajar lepasan madrasah itu yang menjadi tokoh pelbagai bidang, bukan hanya dalam urusan Islam tetapi juga bidang-bidang lainnya. Ini merupakan jasa besar dan amal jariah Syaikh Wan Sulaiman.

KARYA-KARYANYA

Wan Sulaiman juga menghasilkan beberapa buah karangan, di antaranya ialah:
  1. `Umdatul Aulad fi Bayani fi `Ibadatihim ila Rabbil `Ibad, diselesaikan pada 8 Muharam 1326 Hijrah di Kedah Darul Aman. Kandungannya merupakan pelajaran darjah pertama bicara ibadat. Cetakan Keriterian Press Limited, Pulau Pinang.
  2. Nihayatul Mathlub fi Tashfiyatil Qulub, diselesaikan pada 30 Jamadilawal 1337 Hijrah di Kedah yang berbentuk manuskrip. Disalin oleh Muhammad Tahir al-Juhuri (Johor) 16 Syaaban 1376 Hijrah/Mac 1957 Masihi. Kandungannya merupakan pelajaran Thariqat Naqsyabandiyah.
  3. Futuhat Qad-hiyah, diselesaikan pada 17 Rabiulawal 1343 Hijrah di Kampung Limbong Kapal, Kedah. Kandungannya membahas mengenai Thariqat Naqsyabandiyah-Mujaddidiyah Ahmadiyah. Cetakan kedua, oleh Haji Hasyim bin Abdullah, di Percetakan Siaran, Alor Setar.
  4. Qashidah Menyanyi Lagu Abyari, diselesaikan pada 3 Muharam 1344 Hijtah/1925 Masihi di Kampung Limbong Kapal, Kedah. Kandungannya tentang akidah untuk kanak-kanak. Terdiri daripada 114 bait syair. Diceritakan bahawa ia disusun ketika dalam perjalanan menaiki kereta api ke Bangkok sewaktu mengiringi Tengku Mahmud. Cetakan The Kedah Goverment Press, tanpa disebutkan tahunnya.
  5. Tanwirul Bashirah ..., diselesaikan pada 20 Rejab 1347 Hijrah/1928 Masihi. Dicatatkan pada halaman belakang oleh Al-Haji Wan Ismail Daud, Setiausaha Hal Ehwal Jabatan Agama Negeri Kedah, katanya, ``Di atas jasa-jasa baik al-Marhum asy-Syaikh Wan Sulaiman bin Wan Siddiq dan perjuangannya untuk menegakkan agama, bangsa dan nusa, janganlah hendaknya kita sebagai kata pepatah, ``Kacang lupakan kulit, hadiah Fatihah kepadanya.'' Cetakan Persama Press, Pulau Pinang.
  6. Nazham Syair Bicara Sirah An-Nabawiyah dan Dualul Islamil Kubra Kerajaan Islam Yang Besar-Besar, diselesaikan pada 3 Muharam 1348 Hijrah/1929 Masihi. Kandungannya merupakan syair yang terdiri daripada 198 bait. Selanjutnya menceritakan kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., sirah dan akhlak Nabi s.a.w. Disinggung juga mulai berdirinya Khalifah Usman bin Artoghrrol pada tahun 699 Hijrah hingga pemerintahan Sultan Abdul Hamid Tsani tahun 1293 Hijrah. Cetakan Kerajaan Kedah, tanpa tahun.
  7. Mizanul `Uqala' wal Udaba', diselesaikan pada 16 Disember 1950 Hijrah. Kandungannya tentang pengertian syariat, thariqat, haqiqat dan ma'rifat. Cetakan keenam oleh Haji Hasyim bin Abdullah.
  8. Mir’atul Qulub (1345H) setebal 11 halaman, mengenai qada dan qadar
  9. Nur Saati’ wa Saif Qaati`(1345H) mengenai thariqat Naqsyabandi
  10. Hawd al-Mawrud (1346H), huraian mengenai konsep martabat 7
  11. an-Nata`ij al-Fakriyah (1349H) setebal 42 halaman. Kupasan mengenai kaum muda dan kaum tua
  12. dan beberapa buah kitab lagi. Kesimpulannya bahawa keseluruhan karangan yang diketahui ada 17 judul, penulisan pertama tahun 1326H/1908M dan terakhir pada tahun 1350H/1931M.

KEWAFATANNYA

Syaikh Wan Sulaiman yang dilahirkan di Kampung Pulau Tengah, Mukim Padang Kerbau, Kota Setar pada tahun 1874, meninggal dunia di rumahnya pada usianya 61 tahun. Beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir pada petang Khamis, 2 Mei 1935 bersamaan 29 Muharam 1354. Jenazahnya dikebumikan di Makam Diraja Langgar dengan dihadiri lebih 10,000 orang ramai yang memberi penghormatan terakhir untuk beliau.


KETURUNANNYA

Daripada perkahwinan Wan Sulaiman dengan Wan Kalsum binti Wan Abdul Hamid memperoleh 11 orang anak. Di antaranya yang sempat berkahwin ialah: 1. Wan Noor berkahwin dengan Syed Muhammad Al-Jufri. 2. Wan Mardhiyah berkahwin dengan Datuk Hj. Wan Ibrahim bin Wan Soloh. 3. Wan Rahimah berkahwin dengan Ismail Kasim. 4. Wan Zakiyuddin berkahwin dengan Zainab binti Abdullah.

MURID-MURIDNYA

Antara murid-muridnya adalah:
  • Haji Abu Yazid, Imam di Masjid Yan, Kedah dan merupakan khalifahnya.
  • Dato Haji Wan Ibrahim bin Wan Soloh. Beliau ini juga merupakan menantu Syaikh Wan Sulaiman. Beliau ini juga merupakan ayahanda kepada seorang tokoh koperat Malaysia, Dato Wan Adli Ibrahim (meninggal dunia pada 26 April 1988)
  • Tuan Guru Dato Haji Hussin bin Haji Saleh, Pondok Jalan Makam Diraja, Langgar, Alor Setar.[wafat pada 21 Julai 1997]
  • Haji Mahmud bin Lebai Syafie, Imam dan juga Penghulu Kg Sanglang; dan ramai lagi.


Demikianlah sekelumit kisah seorang ulama yang berjasa. Peranannya dalam pendidikan, dakwah dan penulisan seharusnya menjadi contoh kepada generasi ulama sekarang. Lebih dari itu adalah kesholehan dan ketaqwaan mereka yang sepatutnya menjadi teladan kepada kita. Akhirkata, marilah kita hadiahkan al-Fatihah pada ulama besar ini. al-Fatihah.
posted by Jalan trabas @ 20:49   1 comments
SYEKH ABDUL BASHIR
BUTA mata tidak menghalang seseorang melakukan pelbagai aktiviti. Yang diriwayatkan dalam artikel ini ialah seorang ulama yang buta mata kepalanya, tetapi mata hatinya tetap memandang. Beliau berkemampuan menghasilkan penulisan kitab dan pada masa yang lain beliau juga sanggup mengajar murid-muridnya memahami kitab terutama hasil penulisan gurunya, Syeikh Yusuf Taj al-Khalwati al-Mankatsi.

