Tradisi Sufi merupakan salah satu warisan Islam yang paling unik, Ajaran Sufi menyatakan bahwa kebenaran sejati tidak dapat ditemukan sekedar pemahaman intelektual lewat kajian Al-Quran dan Hadist, ritual-ritual keagamaan, metode-metode logis atau pemahaman tentang ilmu-ilmu tertentu, meskipun pengetahuan tersebut mencakup seluruh aspek dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Para Sufi menganggap semua itu hanyalah semacam pengantar untuk memasuki alam yang lebih tinggi, dan mereka berkeyakinan mutlak bahwa alam yang lebih tinggi itu, kebenaran sejati itu, hanya dapat didekati dan ditemukan melalui cinta. Bagi para Sufi, cinta itulah satu-satunya jalan dan sekaligus juga menjadi tujuan hidup mereka. Sebagaimana kita ketahui bahwa para ulama salaf penafsir Al-Quran dan Hadist, menyepakati bahwa surat Al-Fatihah merupakan Ummul Surah, surat induk yang menjiwai seluruh isi kandungan Al-Quran, dan Surat Al-Fatihah diintisarikan dalam satu ayat yaitu, Bismillahirrahmaanirrahiim, (Dengan nama Allah yang maha pengasih dan Penyayang). Ada juga sebuah Hadist Nabi yang menyatakan bahwa kita seyogyanya berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam pandangan saya, boleh jadi, bertolak dari dasar pemahaman ini, para sufi berupaya untuk menjadi rahmatan lil alamin bagi lingkungan dimana mereka berada. Setiap gerak dan laku senantiasa diupayakan agar dapat merepresentasikan Bismillahirrahmaanirrahiim dalam kehidupan sehari-hari, karena hanyalah laku dalam sifat utama Allah, akhlak Allah, Rahman dan Rahim (kasih dan sayang), cinta itu dapat tumbuh, berkembang dan menyebar. Lain halnya jika oleh sebagian kelompok masyarakat tertentu, jalan ini dianggap sesat. Tetapi jangan lupa, hak mutlak Allahlah untuk menyatakan seseorang itu tersesat atau mendapat hidayah/ petunjuk. Sebagian ulama berdalih bahwa fatwa sesat mereka terhadap ajaran sufi berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, dan berpendapat Sufi bukanlah ajaran Rasulullah, mereka bersikap seolah-olah mengetahui hakikat Al-Quran dan seluruh ajaran nabi! Wah hebat!. Lha wong zaman dulu saja, para imam Mazhab besar seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali dll. berbeda dalam menafsir Al-Quran dan Hadist, merekapun masing-masing mengklaim tafsirannyalah yang paling benar. Dengan Al-Quran yang sama, para sufi menafsirkannya secara berbeda pula. Siapa yang benar? Hanya Allah yang Maha Tahu. Bukan saya, bukan pula anda! Para sufi menjadikan Murshidnya/sang guru sebagai gerbang menuju dunia misterius, dunia tanpa batas, tanpa rupa, dunia yang tidak mungkin dapat dijelaskan. Oleh karena itu peran guru disini menjadi amat penting dalam perjalanan hidup para sufi, karena hanya sang gurulah yang mempunyai bara api gairah cinta ilahi yang tak pernah padam (Ishq/Isyq). Dalam tarekat sufi manapun yang pernah ada di bumi ini, peran seorang Guru adalah mutlak, lewat penundukkan ego dan penyerahan diri secara total, para murid memasuki gerbang cinta sejati. Memang hanya itu saja yang perlu dilakukan para murid. walaupun tidak semudah kedengarannya, penundukkan ego saja sudah cukup untuk memasuki gerbang tersebut. Disini kita harus terlebih dahulu memahami ego itu apa. Jika kita tidak tahu, lalu apa yang mau ditundukkan? apa yang mau diserahkan? Jangan-jangan selama ini definisi kita tentang ego itu salah.. silahkan menafsirkan ego menurut kesadaran anda pribadi. Sang Guru pernah berkata, “Jika kau masih menderita, berarti kau belum berserah diri sepenuhnya.” Di Ashram, ego diupayakan agar terkikis habis, melalui ratusan metode/teknik meditasi, melalui suatu proses tertentu, melalui kurun waktu yang bagi tiap orang adalah tidak sama, tergantung tingkat kesadaran dan kesiapan seseorang. Teknik tertentu bisa jadi hanya cocok untuk orang tertentu, dan hanya Gurulah yang tahu kepada siapa harus memberikan apa. Dalam perjalanan batin seseorang, ego sudah tentu selalu akan mengalami pasang surut, dan disinilah pentingnya peran seorang guru yang senantiasa berupaya keras, dengan segala cara, membakar murid-muridnya dengan bara cinta, ada yang hampir padam, lalu dibakar lagi, hingga suatu ketika bara dalam diri seorang murid menjadi bara abadi dan dapat ditularkan kepada siapapun yang menginginkannya. Jika kita memang bersungguh-sungguh, Allah pasti akan mengatur “pembakaran” itu. Seperti yang terjadi pada Jalalluddin Rumi yang terbakar oleh api cinta Gurunya, Syamsuddin Tabriz - Saat itu terjadi, tidak ada lagi bedanya antara murid dengan guru, sama-sama menjadi bara cinta, lalu kemudian Jalalluddin Rumi membakar muridnya, Husamuddin dan seterusnya, sambung bersambung, turun temurun, sehingga tradisi ini tetap lestari hingga hari ini, selalu ada saja orang yang memiliki bara itu. Dan dengan cara inilah Allah memelihara keseimbangan alam semesta, melalui para Guru Sejati yang mampir sejenak di dunia untuk memberkati kita, sehingga “kehidupan” kita terus dapat berjalan. Jalan Sufi dalam Islam hanyalah salah satu jalan dari sekian banyak jalan menuju kebenaran akan hakikat atau esensi cinta sejati. Di Islam saja ada begitu banyak aliran, belum lagi dari agama-agama lain, dimana tiap agama memiliki aliran-aliran sempalannya sendiri, tetapi jika kita sedikit mencermati salah satu ayat dalam surat Al-Fatihah “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus…” pertanyaannya adalah ; “Mengapa bukan jalan yang benar? Bukankah yang kita cari adalah kebenaran.?” Dalam pemahaman saya, semua jalan adalah benar, tetapi jalan tercepat, tersingkat dan termudah untuk mencapai tujuan adalah jalan lurus. Jika bisa berjalan lurus, mengapa memilih jalan berputar, berkelok, yang mau tidak mau jadi mampir sana sini, karena disana sini banyak “tukang jualan”, belum lagi ada resiko untuk tersesat di jalan. Akhirul kata, “Laakum dinukum Waliyadiin” (bagimu pemahamanmu tentang jalan lurus agamamu, bagiku pemahamanku tentang jalan lurus agamaku