hamba yang hina

Name: Aku
rumah: Di dalam aku
hamba:Jalantrabas Jalan Yang Cepat Menuju Ilahi

 

KOLOM BERITA

 

ARCHIEVES

 

SHOUTBOX

 

Pengunjung

geovisite
geovisite

 

Links

 
 

Sunday 9 December 2007
SYEKH ABDUL KARIM

Gerakan kebangkitan kembali (revival) yang dipimpin Syekh Abdul Karim alias Kia Ageng memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula.
———————-

Senin, 13 Februari 1876. Haji Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia terpaksa meninggalkan Banten menuju tanah airnya yang kedua, Makkah, menyusul pengangkatannya sebagai pemimpin Tarekat Qadiriah, menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang pengawal, dan 30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia.

Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan, Residen Banten meminta Kiai Abdul Karim mengubah rute perjalanannya. Rencananya singgah di beberapa tempat di Tangerang dibatalkan; diputuskan ia akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji dari Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci. Selain itu, satu pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, janda Tumenggung Karawaci dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah kolonial sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan para pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai, seperti Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan salam perpisahan—dan semoga Kiai kembali.

Tak syak lagi, Haji Abdul Karim adalah salah satu ulama yang sangat dihormati dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung abad ke-19. Ia digelari Kiai Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang telah dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai petunjuk kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika seluruh daerah dilanda banjir air Sungai Cidurian; kedua, setelah ia dikenai hukuman denda, residen diganti dan bupati dipensiun.

Besarnya pengaruh Kiai Abdul Karim, juga tampak ketika ia melangsungkan pernikahan putrinya. Seluruh desa Lampuyang, tempat tinggalnya, dihias dengan megah. Kiai-kiai terkemuka — termasuk dari Batavia dan Priangan — datang di pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia dan berlangsung sepekan itu.

Sejak muda Abdul Karim berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua cabang ilmu keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul ‘Arifin ini – kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia Tenggara – mengajar di Masjidil Haram sampai wafatnya pada 1875. Ulama terkemuka ini punya banyak pengikut, sehingga ajaran Qadiriah menyebar di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura, dan Banten. Kecuali di Madura, semua pengikut tersebut berada di bawah bimbingan Haji Abdul Karim. Boleh dikatakan, Abdul Karim adalah murid Syekh Sambas yang paling terkemuka. Tak heran, jika dia mendapat kepercayaan gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat Qadiriah.

Tugas pertama yang diemban Haji Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di Singapura. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang, Tanara, pada tahun 1872. Ia mendirikan pesantren, dan karena sudah amat terkenal, dalam waktu singkat ia sudah banyak memperoleh murid dan pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti, dialah yang paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala itu.

Kurang lebih tiga tahun Kiai Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan yang dimiliknya, ia mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara itu, sambil menyebarkan ajaran tarekatnya. Selain kalangan rakyat, ia juga berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung dakwahnya. Tidak kurang dari Bupati Serang sendiri yang menjadi pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya, dan mereka amat terkesan dengan dakwahnya. Alhasil, Kiai Abdul Karim sangat populer dan sangat dihormati oleh rakyat; sedangkan para pejabat kolonial takut kepadanya. Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan tentu saja kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin naik. Tidak berlebihan jika dikatakan, Kiai Abdul Karim benar-benar orang yang paling dihormati di Banten.

Sebelum kedatangan Kiai Agung dengan tarekat Qadiriahnya, para kiai bekerja tanpa ikatan satu sama lainnya. Tiap kiai menyelenggarakan pesantrennnya sendiri dengan caranya sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah kedatangan Kiai Abdul Karim, tarekat Qadiriah bukan saja semakin mengakar di kalangan rakyat, tapi mampu mempersatukan para kiai di Banten. Penyebaran tarekat ini diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid Haji Abdul Karim yang paling setia, dari Makkah

Kiai Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya menjelajahi berbagai daerah di Banten. Dalam kunjungan-kunjungan itu dia tak henti-henti berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan lebih taat beribadah. Ia menjelaskan bahwa aqidah (keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus dimurnikan. Abdul Karim memfokuskan zikir sebagai tema keangkitan kembali kehidupan agama (revival). Maka zikir diselenggarakan di mana-mana, menggelorakan semangat keagamaan rakyat. Dan Berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-khotbah Kiai Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk.