Beliau juga merupakan ulama yang berasal dari tanah Bugis, Sulawesi Selatan, seperti gurunya Syeikh Yusuf yang sangat terkenal itu. Nama lengkap yang digunakan pada mukadimah salinan Daqaiq al-Asrar ialah asy-Syeikh Abu al-Fathi Abu Yahya Abdul Bashir adh-Dhariri.

Pertama kali saya mengesan nama ulama Bugis yang diriwayatkan ini adalah daripada manuskrip Daqaiq al-Asrar karya beliau yang merupakan koleksi peribadi saya sendiri. Hingga tahun 1980, riwayat hidup ringkasnya hanya terdapat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama karangan Buya Hamka terbitan Firma Madju, Medan, 1963. Tanpa perbandingan yang banyak lalu saya muat juga dalam buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara terbitan Al-Ikhlas, Surabaya, 1980. Walaupun riwayat Syeikh Yusuf Tajul Khalwati al-Mankatsi (guru beliau) telah banyak ditulis orang namun maklumat tentang Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri masih sukar dirujuk.

Setakat ini nampaknya yang agak panjang hanyalah ditulis oleh Abu Hamid, seorang sarjana yang berasal dari tanah Bugis dalam buku berjudul Syeikh Yusuf Makassar Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang terbitan Yayasan Obor Indonesia, 1994. Karya Buya Hamka dan karya Bapak Abu Hamid tersebut sangat banyak memberi pertolongan ketika saya menyusun riwayat ini sebagai melengkapi bahan-bahan rujukan karya Syeikh ‘Abdul Bashir adh-Dhariri.

Sebelum membicarakan hal-hal lainnya terlebih dulu di bawah ini saya petik tulisan Buya Hamka. Katanya: “Setelah diberinya ijazah kepada beberapa orang muridnya di antaranya Syeikh Nuruddin Abu al-Fatah Abdul Bashir adh-Dhariri (buta) ar-Rafani (Orang Rapang, Bugis) dan muridnya pula Abdul Qadir Maraeng Majeneng, maka minta izinlah dia meninggalkan Makasar, meskipun bagaimana ditahani, tidak mau ditahan lagi. Berangkatlah dia ke Bantam! Sebab di sana banyak pula muridnya yang telah pernah belajar kepadanya tatkala dia di Makkah.”

Pada nota kaki dalam buku yang sama Buya Hamka mengulas lebih jauh bahawa “adalah buta, sebab itu dihujunginya nama ‘adh-Dharir’.” Tetapi diberi dia nama oleh gurunya Abdul Bashir (hamba daripada yang maha melihat) dan diberi gelar ‘Abu al-Fatah’ yang ertinya orang yang terbuka hatinya dan diberi pula gelar kemuliaan ‘Syeikh Nuruddin’, ertinya Tuan Syeikh Cahaya Agama. ‘Ar-Rafani’ ertinya orang Rapang, sebuah kota kecil di pedalaman Bugis iaitu kira-kira 40 km dari Kota Parepare sekarang, demikian menurut Buya Hamka.

Kalau benar apa yang ditulis oleh Buya Hamka itu bahawa murid Syeikh Yusuf itu adalah buta, ia merupakan suatu perkara yang aneh pada zaman itu kerana orang yang dikatakan buta itu juga meninggalkan karangan, sebuah kitab sufi yang berjudul Daqaiqul Asrar.

Sungguhpun demikian pada zaman kita sekarang tidaklah menjadi aneh lagi kerana dalam sejarah memang terdapat beberapa orang pengarang Islam yang matanya buta. Bahkan orang yang buta ramai yang berfungsi menjalankan pelbagai aktiviti untuk kepentingan hidupnya dan memberi sumbangan yang besar kepada masyarakat.

Khalifah Khalwatiyah

Setelah kita menyemak karangan Buya Hamka seperti tertera di atas, untuk penyelidikan lanjut kita semak pula tulisan Bapak Abu Hamid dalam buku Syeikh Yusuf Makassar Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Beliau menulis: “Sumber-sumber lontarak pula menyebutkan bahawa yang sudah ikut dalam jajaran ulama tasawuf membuka pengajian dalam Masjid al-Haram.

“Ia dikenal sebagai Ulama Jawi dan beberapa jemaah haji dari Indonesia (Hindia Belanda) pernah berguru padanya. Seorang muridnya dari Sulawesi Selatan yang bernama Abdul Fathi Abdul Bashir adh-Dharir pernah berguru kepadanya di Mekah dan bertemu lagi di Banten, kemudian diberi lagi amanah dan sebagai ‘khalifah’ untuk menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan.”

Abdul Bashir lebih dikenal dengan gelaran Tuang Rappang I Wodi, sedangkan di Gowa sering disebut sehetta (syeikh kita) (hlm. 94). Pada halaman lain Bapak Abu Hamid menulis, “Tuang Rappang dikahwinkan oleh Syeikh Yusuf dengan seorang gadis Banten.”

Tuang Rappang merupakan seorang buta, dia mencintai isterinya dan dicintai pula. Perjalanannya kembali ke Gowa bersama isterinya memakai sebuah perahu kecil, sesudah dia diberi ijazah tarekat dan amanah untuk mengajarkan Thariqat Khalwatiyah di Gowa oleh Syeikh Yusuf (hlm. 136). Menurut Bapak Abu Hamid, setelah beberapa tahun Syeikh Abu al-Fathi Abdul Bashir Tuang Rappang mengajar dan menyebarkan Thariqat Khalwatiyah, beliau mengangkat pula seorang guru, Abdul Qadir Karaeng Majanng, Mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa Raja I Mallawagau, Sultan Abdul Khaer (1735 - 1737 M). Menurut Bapak Abu Hamid juga menyebut bahawa Khalifah Khalwatiyah dilanjutkan kepada Muhammad Abdul Wahid ibnu Abdul Ghaffar al-Makassari.

Bapak Abu Hamid membahagi dua aliran Thariqat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Yang pertama ialah Thariqat Khalwatiyah Yusuf yang disebarkan oleh Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri, murid Syeikh Muhammad Yusuf Abul Muhasim ibnu Abdullah Khaidir Tajul Khalwati al-Makassari, wafat tahun 1699 M (hlm. 52). Yang beliau maksudkan dengan Abdullah Khaidir ialah ayah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati.

