Hilangnya Ilmu Agama GusDur, Apa yang dikatakan Mbah Hasyim adalah sebuah pergerakan yang akan terjadi di masa depan. Kita melihat ada yang benar terjadi, seperti tercabutnya ulama dari yang pinter ke yang lebih bodoh. Di era Mbah Hasyim ada Kyai Mahfudz Termas, yang meninggal di Mekkah. Beliau punya murid tiga; Mbah Hasyim, Kyai Faqih Mas Kumambang Gresik, dan Kyai Munawir Krapyak. Ketiganya hebat, seimbang dengan gurunya. Nah pada NU dibentuk, hanya ada Rais Akbar dan Wakilnya. Mbah Hasyim diminta jadi Rais Akbar, oleh gurunya Kyai Zainuddin Ngajuk, berdasar urutan kemampuan, dan Wakil Rais, Mbah Faqih Maskumambang. Nah Kyai Munawir tidak dimasukkan kemana-mana. Ia jengkel, lalu ke Jogja jadi penghulu keraton tapi tidak lama keluar dari sana. Lalu di Jogja nggak ada (ikatan alumni) lulusan Tebu Ireng. Ini dia, jengkel kepada kedua kyai tersebut, dan dinyatakan terbuka. Tapi anehya, ketika beliau meninggal, anak-anaknya pada berebut masuk NU; Kyai Zainal, Kyai Marsum, Nyai Hasyimah yang kawin dengan Kyai Ma’sum. Hanya semuanya polos saja. Demikian cerita beliau bertiga. Jadi ini menunjuk pada pandangan Mbah Hasyim. Dia ini orang yang, kalau mau jujur, ya sangat percaya pada hal yang dianggap menyimpang dari ajaran Nabi. Lha kita menghadapi kenyataan bahwa hal yang diturunkan Nabi sudah nggak dipakai lagi. Walau teman kita, kaum modernis sering mengambil dari kitab lama juga, hadist dsb. tapi nggak bisa bedakan hadist yang bermacam. Akibatnya pengambilan mereka nggak tepat. Sementara abad ke-21 ini kita dipaksa oleh keadaan di mana kita mesti menghormati agama lain, meski mereka salah paham dengan agama itu. Maka kita harus mengatasi keadaan ini dengan cara mengutamakan kepentingan bersama, yakni kepentingan masyarakat. Jadi bukan pendapat masing-masing. Mau dia bodo atau nggak, tapi yang kepentingan masyarakat harus diutamakan. Apa itu? Yakni hal yang dipentingkan agama, yang oleh fiqh dirumuskan sebagai, tasharruf al-imam ’ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah, kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus terkait dengan kesejahteraan bersama. Nah kesejahteraan inilah yang dirumuskan kedalam terma keadilan dan kemakmuran. Maka para ulama yang tergabung dalam BPPKI, telah memasukkan dalam UUD kita pedoman masyarakat adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran, makmur dalam keadilan. Selanjutnya, Jelas, bahwa kematian ulama menjadi jalan, di mana Muslim sedikit demi sedikit diangkat dari jalan yang benar ke jalan yang kurang benar. Pertanyaan : Dalam pembahasan kemarin, terlihat Mbah Hasyim mengritik kaum kebatinan yang menganut ittihad dan hulul. Tetapi Pak Kyai dalam pengantar buku Islam Sufistik karya Alwi Shihab menjelaskan bahwa Mbah Hasyim pengamal hulul. Pripun niki? Gus Dur : Dulu, kaum kebatinan dan santri saling membenci satu sama lain, sehingga tak ada persesuaian sama sekali. Itu sebabnya kaum kejawen membesar-besarkan kebudayaan mereka dan pengawasan keyakinan agama. Jadi mereka ikut pada kata-kata Heru Cokro, dan Syeh Siti Jenar, yakni yang penting memahami kebenaran batiniah sudah cukup, nggak perlu syari’at. Nah santri marah, siapapun nggak memakai syari’at, nggak benar. Ini pesan dari man lam yatahaqqoq walam yatasysyarro’ fahua zindiqun. Tapi lambat laun terjadi pengenalan lebih mendalam, sehingga kaum kebatinan tidak lagi merendahkan santri. Kira-kira setahun lalu ada Ibu Arifin, dia buta huruf dari Kriyan, kuburan Syeh Subakir. Dia satu hari membaca Surat Yasin lima kali di Troloyo, di kuburan Syeh Jumadil Kubro, yang terkait dengan leluhur saya Tan Kin Han, duta besar Cina untuk Majahapit yang menjadi menantu putri Cempa. Nah Bu Arifin ini biasa ngaji di kuburan Syeh Jumadil Kubro, dia mimpi, diberitahu tahu untuk pergi ke Tebu Ireng, baca Yasin, dan ternyata Mbah Hasyim duduk didepannya. Beliau berkata, ”Tolong sampeyan pergi ke Jakarata nemui cucu saya, Abdurrahman Wahid. Katakan pada dia, sudah waktunya kita baikan dengan kaum kejawen.” Dia mengatakan disuruh meletakkan bakiak (sandal dari kayu) di bawah bedug di Masjid Munawaroh ini. Ini maknawi, karena nggak kelihatan. Lalu saya dengar lagi dari Resi kejawen. Dia mengatakan bahwa sore hari di rumahnya, Walisongo datang, hendak sholat jama’ah. Lalu di hamparkanlah tikar, tapi mereka masih duduk-duduk. Resi itu tanya, lho kok masih duduk? Para wali menjawab, ”Ya, kami masih menunggu dua orang.” Lalu datanglah Syeh Siti Jenar dan Kyai Hasyim Asy’ari. Dalam sholat itu yang ditunjuk jadi imam Syeh Siti Jenar karena dia paling tua, tapi Syeh Siti mempersilahkan Mbah Hasyim, kalau dia gampang saja. Begitu selesai sholat, Mbah Hasyim mbrangkang (merangkak), dia sudah imam, doanya dimintakan pada Siti Jenar. Ini artinya kepemimpinan bangsa dipegang kalanan santri, tetapi yang mendoakan orang kebatinan. Ini situasi sekarang. Meski cerita itu mimpi, tapi saya percaya bahwa mimpi itu petunjuk yang naql, karena al-Qur’an ndak mungkin di bikin lagi
from ponpes ciganjur
|