Dalam waktu singkat, setelah Haji Abdul Karim memulai kunjungannya dari satu tempat ketempat lain, daerah Banten diwarnai kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya. Pengaruh dari meluasnya kegiatan keagamaan ini adalah bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang penguasa asing. Kebetulan pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan rakyat kepada pemerintah kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi mereka yang merugikan rakyat. Dalam situasi demikian, para ulama secara bertahap membangunkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian rupa sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak terhadap Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum tiba saatnya karena rakyat belum siap.

Haji-haji Berjiwa Pemberontak

Seperti diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Kiai Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula. Setelah Haji Abdul Karim meninggalkan Banten, menurut Sartono, gerakan itu berpaling dari semata-semata sebagai gerakan kebangkitan kembali. Semangat yang sangat anti asing mulai merembesi gerakan tarekat yang telah ditumbuhsuburkan Kiai Abdul Karim. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru tarekat yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran tarekat sepenuhnya di bawah tujuan politik.

Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888. Dua tokoh kunci lainnya adalah KH Wasid dan KH Tubagus Ismail. Sebelum bertolak ke Makkah, sekali lagi ia berkeliling Banten. Di tempat-tempat yang dikunjunginya, ia berseru kepada rakyat agar berpegang teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar. Ia memilih beberapa ulama terkemuka untuk memperhatikan kesejahteraan tarekat qadiriah. Ia juga pamit kepada para pamong praja terkemuka, dan berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan para ulama dalam membangun kembali kehidupan keagamaan, dan agar selalu minta nasihat kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.

Menjelang keberangkatannya, kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul Karim mengatakan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih dalam genggaman kekuasaan asing. Dia memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam pemberontakan Banten, antara lain Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang punya karisma.

Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar menantikan seruannya untuk berontak.

Snouck Hurgronje, yang menghadiri pengajiannya di Makkah pada 1884-1885, menceritakan:
“Setiap malam beratus-ratus orang yang mencari pahala berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar zikir dari dia, untuk mencium tangannya, dan untuk menayakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan berapa lagi pemerintahan kafir masih akan berkuasa.”
Tetapi Syekh Abdul Karim tidak memberikan jawaban pasti. Dia selalu memberikan jawaban-jawaban yang samar tentang soal-soal yang sangat penting seperti mengenai pemulihan kesultanan atau saat dimulainya jihad. Dia hanya mengisyaratkan bahwa waktunya belum tiba untuk melancarkan perang sabil.***

Dilema Guru, Dilema Murid

Pada 1883 murid Syekh Abdul Karim, Kiai Haji Tubagus Ismail, kembali dari Makkah, mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di kampung halamannya, Gulacir. Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali – ia tidak mencukur rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak pernah makan apa-apa. Ditambah bahwa ia juga cucu Tubagus Urip, yang sudah dikenal sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH Tubagus Ismail sudah punya banyak pengikut , dan kepemimpinannya semakin diakui di Banten. Menyadari dirinya mulai menarik perhatian umum, ia pun segera melancarkan propaganda untuk melawan penguasa kafir. Banyak ulama yang mendukungnya seperti Haji Wasid dari Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana pemberontakan, rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.

Pada Maret 1887 Haji Marjuki, yang sering pulang pergi Banten-Makkah, tiba di Tanara. Murid kesayangan dan wakil Haji Abdul Karim ini juga sahabat dekat Haji Tubagus Ismail. Menurut dugaan para pendudukung pemberontakan, kedatangan Haji Marjuki itu adalah atas permintaan sahabatnya itu. Haji Marjuki segera melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk mendakwahkan gagasan tentang jihad. Propagandanya cepat diterima umum, karena ia bertindak atas nama Haji Abdul Karim. Dilaporkan, setelah berbagai kunjungannya itu, masjid-masjid dipenuhi orang-orang yang beribadah, jamaah pada hari-hari Jum’at meningkat tajam. Dalam berdakwah di luar Banten, Haji Marjuki dibantu oleh Haji Wasid, yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiai di daerah Jawa Barat. Dikatakann, kedua haji ini sesungguhnya merupakan jiwa gerakan jihad di Banten. Bahkan pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen, menganggap bahwa Haji Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas pemberontakan itu.