Sekian banyak buku mengenai ulama tersebut tetapi yang mengukuhkan, membahas dan banyak menyebut nama ayah Syeikh Yusuf ialah Abdullah Khaidir hanya Bapak Abu Hamid. Maklumat ini juga satu penyelesaian kebuntuan ilmiah yang berjalan sudah begitu lama. Selanjutnya Bapak Abu Hamid menyebut bahawa “Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri, lazim disebut Tuang Rappang.”

Satu lagi ialah Thariqat Khalwatiyah Samman yang disebarkan oleh Syeikh Abdul Munir Syamsul Arifin, murid Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Thariqat Khalwatiyah Samman mulai masuk di Sulawesi Selatan tahun 1204 H/1820 M (hlm. 51-52). Di sini juga perlu diperbetulkan. Tahun 1204 H adalah bersamaan tahun 1789 M ataupun 1790 M.

Thariqat Khalwatiyah-Sammaniyah dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani, guru kepada Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Mengenai ini dapat dirujuk kepada karya-karya ulama yang berasal dari Palembang itu.

Penulisan

Syeikh Abdul Bashir Adh-Dhariri kemungkinan menghasilkan beberapa buah karangan tentang ilmu tasawuf, tetapi dalam koleksi saya hanya terdapat sebuah. Yang ada pada saya masih dalam bentuk salinan manuskrip, ditulis dalam bahasa Arab. Judul lengkapnya ialah Daqaiq al-Asrar fi Tahqiq Qawa'id as-Sirriyah. Nama penyalin ialah Abu Bakar, Khatib Bone, yang berkedudukan di Negeri Palakka. Selesai melakukan penyalinan pada waktu Dhuha, hari Rabu, 9 Zulkaedah 1233 H/10 September 1818 M.

Asy-Syeikh Abu al-Fath Abu Yahya Abdul Bashir adh-Dhariri menjelaskan bahawa dikarangnya kitab itu adalah sebagai peringatan atas putera saudaranya yang dikatakan mempunyai kemegahan, yang mempunyai keagungan namanya ialah Sultan Idris al-Mudarris al-Buni (Bone, Bugis).

Pada pembukaan kitab pengarangnya menyebutkan bahawa kitabnya itu membicarakan tentang “tawajjuh, muraqabah, musyahadah, muhadharah dan mu’ayanah” iaitu jalan bagi Ahlillah al-‘Arifin daripada golongan Ahlil Kasyaf dan Zauq. Beliau menjelaskan pula tentang beberapa kalimat pada kadar yang mudah bagi menghampirkan kefahaman dan menghuraikan isyarat-isyarat dan menjelaskan ibarat-ibarat.

Pertama sekali yang dibicarakan ialah tentang istilah ‘tawajjuh’. Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menggunakan hujah ayat al-Quran, yang maksudnya bahawa “Maka di mana saja kamu memalingkan pandangan maka di sana kamu mengenali Allah.” Beliau beri pengertian, yang terjemahan maksudnya, adalah “Wajib kamu i'tiqadkan firman tersebut, bahawa Allah Taala berada di mana saja kamu hadapkan mukamu, sama saja sama ada kamu berasa dekat kepada-Nya dan kamu menjauhkan diri daripada-Nya.”

Sesudah memberi pengertian tentang ‘muraqabah’ dan ‘musyahadah’, Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menjelaskan pengertian ‘muhadharah’. Menurut beliau, “Kehadiran hati (qalbi, pen:) pada Hadhrat Allah Azza Wa Jalla pada pandangan syuhud dan wijdannya dengan terangkat hijab. Ketika itu tiadalah hijab (satu dinding, pen:) yang mengantarai antaranya dan Allah.”

Dilanjutkan pula dengan ‘mu’ayanah&rs quo; yang ditakrifkan “Fana seseorang hamba akan dirinya, sifatnya, perbuatannya, dan semua hal-halnya kerana nyata Allah Taala atasnya dan telah sebati dengan tajalli baginya.”

Yang dimaksudkan dengan kalimat ini pada pandangan ahli akidah yang bukan sufi adalah benar-benar kenal kepada Allah dengan memperhatikan alam yang dijadikan oleh Allah. Tidak kecuali sama ada alam sufliyi mahupun alam 'alawiyi. Sama ada alam shaghir (alam kecil) mahupun alam kabir (alam besar).

Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menyambung kalimat di atas bahawa “Maka pada ketika itu, tiadalah ia memandang di mana, tiada dari mana, tiada bila, dan tiada kepada....” Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menyebut perkataan ahli sufi yang demikian akan beliau bicarakan pada waktu yang lain.

Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menegaskan bahawa “Tiada sempurna sembahyang seseorang melainkan dengan ilmu, ma’rifah, dan i’tiqad yang tsabit pada zahir dan batin.”

Ditegaskan lagi bahawa “Sesungguhnya semata-mata berpegang dengan zahir sahaja adalah hampa dan kurang pahala. Dan semata-mata berpegang dengan batin adalah batal, tiada sah.”

Masih dalam bahasan bahagian ini, Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri memberi perbandingan bahawa “Sebagaimana manusia, tiadalah dinamakan manusia, melainkan dengan roh. Tiadalah semata-mata jasad dengan ketiadaan roh. Demikian sebaliknya tiadalah semata-mata roh saja tanpa jasad. Kesempurnaan salah satu daripada kedua-duanya dengan ada yang lain. Dan kekurangan salah satu daripada keduaduanya dengan ketiadaan yang lain. Demikianlah sembahyang jika semata-mata zahir adalah seperti qias manusia berdiri ataupun duduk ketiadaan roh.

Kandungan kitab Daqaiq al-Asrar adalah sangat mendalam, selain yang tersebut di atas ia juga membicarakan percakapan antara hamba dengan Allah ketika membaca Al-Fatihah dan hingga selesai sembahyang.

Di dalamnya mengupas juga pembahagian Qiblat ada empat, iaitu pertama dinamakan ‘Qiblat Amal’, kedua ‘Qiblat Ilmi’, ketiga ‘Qiblat Asrar’, dan keempat ‘Qiblat Tawajjuh’. Semuanya dikupas secara mendalam.

posted by Jalan trabas @ 20:37   0 comments
SYEKH ABDUL MALIK /TOK PULAU MANIS
Syeikh Abdul Malik atau lebih dikenali Tok Pulau Manis dilahirkan di Kampung Pauh, Hulu Terengganu pada tahun 1060-an (Hijrah)/1650-an (Masihi), berketurunan Sharif Mohammad, yang berasal dari Baghdad. Menerima pendidikan agama di peringkat awal daripada kaum keluarganya sendiri.

