hamba yang hina |
Name: Aku
rumah: Di dalam aku
hamba:Jalantrabas Jalan Yang Cepat Menuju Ilahi
|
|
KOLOM BERITA |
|
|
ARCHIEVES |
|
|
SHOUTBOX |
|
|
Pengunjung |
geovisite
|
|
Links |
|
|
|
|
|
Sunday, 4 May 2008 |
islam dan mistik sufisme jawa 1 |
Khazanah kepustakaan Jawa kaya dengan karangan-karangan tentang filsafat mistik yang lazim disebut suluk. Pada umumnya suluk disampaikan melalui kisah perumpamaan atau alegori, dan ditulis dalam bentuk puisi atau tembang macapat gaya Mataram (Koentjaraningrat 1984:316), tetapi tidak jarang ditulis dalam bentuk gancaran atau prosa (Edi Sedyawati 2001:300). Sebagai alegori, suluk-suluk itu kaya dengan ungkapan-ungkapan simbolik dan simbol atau image-image simbolik. Karena itu untuk memahaminya diperlukan metode penafsiran atau pemahaman yang sesuai. Kisah Dewa Ruci adalah salah suluk yang popular di Jawa dan sering dipergelarkan sebagai lakon wayang kulit. Keragaman versinya menunjukkan luasnya penyebaran kisah ini, begitu pula dengan banyaknya naskah yang memuat teks kisah ini di berbagai museum dalam dan luar negeri (PigeAUD 1967:83-7; Behrend 1990:499-544). Sejak lama cukup banyak sarjana sastra Jawa telah menelitinya, berdasar pertimbangan bahwa suluk ini merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelasnya. Versi yang terkenal gubahan Raden Ngabehi Yasadipura I, pujangga Surakarta yang hidup pada masa pemerintahan Pakububuwana II (1726-1749 M) dan Pakubuwana III (1749-1788 M). Ketika karangannya itu ditulis kraton Surakarta baru saja pulih dari krisis akibat pemberontakan internal, namun campur tangan VOC yang semakin jauh dalam politik di pusat kekuasaan Jawa membayangi gelapnya kehidupan social, ekonomi dan budaya. Ancaman disintegrasi sudah lama tampak. Ini diperparah lagi dengan ketegangan di pesisir sebagai akibat dari pertikaian teologis antara pembela ortodoksi Islam dan kaum heterodoks. Ketegangan ini berpengaruh dalam kehidupan politik dan keagamaan di pedaman, tempat pusat kekuasaan berad (Ricklefs 1993:203-12). Krisis politik ini tentu saja sangat berpengaruh bagi perkembangan kebudayaan. Masyarakat Jawa mulai merasakan kehilangan orientasi dan krisis identitas mulai tampak dalam pola hidup dan perkembangan kesenian. Untuk memulihkan kondisi budaya yang parah itu, sebuah gerakan semacam renaissance (kebangkitan kembali) budaya diperlukan. Ini mulai dirasakan pada zaman pemerintahan Pakubuwono II. Renaissance itu dimulai dengan menyadur dan menggubah kembali karya-karya Jawa Kuna, dan juga teks-teks Melayu Islam. Teks-teks Jawa Kuna dan Melayu Islam yang telah digubah kembali itu berperan penting sebagai landasan untuk merumuskan kembali filsafat hidup dan kebudayaan Jawa. Yasadipura I menulis suluknya dalam rangka renaissance kebudayaan dan kesusastraan Jawa (Pigeaud I 1967:160-171; Edi Sedyawati 2001:321). Dalam periode inilah sinthesa kebudayaan Jawa dan Islam, yang diwakili tasawuf atau sufisme, mendapat bentuknya yang definitif. Sinthesa itu tercermin sepenuhnya dalam kisah Dewa Ruci. Karena itu tidak mengherankan jika suluk ini termasuk teks mistik Jawa yang paling banyak mendapat perhatian dari para sarjana untuk diteliti dan dikaji. Di antara kajian yang pernah dilakukan dan dianggap penting ialah kajian Zoetmulder (1935), Poerbatjaraka (1940), Wediondiningrat (1940), Siswoharsojo (1953), Seno Sastromidjojo (1962), Anne Wind (1956), Johns (1957), dan Soebardi (1975). Selama tiga dasawrsa setelah kajian Soebardi, dapat dikatakan tidak ada kajian yang mendalam, bahkan hanya mengulang kajian terdahulu. Padahal masih banyak yang belum diteliti dari suluk ini, terutama yang berkenaan dengan tasawuf atau mistisisme Islam, yang merupakan aspek dan unsur penting dari suluk sinthesis ini. Dalam kajian yang telah disebutkan unsure ini hanya dibicarakan sambil lalu dan dianggap seakan hanya merupakan unsure atau aspek sampingan belaka. Berdasarkan kenyataan inilah, penelitian ini ditumpukan pada unsur-unsur tasawuf yang terdapat dalam suluk ini. Khususnya pengaruh paham monisme dari ontologi atau filsafat wujud Ibn `Arabi yang disebut sebagai paham kesatuan transenden wujud (wahdat al-wujud). Unsur lain dalam DR yang berkaitan dengan tasawuf ialah uraian tentang hawa nafsu (nafs) dan hati (qalb) serta keadaan-keadaan yang dialaminya pada saat seseorang menempuh jalan mistik (suluk). Unsur ini termasuk ke dalam bidang psikologi sufi, yang terutama sekali dibahas oleh Imam al-Ghazali yang pemikiran tasawufnya sangat berpengaruh di Indonesia. Sebagaimana dalam alegori-alegori mistik yang lain, konsep-konsep tasawuf yang dibahas dalam teks itu dikemas dalam symbol-simbol lokal. Ini juga akan mendapat perhatian dalam penelitian ini.
2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah: Pertama, menerangkan bagian-bagian dari teks Dewa Ruci yang bersesuaian dengan ajaran Ibn `Arabi tentang wujud, khususnya seperti terlihat pada penggunaan konsep-konsep kunci dan simbol-simbol estetik sastranya; Kedua, menerangkan hubungan DR dengan psikologi sufi yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali; Ketiga, menjelaskan keberhasilan penulisnya dalam memadukan filsafat mistik Jawa dan Islam dalam sebuah karangan sastra.
3. Data Teks Yang Diteliti Teks-teks yang dijadikan bahan penelitian ialah teks-teks Serat Cabolek yang tidak jauh berbeda salinannya. Teks dalam naskah Perpustakaan Museum Leiden , nomor Cod. Or. 1795. Didaftar dalam katalog Vreede CCXXVII (Vol. II, hal. 314 – 5). Tembang macapat yang digunakan dalam awal suluk ialah Dandanggula. Teks Serat Cebolek cetakan Van Dorp, 1887. Dalam katalog Vreede (II, hal. 30) dikemukakan bahwa teks salinan dalam tulisan Latin ini disalin dari teks tulisan Jawa dan diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan edisi 1887, yaitu Van Dorp & Co, Semarang. Edisi ini dimulai dengan tembang Dandanggula seperti berikut, “Serat Cabolek, anyariosaken ing nalika keraton Kartasura, panjengenganipun Kanjeng Susuhunan Sumare Nglaweyan. Ing waktu mas Ketib Anem Kudus paben kaliyan Haji Ahmad Mutamakin dusun Cabolek bawah nagari Tuban, bab prakawis ngelmu Taukid…”. Teks Serat Cabolek suntingan Soebardi (1975) dari beberapa naskah Koleksi Museum Nasional Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional Jakarta) yang juga diawali dengan tembang Dandanggula, berbunyi: “Wuryaning sarkara manulad sri, pinanduk ing reh angkara cipta, karti sampeka panjro jujur tyaas katelanjur. Pangajarin pakarti kontit, tan tatal tinatula, jataling kalbu, kombul Kabul ing istijrat…” (Soebardi 1975:66). d. Syair-syair Hamzah Fansuri yang dijadikan bahan perbandingan dalam penelitian ini didasarkan atas teks dalam naskah Melayu abad ke-18 yang terdapat dalam koleksi Perpustakaan Museum Jakarta (MS Jak. Mal. No. 83). Transliterasinya lihat Abdul Hadi W. M. (2002:351-412).
