hamba yang hina

Name: Aku
rumah: Di dalam aku
hamba:Jalantrabas Jalan Yang Cepat Menuju Ilahi

 

KOLOM BERITA

 

ARCHIEVES

 

SHOUTBOX

 

Pengunjung

geovisite
geovisite

 

Links

 
 

Sunday, 18 November 2007
KI AGENG GRIBIG

KI AGENG GRIBIG




Ki Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur, merupakan keturunan Prabu Brawijaya dari Majapahit. Ia adalah seorang Ulama besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di Desa Krajan Jatinom Klaten. Dakwah beliau sangatlah mengena pada masyarakat yang pada saat itu masih banyak memeluk agama Hindu Budha. Syiar beliau tidak hanya di daerah Klaten saja, namun menyebar luas sampai daerah Boyolali dan Surakarta. Ki Ageng Gribig sangat pandai dalam strategi dakwah, hingga masyarakat yang pada waktu itu masih kental dengan keyakinan pada pohon dan batu besar, menjadi beriman pada Allah SWT. Keluhuran serta jasa beliau senantiasa terkenang dan melekat pada masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Klaten dan Boyolali. Banyak peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Ki Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya. Salah satu peninggalannya adalah Masjid Besar Jatinom yang dulu dijadikan pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai sekarang dijadikan sebagai tongkat Khotib ketika shalat Jum'ah, serta kolam wudhu yang terletak 50 meter dari Masjid. Selain peninggalan yang berupa benda, beliau juga meninggalkan tradisi ritual yang disebut perayaan tradisional "Ya Qowiyyu". Hingga saat ini tradisi tersebut tetap berlangsung dan dihadiri oleh puluhan ribu jamaah yang sebagian besar datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah dan DIY. Kedatangan mereka pada acara tersebut biasanya diiringi dengan harapan agar mendapat apem (sejenis kue panggang terbuat dari tepung beras dan rasanya manis) yang konon memiliki berkah kekuatan supranatural tertentu. Perayaan "Ya Qowiyyu" pertama kali dilakukan Ki Ageng Gribig pada hari Jumat bertepatan tanggal 15 Sapar, sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian nikmat Allah SWT. Rasa syukur itu diungkapkan dalam puji-pujian, berupa kalimat dalam bahasa Arab "Ya Qowiyyu", yang artinya "Allah Yang Maha Perkasa (Kuat)". Kalimat itu dilafalkan berkali-kali. Akhirnya masyarakat menamai prosesi adat itu sebagai "Ya Qowiyyu". "Ya Qowiyyu" merupakan wujud sedekah berupa makanan kepada masyarakat luas. Konon Ki Ageng Gribig bersama Sultan Agung sering shalat Tarawih dan Jumat di Makkah. Suatu hari, sepulang dari Tanah Suci, mereka membawa oleh-oleh tiga buah apem. Tapi, karena jamaah shalat pada waktu sangatlah banyak, maka tiga apem itu dicampurkan dalam apem yang dibuat sendiri untuk dibagikan sebagai oleh-oleh. Meskipun berkali-kali ditambah bahannya, akan tetapi jumlah apem itu tetap belum mencukupi jumlah jamaah yang hadir. Akhirnya Ki Ageng Gribig memutuskan untuk menyebar apem itu seusai shalat Jumat di depan Masjid Besar untuk diperebutkan. Siapa yang mendapatkan apem itu, merekalah yang mendapat berkah. Sejak itu, Ki Ageng berpesan agar jamaah menyisihkan sebagian rezeki untuk bersedekah dan memberi makan pada orang miskin. Dan pesan itu diwujudkan dalam bentuk perayaan "Ya Qowiyyu" yang terus berlangsung sampai sekarang. Meskipun beliau wafat, tradisi "Ya Qowiyyu" masih tetap dilaksanakan. Bahkan dari tahun ke tahun, pengunjung yang datang dalam ritual tersebut semakin banyak. Karena halaman masjid besar Jatinom tidak dapat menampung pengunjung, maka beberapa tahun terakhir ini, pemerintah setempat mengalihkan tempat perayaan ke pinggiran sungai yang terdapat kolam. Kolam itulah yang konon adalah tempat wudhu Ki Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 m dari Masjid. Satu minggu sebelum perayaan "Ya Qowiyyu" dibuka secara resmi, wilayah Jatinom memang tampak ramai oleh orang-orang yang khusus datang untuk menyaksikan rangkaian perayaan tradisional yang sudah berlangsung turun temurun itu. Di antara mata acara yang digelar adalah bursa benda seni, pasar malam, pengajian akbar dan berbagai pertunjukan lainnya. Puncak datangnya para pengunjung baik dari Klaten maupun dari luar kota adalah satu hari sebelum acara penyebaran apem yang biasanya dilaksanakan pada tanggal 14 Sapar pukul 09.00 pagi WIB. Mereka datang sehari sebelumnya, dan menginap di rumah-rumah penduduk di sekitar masjid. Tujuan mereka sama, melihat perayaan tradisi tersebut dan syukur-syukur bisa merebut apem . Acara penyebaran apem diawali dengan pembacaa tahlil dan doa serta acara ritual lainnya. Panitia menyediakan dua menara beton setinggi 4 meter luas 2 x 2 meter persegi sebagai pusat penyebaran apem. Sebanyak 10 orang di masing-masing menara yang mengenakan kaos putih ditugaskan melemparkan apem ke tengah-tengah kerumunan massa. Orang-orang mengacung-acungkan tangan mereka ke arah menara agar tempat mereka berdiri diberi apem. Dan, begitu apem jatuh ke arah mereka, tanpa sungkan-sungkan mereka saling dorong dan berebutan untuk mendapatkannya. Seringkali apem yang semula utuh itu lantas hancur tatkala menjadi bahan rebutan. Ada yang kreatif menggunakan jaring yang diberi galah untuk menangkap apem yang berhamburan. Apem yang disebar dalam perayaan "Ya Qowiyyu" sampai saat ini seberat 3 ton. Begitulah tradisi perayaan "Ya Qowiyyu" yang digagas Ki Ageng Gribig, yang sampai saat ini masih diyakini oleh masyarakat setempat serta yang datang dari luar kota, sebagai perayaan yang mendatangkan berkah bagi kehidupan m
posted by Jalan trabas @ 23:10  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home