Syeikh Abdul Malik kemudiannya belajar di Aceh yang digelar Serambi Mekah. Adalah dipercayai beliau telah menerima pendidikan secara langsung daripada ulama besar Aceh, Syeikh Abdul Rauf Singkel (1030-1050 H/1620-1693 M) yang juga seorang tokoh yang berusaha membawa kepada pengukuhan terhadap aliran al-Sunnah wal Jamaah di Alam Melayu. Beliau telah menyalin kitab Tafsir Baydawi yang dikarang dalam Bahasa Melayu oleh Syeikh Abdul Rauf Singkel. Selanjutnya beliau menyambung pengajian di Mekah sekitar tahun 1680, ketika beliau dipercayai berumur 30 tahun.

Selama hampir satu dekad di Mekah, beliau telah berguru dengan ulama-ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim al-Kurani (1025-1011/1616-1690), yang juga menjadi guru kepada Syeikh Abdul Rauf Singkel, bersahabat dengan pelajar-pelajar yang seangkatan dan seperjuangan dengannya seperti Tuan Haji Mohd Salleh bin Omar al-Semarani dari Jawa, Dato?Syed Abdullah dari Terengganu, Fakeh Abdul Kadir Palimbang, Fakeh Abdul Rahman Patani, Fakeh Abdul Samad Kedah dan Haji Mohamad Siantan dan mengajar apabila terdapat peluang berbuat demikian. Semasa berada di Mekah dan juga Madinah, Syeikh Abdul Malik telah memberi penumpuan kepada keilmuan tiga serangkai, iaitu ilmu-ilmu Fikah, Usuluddin dan Tasawuf disamping Tafsir, Hadis dan ilmu-ilmu bantu seperti nahu, saraf dan sebagainya.

Beliau mendalami Fikah al-Shafie dengan berguru kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani yang telah menggantikan Ahmad Qushashi yang menjadi pengajar kepada pengikut Imam Shafie di sana. Bidang Usuluddin yang diikutinya pula adalah berdasarkan pendekatan Imam al-Asya´ari yang menjadi pegangan umum pengikut ahl-al Sunnah wal Jamaah, manakala bidang Tasawuf yang diceburinya pula adalah berdasarkan etika ubudiyah kepada pengajian Tasawuf.

Syeikh Abdul Malik memilih Tarekat Shadhiliyah yang diasaskan oleh Abu al-Hasan al-Shadili (M. 656/1258) yang berasal dari Maghribi. Beliau berkenalan dengan tarekat ini menerusi pengajiannya iaitu melalui karangan pendukung utama dari kalangan generasi ketiga aliran sufi iaitu Ibnu ´Athaillah (M. 709/1309). Tulisan yang menarik minatnya itu ialah Al-Hikam disamping al-Tanwir fi Isqat al-Tadbir, Lata´if al Minan dan Taj al-Arus.

Pengajaran al-Shadhili dan Ibnu ´Athaillah dianggap lanjutan dari pendekatan Tasawuf al-Imam al-Ghazali dan kitab Ihya ´Ulumuddin menjadi kitab penting bagi pengajaran bagi Imam Abu al-Hassan al-Shadhili dan pendokong-pendokongnya. Sebagai seorang yang kesedaran tentang peri pentingnya mendalami ilmu Syariat disamping Usuluddin sebagai asas mendalami ilmu Tasawuf, Syeikh Abdul Malik sendiri, sebelum pemergiannya ke Tanah Suci sudah pun mendalami beberapa bidang ilmu tersebut.

Ilmuwan yang menjadi rujukannya berjumlah tidak kurang daripada 143 orang, antara yang terpenting di kalangan mereka itu ialah Ibn ´Athaillah dan Abu al-Hasan al-Shadhili sendiri, Abu al-Abbas al-Mursi, Ibn Arabi, Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Abd Allah al-Suhrawardi, Abu Turab al-Khashabi, Abu Yazid al-Bistami, Abu Talib al-Makki, Abu Hamid al-Gahzali, Abu al-Qasim al-Nasr Abadhi, Abu Bakar al-Shibli, Abu Nasr al-Sarrj, Ahmad al-Rifa´i, Ahmad Ibn Hanbal, iBn Abbad, Hassan Basari, Junayd al Baghdadi, Ahmad Zarruq, Shal bin Abdullah, Sirri al-Suqti, al-Sha´rani, Abd al-Salam bin Mashish dan Ma´ruf al-Karkhi. Selain itu, beliau juga banyak merujuk kitab Fusus al-Hikam oleh Ibnu Arabi, Qut al-Qulub oleh Abu Talib al-Makki, karya-karya al-Ghazali seperti Ihya Ulumuddin dan Minhaj al-Abidin, al-Luma oleh Abu Nasar al-Sarraaj al-Tusi, alRi´ayat Li Huquq Allah dan Amal al-Qulub wa al-Jawarib oleh al-Harith al Mushasibi, Sharh terhadap Hikam berjudul Hikam Ibn ´Athaillah atau Qurrat al-Ayn oleh Ahmad Zarruq dan Halat Ahl al Haqiqat Ma´a Allah oleh Ahmad al-Rifa´i.

Peranan Syeikh Abdul Malik sebagai pengajar di Mekah menyerupai penglibatan sebahagian penting ulama-ulama lain dari seluruh dunia yang menjadikan Tanah Suci sebagai pusat pendidikan. Pelajar-pelajar yang menjadi tumpuan beliau adalah mereka yang datang dari Tanah Jawi.

Kedudukan Syeikh Abdul Malik di sini mempunyai persamaan dengan kedudukan ulama-ulama Jawi yang lain seperti Syeikh Daud bin Abdullah Fatani, Syeikh Abdul Samad Palimbang, Syeikh Mohamad Nawawi al-Bentani dan Syeikh Mohamad Khatib bi Abdul Latif Minangkabau. Sebagai guru yang amat meminati Tasawuf beraliran etika Ubudiyah yang diperolehi oleh Imam al-Ghazali, beliau juga memilih mengajar dengan menggunakan karangan-karangan yang menjadikan hasil karya Hujjatul Islam itu. Kitab-kitab yang dimaksudkan itu termasuklah Ihya Ulumuddin. Matan Hikam Ibnu Ata´ul-Lah yang dianggap sebagai lanjutan dari pendekatan etika Ubudiyyah al-Imam al-Ghazali juga ternyata mendapat perhatian istimewa daripada Syeikh Abdul Malik. Minat Syeikh Abdul Malik terhadap Matan Hikam diperkukuhkan lagi oleh permintaan sahabat-sahabatnya seperti terjelas dalam karyanya Hikam Melayu:

“(Dan) sanya telah meminta akan daku setengah saudaraku yang salik bahawa menterjemakan aku akan dia dengan bahasa Jawi supaya memberi manfaat dengan dia segala orang yang mubtadi, maka ku perkenankan atas yang demikian itu dengan sekira-kira yang difahamkan Allah Taala akan daku (dan) adalah aku memanjangkan sedikit perkataannya kerana aku memasukkan perkataan sharahnya dengan sekadar kifayah bagi orang mubtadi mengetahui dia......?”