Tetapi, menjelang pemberontakan meletus, Haji Marjuki segera berangkat ke Makkah bersama istri dan anaknya. Sebelum berangkat ia sempat memberkati pakaian putih yang akan dikenakan para pemberontak di masjid kediamannya di Tanara. Rupanya ia tidak sependapat dengan kiai lainnya, khususnya Haji Wasid, yang akan memulai pemberontakan pada bulan Juli. Kepada mereka ia menjelaskan bahwa pemberontakan itu terlalu dini, dan ia meninggalkan Banten sebelum pemberontakan pecah. Dan jika pemberontakan itu berhasil, ia akan mengundang Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke Banten dan ikut serta dalam perang sabil.

Di Makkah Haji Marjuki melanjutkan pekerjaan lamanya, yatu mengajar nahwu, sharaf, dan fikih. Muridnya tergolong banyak. Ia juga tidak pernah menyembunyikan sikap politiknya. Ia misalnya mengecam pemberontakan yang dipimpin Haji Wasid yang dinilainya terlalu pagi dan menimbulkan korban yang sia-sia. Menurutnya, agar berhasil, pemberontakan harus pecah di seluruh Nusantara, selain bahwa pemberontak harus punya cukup uang dan senjata. Karena pendapatnya itu, terjadilah perselisihan yang sulit didamaikan dengan Haji Wasid dan kawan-kawan. Dan kepada mereka ia mengatakan bahwa tangan kananya yang berpuru tidak memungkinnya aktif dalam perjuangan. Andaikan dia tetap di Banten, ia pasti akan menghadapi dilema: dibunuh oleh seradu-serdadu Belanda atau tidak berbuat apa-apa dan menghadapi risiko tindakan pembalasan Haji Wasid. Maka hanya satu alternatif – pergi ke Makkah. Lagi pula istri dan anak-anaknya masih ada di sana. Apakah alasana-alasan itu merupakan dalih yang dibuat-buat untuk meninggalkan medan pertempuran menjelang saat meletusnya pemberontakan, dan merupakan bukti bahwa pada saat-saat terakhir Haji Marjuki hanya mementingkan keselamatannya sendiri? .

Kedudukan pribadi yang sulit seperti itu, sebenarnya pernah dialami beberapa tahun sebelumnya oleh guru Haji Marjuki sendiri, Syekh Abdul Karim. Hanya saja sang guru tampaknya lebih “beruntung” karena keburu dipanggil untuk menggantikan kedudukan Syekh Sambas. Bukankah Haji Abdul Karim dulu, ketika masih di Banten, berpendapat bahwa rakyat sebenarnya belum siap untuk mengadakan pemberontakan? Bahkan, di tahun-tahun ketika murid-muridnya tidak sabar menungu “fatwa” untuk mulai berjihad, dia tidak pernah memberikan kepastian waktu. Sementara itu, sebagai kiai agung dan pengaruh, ia dituntut untuk merestui dan secara tidak langsung memimpin pemberontakan. Jadi, apakah sang murid kesayangan sebenarnya hanya mengikuti pendapat gurunya, Syekh Abdul Karim? Wallahu a’lam.

Yang pasti, setelah pemeberontakan dipadamkan, pemerintah kolonial terus memburu orang-orang yang terlibat atau mereka yang diduga terlibat dalam terlibat. Ada yang dihukum mati dengan cara digantung di Alun-alun Cilegon, diasingkan, dipenjara, dan, yang laing ringan, dikenai hukuman kerja paksa. Beberapa pemimpin pemberontak berhasil meloloskan diri, dan di antaranya ada yang lari ke Makkah. Dan meskipun diburu sampai Tanah Suci, pemerintah tidak bisa menjangkau mereka. Sementara itu, Kiai Abdul Karim dan Haji Marjuki terus dimata-matai.

Sekarang, jejak Syekh Abdul Karim kita temukan dalam pelbagai kumpulan tarekat. Organisasi-organisasi tarekat di Tanah Air, terutama Jawa (di pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang, Pagentongan, Bogor, Suralaya, Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan Tebuireng, keduanya di Jombang), yang paling berpengruh dan memiliki puluhan ribu pengikut, menyambungkan silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.***

posted by Jalan trabas @ 02:22  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home