4. Teori Teori yang digunakan adalah perpaduan Teori Arketipal Jung dan Teori `Alam al-Mithal Ibn `Arabi. Menurut Jung, sejak dulu hingga kini manusia terdiri dari tipe-tipe tertentu dan tipe-tipe itu terbentuk disebabkan pengalaman bersama di masa lampau. Tipe-tipe itu muncul dari sumbernya yang disebut collective consciousness atau ketaksadaran bersama (Jung 1957:100-123); Steven 1982; Budi Darma 2004:46-9). Ia hadir dalam sastra dalam bentuk archetypal images, termasuk di dalamnya image-image simbolik, mitos dan motif-motif tertentudalam cerita (Jung 1957:112; Jacobi 1968). Di antaranya berupa bayangan, anima, animus, orang bijak, ibu agung, pahlawan, ayah, anak, dan diri (self). Tetapi Jung tidak menjelaskan bagaimana proses hadirnya image-image purbani itu dalam sastra. Ibn `Arabi menjelaskan bahwa proses itu terjadi karena pengarang menggunakan imaginasi kreatif dalam melahirkan karangannya. Imaginasi kreatif mengolah pengalaman dan gagasan-gagasan keruhanian pengarang, dan memberinya wadah berupa image-image purbani yang besifat simbolik. Image-image itu tampaknya diambil dunia empiris, tetapi sebenarnya berasal dari alam imaginal (`alam al-mithal) yang berada jauh di lubuk jiwa pengarang. Karya sastra dilihat sebagai representasi alam imaginal yang pembacaannya bisa utuh bilamana kita memahami makna batin yang dikandung simbol-simbolnya. Simbol-imbol itu lebih jauh berfungsi sebagai penghubung pengetahuan empiris dengan pengalaman intuitif mistikal (Corbin 1977:188). 5. Metode Metode yang digunakan adalah gabungan Gadamer dan hermeneutika sufi (ta’wil). Keduanya saling melengkapi dan relevan dalam meneliti karya-karya bercorak mistikal dan simbolik. Dalam metode hermeneutika karya sastra dipandang sebagai wacana simbolik karena unsur fiksionalitas dan perumpamaa (metaphor) yang ada di dalamnya sangat menonjol. Dalam metode ini teks dikaji sebagai bentuk ‘pelambangan’ atas sesuatu yang lain (Corbin 1981:13 – 19). Sesuatu yang lain itu memiliki ‘cakrawala’ yang luas dibandingkan dengan cakrawala harafiah teks. Menurut Gadamer ada empat cakrawala tersembunyi dalam suatu teks filsafat atau sastra. Empat cakrawala itu ialah (1) Bildung atau pandangan keruhanian yang membentuk jalan pikiran seseorang, termasuk di dalamnya pandangan hidup (way of life), system nilai Weltanschauung; (2) Sensus communis, yaitu pertimbangan praktis, yang dalam sastra bisa terwujud dalam pemilihan tema atau permasalahan dengan mempertimbangkan perasaan komunitas di mana pengarang hidup; (3) Judgment atau pertimbangan, berhubungan dengan apa yang harus disampaikan dan diajarkan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan baik buruknya; (4)Taste atau selera, cara-cara menyajikan sesuatu yang sesuai dengan selera masyarakat sezaman (Salleh Yaapar 2002:70-80; Sumaryono 1993:78-9). Dalam hermeneutika sufi, bildung dihubungkan dengan ontologi (falsafah wujud) dan psikologi sufi. Dalam ontology sufi, alam semesta terdiri dari empat tatanan wujud, secara berturut-turut dari atas ke bawah ialah alam ketuhanan (alam lahut), alam keruhanian (alam jabarut), alam kejiwaan (alam malakut), dan alam jasmani (alam nasut). Simbol perjalanan dalam sebuah karya mistikal seperti Dewa Ruci adalah perjalanan mendaki dari tatanan wujud terdendah menuju tatanan wujud tertinggi. Dalam wilayah pengalaman tentang wujud tertinggi itulah makna sebenarnya sebuah karya harus dicari (Salleh Yaapar 2002:81-94)