Karangan di atas menunjukkan bahawa sahabat-sahabatnya di Mekah telah memintanya mengarang, sesuatu yang mencerminkan martabat kedudukannya di kalangan kawan-kawannya. Dengan penulisan tersebut Hikam Melayu merupakan sebuah kitab Tasawuf terbesar dan terawal menurut aliran ahli Sunnah wal-Jamaah di dalam Bahasa Melayu.

Adalah dipercayai bahawa Syeikh Abdul Malik pulang ke tanah air sekitar pertengahan tahun 1960an ketika berusia lebih kurang 40 tahun. Kehadirannya di dalam masyarakat tempatan, yang diperkukuhkan oleh Hikam Melayunya serta pertalian dengan pembesar tempatan di Negeri Terengganu. Malah disebabkan oleh pertalian Terengganu dengan Johor, peranan Syeikh Abdul Malik menjadi lebih penting lagi dalam konteks perkembangan sosial semasa. Mengikut sumber-sumber yang boleh dipercayai beliau dikatakan bertanggungjawab membawa dan menabalkan Zainal Abidin I menjadi sultan pemerintah Negeri Terengganu (1725-1734) yang berlangsung di Tanjung Baru. Raja tersebut juga telah berkahwin dengan anak perempuan Syeikh Abdul Malik.

Apabila Syeikh Abdul Malik berpindah dari Hulu Terengganu dan menetap di Pulau Manis baginda juga telah turut sama berpindah dan menetap tempat yang baru sebelum memilih tempat persemayam tetapnya di Kuala Terengganu.

Syeikh Abdul Malik menjadi peneraju program pendidikan agama di Terengganu, sama ada selaku ulama istana atau sebagai guru kepada orang ramai. Di istana, Syeikh Abdul Malik berdampingan bukan sahaja dengan Sultan Zainal Abidin I tetapi juga dengan pembesar-pembesar yang turut berguru dengannya. Di dalam upacara keagamaan, beliau diberi peranan mengetuai majlis-majlis tersebut. Dalam penglibatannya sebagai Syeikh al-Ulama dan Mufti beliau mengeluar fatwa-fatwa berhubung dengan pegangan keIslaman dan hukum hakam. Dengan berpandukan pengalaman pengajian di Jawa, Aceh dan Mekah, beliau telah menjadikan Pulau Manis sebagai tempat pengajaran dan ibadat yang didatangi oleh pelajar-pelajar dari jauh dan dekat. Adapun kitab beliau yang kedua terbesar selepas Hikam Melayu, iaitu Kitab Kifayah merupakan sebuah karya yang merangkumi Usuluddin dan Fekah.

Syeikh Abdul Malik atau Tok Pulau Manis meninggal dalam lingkungan usia 86 tahun iaitu pada tahun 1149H bersamaan 1736 sebagaimana yang terakam pada makamnya
posted by Jalan trabas @ 20:34   0 comments
SYEKH JAMBUKARANG

Berziarah ke makam Syekh Jambukarang sambil menikmatipanorama puncak perbukitan Cahya di belahan utaraKabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.Matahari baru saja menyeruak di ufuk timur ketikasinar kemerah-merahan memancar ke seluruh penjuru.Langkah kaki penduduk desa tampak berjalan beriringanmenuju ladang, menelusuri jalan batu setapak berundakyang di kanan kirinya curam. Embun pagi, udara dingin,dan sepoi angin khas pegunungan, mewarnai perjalananke Makam Syekh Jambukarang, seorang tokoh dakwahIslam untuk kawasan Purbalingga dan sekitarnya.Makamnya terletak di desa Panusupan, KecamatanRembang, Kabupaten Purbalingga. Kawasan makam itu terletak sekitar 20 kilometer arahutara kota Purbalingga. Dibutuhkan waktu sekitar 30menit dengan menggunakan mikro bus jurusanBobotsari-Rembang (arah monumen Jenderal Sudirman).Sesampai di desa Rajawana, perjalanan dilanjutkandengan mobil pick up, bak terbuka jurusanRajawana-Panusupan sekitar empat kilometer. Dari desa Panusupan, perjalanan dilanjutkan denganberjalan kaki sejauh satu kilometer. Jalan setapakyang dilapis semen membelah desa itu mengantar kitamencapai gerbang makam. Di sini, setiap pengunjungdikenai biaya restribusi dan mengisi buku tamu.“Masih jauh, Pak?” tanyaku sambil membayar retribusisebesar 3000 rupiah kepada salah seorang juru kunci.“Sekitar empat kilo lagi, Mas,” jawabnya.Kemudian kita diajak menelusuri jalan selebar satumeter yang kondisinya naik turun di lembah perbukitanhijau pada belahan timur kaki gunung Slamet. Sejauhmata memandang, yang tampak hanya rerimbunan ilalangdan hijaunya perbukitan. Sepanjang perjalanan, sepoiangin pegunungan menghadirkan kicau burung hutanmenemani tiap langkah pendakian. Sesekali berpapasandengan satu rombongan kecil peziarah yang pulang darimakam.Kondisi jalan yang terjal dan licin itu mengharuskankita meluangkan waktu sekitar dua jam meski jaraknyahanya empat kilo. Karenanya perlu stamina dan bekalyang cukup. Sebagian peziarah percaya bahwa makam SyekhJambukarang keramat sehingga menjadi rujukan khusustempat bertawasul, menyampaikan doa dengan perantarawali. “Saya datang ke sini agar dagangan saya makin laris,”tutur Ny. Sutini yang datang dari Kab. Cirebon. Iadatang beserta tiga anggota keluarganya. Umumnya, peziarah datang pada malam Minggu Pon danRabu Pon. Namun, paling ramai ketika pergantian tahun.Banyak anak muda menghabiskan malam panjang di sinisambil menyelami wisata spiritual, meraihberkah-berkah di dalamnya. Peziarah disarankanmengamalkan bacaan ayat Kursi, sebab dalam ayat Kursiterdapat bermacam-macam fadillah.Tiga cahaya.Syeh Jambukarang ketika muda bergelar Adipati Mendang(R. Mundingwangi). Ia putra Prabu Brawijaya MahesaTandreman, Raja Pajajaran I. Sejak muda ia senang dengan ilmu kanuragan. Walauberhak menjadi raja Pajajaran, tetapi ia lebihtertarik menjadi pendeta. Tahta kerajaan diserahkanpada adiknya, R Mundingsari yang dinobatkan pada tahun1190.Ia kemudian bertapa di gunung Jambu Dipa, atau GunugKarang, di Karesidenan Banten, Jawa Barat. Sewaktubertapa terlihat olehnya tiga cahaya di belahan timuryang menjulang tinggi ke angkasa. Maka bersama 160pengikutnya, dicarilah letak cahaya itu. Sungai danpekatnya hutan pegunungan disusuri. Setelah melewati daerah Kerawang, Sungai Comal, GunungCupu, Gunung Kraton sampailah mereka ke Desa Rajawana.Setelah mendaki perbukitan Ardi Lawet, mereka tiba diGunung Panungkulan (gunung Cahya), desa Grantung,kecamatan Karangmoncol, Purbalingga. Di puncak bukititu mereka mendirikan pertapaan.Dalam saat yang bersamaan, di negara Arab ada seorangmubaligh bernama Syekh Atas Angin. Ia keturunanRasulullah SAW dari Sayyidina Ali. Sesudah salatsubuh, ia mendapat ilham bahwa di sebelah timurterdapat tiga cahaya putih yang menjulang tinggi keangkasa. Maka beserta 200 pengiring, ia menempuhperjalanan mencari sumber cahaya itu. Mula-mularombongan ini singgah di Gresik kemudian merapat diPemalang, menuju Gunung Cahya. Di tempat sumber cahayaini, Syekh Atas Angin melihat R Mundingwangi sedangbertapa. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakutuh,” sapaSyekh Atas Angin.Yang diberi salam diam saja, sebab Mundingwangi belummemeluk Islam. Keduanya kemudian terlibat dalam adukesaktian. Ternyata Mundingwangi kalah dan bersediamasuk Islam. Selanjutnya Mundingwangi diberi Ilmu Kewalian digunung Kraton yang terletak di sebelah utarapegunungan Cahya dan diberi gelar Pangeran Wali SyekhJambukarang. Konon, pada saat berlangsungnya penurunanIlmu kewalian, semua pegunungan di sekitar bukitKraton puncaknya tunduk mengarah ke gunung Kraton.Tapi ada sebuah gunung yang tidak tunduk puncaknya,maka gunung tersebut diberi nama gunung Bengkeng(membandel). Untuk menyempurnakan keislamannya, PangeranJambukarang menunaikan ibadah haji ke Mekah.Sekembalinya dari Tanah Suci ia dikenal sebagaiMubalig Agung dan diberi gelar Haji Purba. Konon, iajuga memiliki beberapa kekeramatan, pecinya dapatterbang ke angkasa, menumpuk telur di udara satupersatu tidak jatuh, menggandeng tempat-tempat air diangkasa, dan lain-lain.Sebagai rasa terima kasih, Wali Syekh Atas Angindikawinkan dengan salah seorang putrinya, NyaiRubiahbekti. Perkawinan ini melahirkan tiga putra dandua putri, Wali Mahdum Husen, Mahdum Medem, MahdumUmar, Nyai Rubiahraja, dan Nyai Rubiyahsekar. Setelah menamatkan ilmu kewalian pada Syekh AtasAngin, ia kemudian mendirikan padepokan danmenyebarkan dakwah Islam di wilayah Purbalinggadibantu Santri Agung, salah seorang santrinya.Keduanya dikuburkan berdampingan di puncak gunungCahya. Kelak, keturunan Syekh Jambukarang banyak mengabdikepada Kasultanan Demak. Pangeran Wali Makhdum Husein,salah seorang putranya, gigih mengusir tentaraPajajaran yang menyerang daerah Cahyana karenaperbedaan pandangan agama. Salah seorang cicitnya yang sangat berperan dalammenyambung silaturahmi dengan Demak adalah SyekhMahdum Wali Prakosa (Wali yang kuat sekali), yangtidak lain cucu Wali Mahdum Husein. Ia adalah pembuatsoko guru, tiang masjid Demak bersama Sunan Kalijaga.Salah satu tiang tersebut kemudian terkenal dengannama soko tatal. Ia meluruskan arah masjid Demak kekiblat dengan menggunakan palu besar. Sultan Demakmemberikan piagam penghargaan khusus kepada Syeh WaliPrakosa di Cahyana atas pengabdiannya yang besar dalammelakukan dakwah di tanah Jawa
posted by Jalan trabas @ 20:23   0 comments
SYEKH ABDUL FATAH
beliau adalah salah seorang wali besar di Tanah Jawa. Sejak muda ia sudah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya yang sangat tajam setiap kali mengkaji ilmu-ilmu agama dengan pendekatan tasawuf.

Di Desa Cidahu, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1884, lahirlah seorang jabang bayi yang kelak menjadi ulama besar. Orangtuanya memberinya nama Abdul Fatah. Sejak muda ia sudah tertarik pada kehidupan rohaniah dengan menimba ilmu tarekat pada K.H. Sudja’i, guru mursyid Tarekat Tijaniyah, selama tujuh tahun sejak 1903.
Selama menjadi santri, Abdul Fatah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya terhadap berbagai ilmu agama yang sangat tajam. Terutama ketika ia menganalisis dengan menggunakan ilmu nahu dan saraf dengan pendekatan tasawuf. Ia suka belajar dengan membaca berbagai kitab, sehingga beberapa pelajaran yang belum sempat disampaikan oleh gurunya sudah ia kuasai.
Suatu hari, ia membaca ayat 17 surah Al-Kahfi, “Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, dia termasuk orang yang diberi petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, dia sekali-sekali tidak akan mendapatkan seorang wali yang mursyid.” Ia lalu bertanya kepada Kiai Sudja’i, “Siapakah wali mursyid yang dimaksud dalam ayat ini?” Kiai Sudja’i menjelaskan perihal wali mursyid sebagai guru tarekat, sementara mencari wali mursyid merupakan keharusan. Tapi, karena Kiai Sudja’i mengaku bukan wali mursyid, Abdul Fatah disarankan untuk mencari wali mursyidnya.
Maka berangkatlah Abdul Fatah mencari wali mursyid dengan mengunjungi para ulama di Jawa dan Sumatra. Karena belum menemukan, ia lalu mencarinya ke Timur Tengah, khususnya Mekah. Maka pada 1922 ia pun berangkatlah, dengan membawa seluruh anggota keluarganya. Sampai di Singapura, kapal yang mereka tumpangi rusak. Terpaksalah ia bermukim di Negeri Singa itu. Ia tinggal di Kampung Watu Lima, kemudian di Kampung Gelang Serai, selama lima tahun. Di sanalah ia, suatu hari, bertemu Syekh Abdul Alim Ash-Shiddiqy dan Syekh Abdullah Dagistani, yang mengajarkan Tarekat Sanusiyah.
Pada 1928, setelah memulangkan keluarganya ke Tasikmalaya, ia berangkat ke Mekah bersama beberapa jemaah haji Indonesia, seperti K.H. Toha dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, dan K.H. Sanusi dari Pesantren Syamsul Ulum, Gunungpuyuh, Sukabumi (lihat Alkisah edisi 17/III/2005, Khazanah). Selama di Mekah, Abdul Fatah bergabung dengan Zawiyah Sanusiyyah di Jabal Qubais, mengaji kepada Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi selama lima tahun.
Karena sangat alim, belakangan Abdul Fatah mendapat kepercayaan membaiat atau menalkin murid tarekat yang baru masuk. Selama belajar tarekat kepada Syekh Ahmad Syarif, ia sempat mengalami berbagai ujian. Suatu hari, ketika tengah mengajar, Syekh Ahmad Syarif mengamuk dalam majelisnya. Apa saja yang ada di dekatnya dilempar ke arah murid-muridnya. Semua muridnya lari berhamburan karena takut. Namun, ada seorang murid yang bergeming, tetap diam di tempat. Dialah Abdul Fatah.