6. Deskripsi Kisah Dewa Ruci Kisah Dewa Ruci mulai digubah pada abad ke-18 M berdasarkan teks abad ke-16 M Serat Syekh Malaya karangan Sunan Kalijaga. Ada dua versi dari teks abad ke-16 ini. Versi I menceritakan pertemuan Iskandar Zulkarnanin dengan Nabi Khaidir di sebuah pantai. Iskandar diseruh menyelam ke dalam lautan untuk mencari air hayat (ma` al-hayat) agar bisa hidup kekal. Versi II, peran Iskandar diganti oleh Syekh Malaya alias Sunan Kalijaga (Abdul Hadi W. M. 2002:322). Dalam Serat Dewa Ruci peran Syekh Malaya diganti oleh Bima, sedangkan Nabi Khaidir oleh Dewa Ruci. Cerita dimulai dengan peristiwa pertemuan Bima dan Drona menjelang perang Kurawa Pandawa meletus. Drona memerintahkan Bima mencari air hayat di puncak gunung Candradimuka agar bisa hidup kekal dan berjaya di medan perang. Setelah gagal menjumpai di puncak gunung, Bima disuruh mencarinya di dalam lautan. Dalam Serat Cabolek, bagian awal kisah tidak diceritakan. Kisah langsung dimulai dengan penyelaman Bima ke dalam lautan untuk mencari air hayat, suatu episode yang memang paling penting dalam kerangka suluk Dewa Ruci. Sinopsis ceritanya yang lengkap ialah sebagai berikut: Menjelang meletusnya perang Kurawa dan Pandawa (Bharatayudha) Drona memanggil muridnya Bima, putra kedua Pandu (Pandawa). Drona yang memihak Kurawa, mempunyai rencana jitu. Agar Bima yang sakti tidak ikut dalam perang Pandawa melawan Kurawa, ia harus disingkirkan. Drona menyuruhnya mencari air hayat ke puncak gunung Candradimuka. Sebagai murid yang patuh Bima menjalankan perintah gurunya. Drona gembira, karena yakin Bima akan mampus diterkam binatang buas dan raksasa. Tetapi di luar dugaan Bima dapat mengalahkan dua raksasa sakti dan ganas yang dijumpai di hutan dan merintangi perjalanannya. Namun alangkah kecewanya, setibanya di kawah Candradimuka putra Pandu dia tidak menemukan air hayat seperti dituturkan gurunya. Bima kembali menemui Drona. Drona mengeluarkan lagi tipu dayanya. Dia menyuruh Bima mengarungi samudra, karena air hayat itu terdapat di sana. Dengan tegap Bima pun berjalan menuju menuju laut, lantas berenang dan menyelam. Di dalam lautan dia berjumpa ular naga besar dan ganas menghalangi perjalanannya. Melalui pertarungan yang dahsyat, Bima dapat mengalahkan ular naga itu. Kemudian dia berjumpa dengan Dewa Ruci, manusia bertubuh kecil, yang rupanya mirip dengan dirinya, bermain-main seperti boneka bergerak-gerak. Dima mendapat pelajaran bahwa air hayat itu tidak lain ialah persatuan mistis dengan Yang Maha Tunggal (manunggaling kawula Gusti). Cara mencapainya dengan menjalani disiplin keruhanian yang keras, termasuk menundukkan hawa nafsu dan menycui dirinya. Bila itu dicapai ia akan mendapatkan hidup yang kekal di dalam Yang Maha Esa (baqa’). Dalam teks SC pencapaian ruhani (maqam) ini disebut “Weruh sangkan paraning dumadi” (mengetahui asal-usul dan tujuan segala kejadian). Dalam Serat Cabolek episode ini dituturkan oleh Ketib Anom di hadapan peserta musyawarah di kraton Kartasura, yang diadakan untuk mengadili Haji Mutamakin, seorang pembangkang dan penganut paham heterodoks seperti Syeh Siti Jenar. Dalam bagian inilah uraian tentang filsafat mistik Jawa diuraikan Episode ini dimulai pada pupuh VIII:12: Lantas dia – Ketib Anom – meminta/Agar diperkenankan melanjutkan pembicaraan/Dan uraian tentang Serat Bima Suci/Dan mulai dengan kisah/Ketika Bima dititah/Masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci) Kata Dewa Ruci “Ayo Werkudara, cepat/Masuk ke dalam perutku!