Kursi Istimewa
Sebagai guru mursyid tarekat, Syekh Ahmad Syarif biasa duduk di kursi istimewa, dan tak seorang pun berani mendudukinya. Mengapa? Sebab, siapa yang berani mendudukinya, badannya akan hangus. Suatu hari Syekh Ahmad memerintahkan Abdul Fatah untuk menggantikannya mengajar. Maka dengan tenang Abdul Fatah duduk di kursi istimewa itu, tanpa ada kejadian apa pun yang mencelakakannya.
Akhirnya, pada suatu hari, Syekh Ahmad Syarif memanggilnya. Ia menceritakan, semalam Rasulullah SAW memerintahkan untuk melimpahkan kekhalifahan Tarekat Sanusiyah kepada Abdul Fatah Al-Jawi untuk dikembangkan di negerinya. Sejak itu Abdul Fatah mendapat gelar Syekh Akbar Abdul Fatah. Setelah itu, lebih kurang dua tahun kemudian, Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi pun wafat.
Pada 1930, Syekh Akbar Abdul Fatah pulang kampung dengan membawa ajaran Tarekat Sanusiyah, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tarekat Idrisiyah karena tiga alasan. Pertama, untuk berlindung dari tekanan politik kaum kolonialis Belanda. Kedua, kandungan ajaran kedua aliran itu sama, karena Idrisiyah juga merupakan anak Tarekat Sanusiyah, yang sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad bin Idris. Ketiga, untuk mendapatkan berkah Syekh Ahmad bin Idris atas keistimewaan lafaz zikirnya yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan Nabi Khidlir, yaitu Fi kulli lamhatin wa nafasin ‘adada ma wasi’ahu ‘ilmullah (.................)
Di Cidahu, Syekh Akbar Abdul Fatah menghadapi berbagai tantangan, baik dari penjajah Belanda maupun para jawara. Namun semua itu ia hadapi tanpa takut sedikit pun. Tiga tahun kemudian ia mulai mendirikan beberapa zawiah di beberapa tempat, terutama di Jawa Barat, masing-masing dilengkapi dengan sebuah masjid, Al-Fatah. Pada 1930, ia sempat berdakwah sampai ke Batavia, singgah di Masjid Kebon Jeruk, kini di kawasan Jakarta Kota. Ia juga sempat mengembangkan tarekat di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Suatu hari ia mengembangkan tarekat di Masjid Al-Falah di Batutulis, kini di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Di sana ia juga harus menaklukkan para jawara. Dan sejak itu syiar dakwah Islam terus berkembang. Banyak muridnya yang kemudian mewakafkan tanah untuk digunakan sebagai zawiah. Ia juga membangun sebuah asrama untuk tempat tinggal para santri dari jauh. Di tengah kesibukannya mengajar di Batavia, dua minggu sekali ia menyempatkan diri mengajar di kampung halamannya.
Pada 1940, karena pesantrennya di Cidahu sudah tidak bisa menampung jemaah, ia lalu memindahkannya ke Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya.
Sebagai wali, Syekh Akbar Abdul Fatah memiliki banyak karamah. Suatu hari, dalam perang kemerdekaan, pasukan Hizbullah, yang terdiri dari para santri pimpinan Syekh Akbar Abdul Fatah, dibombardir oleh pesawat Belanda. Namun, bom-bom itu tidak meledak. Apa pasal? Karena Syekh Akbar Abdul Fatah telah membekali para santrinya dengan air yang telah didoainya. “Air doa” sang wali inilah yang, atas izin Allah SWT, menangkal bom-bom penjajah kafir tersebut.

Perampok Arab
Suatu hari seorang nelayan terdampar sampai ke pantai Australia. Ia kemudian berdoa, “Ya Allah, mengapa Engkau asingkan aku yang lemah ini di sini? Padahal, aku hanya bermaksud mencari nafkah buat anak-istriku. Ya Allah, datangkanlah penolong.” Ketika itulah ia melihat seorang ulama bertubuh tinggi besar berpakaian serba putih. Tiba-tiba ia memindahkan perahu nelayan itu ke tempat asalnya. Setelah selamat, nelayan itu menawarkan ikan besar yang baru saja ditangkapnya kepada ulama penolongnya itu.
Dengan tersenyum, ulama tersebut berkata, “Aku tidak membutuhkan ikan itu. Jika engkau ingin menjumpaiku dan menjadi muridku, datanglah ke Pagendingan, Tasikmalaya.” Setelah itu ulama tinggi bear itu pun lenyap dari pandangan mata. Selang beberapa minggu kemudian, nelayan itu datang ke Pesantren Pagendingan. Di sana ia bertemu seorang ulama yang fisik dan gerak-geriknya persis seperti yang ia lihat di pantai Australia. Ia tiada lain adalah Syekh Akbar Abdul Fatah.
Karamah yang lain terjadi ketika Syekh Akbar Abdul Fatah berada di Mekah. Suatu hari ia ingin berziarah ke makam Rasulullah SAW di Medinah. Membawa bekal secukupnya, bersama beberapa kiai dari Jawa, ia berjalan kaki menuju Medinah. Di tengah perjalanan, rombongan itu diadang perampok bersenjata lengkap. Rombongan peziarah itu terkepung oleh perampok yang mengendarai kuda dengan menghunus pedang. Syekh Akbar lalu memerintahkan rombongannya melepaskan apa saja yang ada di tangannya ke kanan dan kiri, sebagai kepasrahan seorang hamba yang lemah tak berdaya.
Sambil melepaskan apa yang dimiliki, Syekh Akbar berteriak dengan suara lantang, ”Ash-shalatu was salamu ‘alaika ya Rasulallah! Qad Dhaqat hilati, adrikni ya Rasulallah!” (Selawat dan salam serajahtera atas Tuan, wahai Rasulullah! Mohon lenyapkan rintangan jalan kami menuju engkau, wahai Rasulullah!). Ajaib! Kontan para perampok itu berteriak-teriak kesakitan sambil memegang leher mereka, “Ampun ya Syekh Jawa, ampun ya Syekh Jawa! Panas, panas!”
Pemimpin perampok itu lalu minta maaf, mohon dibebaskan dari siksaan. Maka Syekh Akbar pun mendekati dan menepuk pundak para perampok itu satu per satu. Barulah rasa sakit karena panas tak terkirakan di tenggorokan itu reda. Seketika itu pemimpin perampok menyatakan bertobat, dan bersedia mengantarkan rombongan ke mana saja. “Kalian adalah bangsa Arab yang berdekatan dengan kampung Rasulullah SAW, sedangkan kami datang dari negeri yang sangat jauh – tapi demi berziarah kepada Rasulullah SAW. Tidakkah kalian malu melakukan hal yang tidak terpuji ini? Sudah sepantasnya kalian lebih berbangga daripada kami, karena negeri kalian dikunjungi banyak orang dari seluruh pelosok negeri.”
Syekh Akbar Abdul Fatah wafat pada 1947 dalam usia 63 tahun, dimakamkan dalam kompleks Pesantren Al-Fathiyah al-Idrisiyah, Jalan Raya Ciawi Km 8, Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sejak itu pemimpin Tarekat Idrisiyah diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Dahlan. Pada 11 September 2001 Syekh Dahlan wafat, dan tongkat kepemimpinan tarekat diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan.
AST
Caption Foto:
Syekh Abdul Fatah. Berjalan kaki ke Medinah
Makam Syekh Abdul Fatah. Selalu ramai diziarahi
Masjid Al-Fatah di Jalan Batu Tulis, Jakarta Pusat. Markas Tarekat Idrisiyah
Pesantren Al-Fathiyah al-Idrisiyah, Tasikmalaya. Meneruskan tradisi salaf