/Werkudara tertawa/Lantas bertanya perlahan,/“Tubuh paduka kecil,/Sedang saya tinggi besar/ Seperti gunung/Dari mana saya harus masuk, /Sedangkan jari saya saja sukar masuk!”) Kata Dewa Ruci “Ayo Werkudara, cepat/Masuk ke dalam perutku!/Werkudara tertawa/Lantas bertanya perlahan,/“Tubuh paduka kecil,/Sedang saya tinggi besar/ Seperti gunung/Dari mana saya harus masuk, /Sedangkan jari saya saja sukar masuk!”) 7. Analisis Simbol Laut dan Air Hayat Pencitraan Dewa Ruci sebagai kembaran Bima memperlihatkan bahwa dalam psikologi sufi dan mistik Jawa dikenal dua jenis ‘diri’ (self), yaitu ‘diri jasmani’ yang direpresentasikan oleh Bima dan ‘diri ruhani’ (higher self) yang direpresentasikan oleh Dewa Ruci. Dalam tasawuf, ‘diri jasmani’ disebut nafs atau hawa nafsu. Karena menempati alam bawah (alam nasut) ia disebut lower self dalam bahasa Inggeris. Perjalanan ruhani seorang penuntut ilmu suluk, dilukiskan oleh Rumi sebagai ‘perjalanan dari ‘diri’ ke Diri’, yaitu dari ‘diri palsu’ ke ‘Diri Hakiki’. (Happold 1981:58-61). ‘Diri ruhani’ disebut juga sebagai badan halus, tempatnya dalam tatanan wujud ialah di alam keruhanian (alam jabarut). Sedangkan ‘diri jasmani’ disebut badan kasar. Perjalanan mencapai ‘diri ruhani’ hanya bisa dilakukan oleh Bima dengan menyelam ke dalam lautan untuk mendapatkan air hayat. Dalam wacana sastra sufi, khususnya dalam filsafat mistik Ibn `Arabi, simbol lautan digunakan untuk menggambarkan ketakterhinggaan dan keluasan wujud Tuhan. Sastrawan sufi Melayu yang banyak menggunakan simbol ini ialah Hamzah Fansuri. Misalnya seperti dalam syairnya Bahr al-`Ulya atau Lautan Wujud Yang Maha Tinggi. Dalam syair itu Wujud Mutlak dikiaskan sebagai Bahr al-`ulya (Lautan Maha Tinggi). Ia merupakan asal-usul segala kejadian, sebab salah satu dari tujuh sifat-Nya yang utama ialah Maha Hidup (al-hayy) yang memberikan hidup kepada segala sesuatu. Sifatnya yang lain ialah maha memiliki ilmu (`ilm) dan karenanya Maha Tahu (`alim) (Abdul Hadi W. M. 2001:395). Tema serupa diuraikan dalam Dewa Ruci ketika Bima berjumpa Dewa Ruci, guru spiritualnya itu. ‘Air Hayat’ adalah simbol bawahan dari Lautan. Simbol ini dikenal di Nusantara sejak masuknya agama Islam bersama tasawufnya. Dalam teks-teks Jawa Kuna, yang mewakili teks-teks paling tua di Nusantara, pemakaian simbol seperti itu tidak dijumpai. Tamsil air hayat dalam sastra Nusantara dijumpai untuk pertama kali dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain yang teks Melayunya telah ditulis pada abad ke-15 M (Braginsky 1998); kemudian dalam teks Jawa dan Melayu abad ke-16 M seperti Serat Syekh Malaya Sunan Kalijaga dan Syair Tauhid dan Makrifat Hamzah Fansuri. Kata ‘air hayat’ adalah terjemahan dari kata Arab ma` al-hayat. Simbol atau tamsil ini digunakan untuk menyebut pengetahuan mistikal (ma`rifa) yang mengantarkan seseorang mencapai persatuan mistis dengan Tuhan (pamoring kawula gusti). Dengan bekal pengetahuan itu seseorang akan fana`(luluh dalam sifat ketuhanan) dan baqa’ (kekal dalam Yang Maha Abadi). Judul risalah tasawuf Nuruddin al-Raniri, ulama Aceh abad ke-17 M, memakai kata-kata itu untuk menerangkan pentingnya ilmu haqiqat atau makrifat. Dalam syair Hamzah Fansuri, makrifat ditamsilkan sebagai air hayat, sebab pengetahuan inilah yang dapat menghidupkan jiwa yang mati dan yang dengan itu menyebabkan seseorang mengenal kebenaran hakiki dan mencapai persatuan mistikal dengan Tuhannya. Dengan demikian ia merasakan hidup kekal (baqa) bersama Tuhan. Dalam syairnya Hamzah Fansuri antara lain menyatakan: bersambung ke2 |
posted by Jalan trabas @ 23:04 |
|
|
|
|
|