“Sehubungan dengan masalah ilmu, ada empat macam manusia yang memperoleh pahala: orang yang bertanya, orang yang mengajarkan, orang yang mendengarkan, dan orang yang mencintai ketiga-tiganya.” (HR Abu Nu’aim dari Sayidina Ali)
posted by Jalan trabas @ 20:19   0 comments
KYAI PELACUR
Kyai Khoiron, sudah populer sebagai kiainya para pelacur di Surabaya.
Sehari-hari ia menjadi guru ngaji, konsultasn psikhologi dan bapak, kakak, sahabat yang sangat akrab dengan gemuruh jiwa para pelacur yang bergolak. Dua puluh tahun silam, diam-diam ia dirikan sebuah pesantren di komplek pelacuran terbesar di Surabaya. Dan saat ini ada tujuh ratus anak-anak pelacur itu nyantri di pesantrennya.

Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung belang, sementara suara musik keras mendentang memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji, meneriakkan halawat Nabi dan berzanji. Keduanya berjalan damai.“Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh tahun. Setelah? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada Tuhan,” katanya.“Pesantren anda ini?”“Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik, tanpa masa lalu dan trauma-trauma.”

***

Lain lagi dengan seorang Kiai di dekat kota Madiun.

Kiai Madun, sudah dikenal sebagai seorang kiai Thariqat dengan jama’ah ribuan. Suatu hari ia tertimpa gejala psikhologi yang begitu aneh: Rasa takut mati yang berlebihan. Selama enam bulan ia terus menerus menangis, seakan-akan Malaikat Maut membuntutinya. Ia juga heran kenapa harus takut mati? Saking takutnya, Kiai Madun mendatangi guru Mursyidnya. Dengan serta merta gurunya menyambut dengan sambutan yang cukup kontroversial. “Soal penyakitmu itu gampang obatnya. Mulai besok kamu pergi saja setiap hari ke komplek pelacuran!”“Bagaimana pak Kiai ini, kok saya malah harus main-main dengan pelacur. Apakah ini tidak bertentangan dengan syari’at?” kata Kiai Madun dalam hatinya.

Belum sempat ia meneruskan fantasinya, gurunya sudah memotong:“Dun!, Lihatlah mulutku ini!”Begitu melihat mulut gurunya, yang tampak adalah lautan luas tak bertepi. Kyai Madun hanya terperangah. Diam-diam ia menyesal. Kenapa soal-soal hakikat kehidupan harus ia pertanyakan lewat syariat kepada gurunya? Diam-diam pula hatinya menangis. Tapi juga muncul rasa ngeri, kenapa harus main-main dengan pelacur?Tapi Kyai Madun tidak mau membantah perintah gurunya.

Pagi-pagi Kiai ini sudah menghilang dari rumahnya. Ia cari komplek pelacuran yang jauh dari daerahnya. “Jalan penyembuhan” ini ia lakukan hampir setiap hari, sampai pelacur seluruh komplek itu kenal benar dengan Kyai Madun. Bahkan kadang, seharian penuh ia berada di tengah para perempuan penghibur itu, sambil mengingat-ingat, apakah rahasia dibalik perintah gurunya itu.Suatu pagi, ketika ia datang ke komplek langganannya, tiba-tiba ada kakek-kakek tua, baru saja keluar dari sebuah kamar pelacur. Ia sangat kaget, melihat kakek yang sudah uzur, dan mendekati ajal itu, masih sempat ke komplek pelacuran. Bahkan dengan wajah berseri, riang gembira, layaknya anak muda, sang kakek penuh percaya diri layaknya anak muda.“Iya, ya. Kakek ini sudah tua renta, kok tidak takut mati. Bahkan ia jalani kehidupan tanpa beban. Saya yang masih muda kok takut mati. Kualitas iman macam apa yang saya miliki ini?” katanya Kiai Madun dalalam hati.Dengan wajah terangguk-angguk, Kiai Madun merasa mendapat pelajaran dari Kakek tua renta itu. Dan seketika pula rasa takut matinya hilang begitu saja. Sembuh!
***
Lain lagi dengan Kyai Marwan, dari Nganjuk.
Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk konsentrasi sebagai Kyai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang mneneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra?Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai Marwan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Kyai Marwan mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara dalam istikhoroh itu.
Tentu saja Kyai Marwan menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini?”Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mambuk, Kyai Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi eluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Kyai Marwan. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari? Apa Mbak tidak salah alamat?” tanya Kyai Marwan pada perempuan itu.Perempuan itu hanya menundukkan mudanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya. “Masya Allah….Masya Allah…Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja. …” kata Kiai Marwan, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu.
Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu sepakat untuk berjodoh.Tiga Kiai tersebut, sesungguhnya merupakan refleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi. Kiai Khoiron yang menjadi kiai para pelacur, sesungguhnya wujud dari kemerdekaan Sufistik pada kepribadian seseorang yang berani menerobos dinding-dinding verbalisme kultur agama, sebagaimana misteri Kyai Madun, yang harus sembuh di komplek pelacuran. Juga nasib bidadari yang ditemukan Kiai Marwan di komplek pelacuran itu. Semuanya menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah.
Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan menampilkan tiga Kiai Pelacur itu.
posted by Jalan trabas @ 19:52   0 comments