hamba yang hina

Name: Aku
rumah: Di dalam aku
hamba:Jalantrabas Jalan Yang Cepat Menuju Ilahi

 

KOLOM BERITA

 

ARCHIEVES

 

SHOUTBOX

 

Pengunjung

geovisite
geovisite

 

Links

 
 

Friday, 4 January 2008
Gus Dur sebagai Individu Fenomenologi


Oleh : Ridho Imawan Hanafi*
Suatu saat menurut cerita dari sebuah literature, sebelum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) hendak didirikan, selepas melakukan ziarah di makam seorang yang diyakini sebagai wali, Gus Dur berucap sambil nggreneng (berbicara pelan dengan sedikit mengeluh) kepada orang-orang di dekatnya : “lain kali kita ndak usah berkunjung ke sini lagi, karena nampaknya sang wali tadi tidak menyetujui kita mendirikan partai!”. Sontak kaget bagi yang mendengarnya sekaligus bertanya-tanya, ternyata tidak hanya pandai melakukan komunikasi politik dengan sebangsanya namun Gus Dur juga bisa berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal.

Di kalangan nahdliyin cerita seperti itu tentu tidak asing lagi dan sudah menjadi konsumsi publik ketika membicarakan Gus Dur. Lingkungan pendidikan tradisional pesantren tidak menutup diri untuk akses komunikasi seperti itu. Kebiasaan berkomunikasi dengan orang yang mempunyai daya kekeramatan tertentu lazim dilakukan oleh orang yang mempunyai kemampuan linuwih. Orang melakukannya dengan beragam tujuan dan sesuai kebutuhan. Tidak aneh jika kemudian dalam kehidupan keseharian kaum nahdliyin tumbuh subur keyakinan klenik dan sejenisnya.

Bagi pembaca Gus Dur yang kurang akrab untuk memperoleh akses yang “aneh” tersebut membuat penilaian terhadapnya juga sesuai dengan kemampuan yang ada. Malah hal itu kadang dinilai sebagai titik kelemahan Gus Dur. Ini yang kemudian menjadikan Gus Dur sebagai sasaran tembak bagi siapa yang ingin menyerangnya dengan sebutan-sebutan tokoh yang cenderung “irasional”, sulit dipahami secara nalar maupun secara ilmiah. Akibatnya Gus Dur ketika berkomunikasi dengan publik (umatnya) menjadi tidak mudah dipahami sesuai dengan kehendak atau nalar umum.

Tidak saja berkomunikasi dengan yang secara akar genealogis memiliki kemiripan yakni kaum nahdliyin yang di bawah, namun Gus Dur kadang-kadang dan bahkan sering juga menjadikan “pesan langit” sebagai rujukan dalam melahirkan keputusan penting. Banyak keputusan-keputusan yang dinilai tidak sesuai dengan nalar inderawi lewat insting politik maupun keputusan bersama namun malah bersumber dari, Gus Dur menyebutnya “orang-orang tertentu”.

Secara teoritis komunikasi yang dilakukan Gus Dur tidak akan mampu ditangkap utuh pesannya, yang justru muncul malah distorsi pesan yang disampaikan. Ketidaksamaan kerangka rujukan (frame of reference) dan luasnya pengalaman (field of experience) antara komunikator dengan publik membuat proses komunikasi yang menghendaki adanya kesamaan persepsi, tujuan kesepemahaman pesan sulit dicapai. Hal inilah yang kemudian menjadikan Gus Dur penuh kontroversial. Sulit dipahami, tidak hanya bagi orang awam, politikus, lawan politiknya bahkan orang terdekatnya sendiri sulit untuk dimintai penjelasan jika Gus Dur melakukan komunikasi di luar kewajaran.

Ini kemudian terbaca dari sikap dan pandangan politiknya yang tidak saja berbeda dengan kebanyakan orang akibat keyakinan yang dimiliki namun juga melahirkan keputusan-keputusan yang dinilai hanya Gus Dur saja yang tahu, yang lain ikut saja. Muncullah kemudian dengan istilah “mistik” politik Gus Dur. Anehnya hal tersebut bagi Gus Dur berlaku kapan saja dan di mana ia berposisi. Sampai dirinya menjabat sebagai presiden keempat RI tidak mudah menanggalkan hal-hal yang bagi orang lain tidak bisa diterima dengan kalkulasi rasional.

Bagi penulis dan mungkin juga dirasakan oleh banyak orang yang terlibat dalam lingkungan sosial politik Gus Dur pertanyaan yang sering mengganggu adalah kemampuan komunikasi politik yang demikian bagaimana secara penalaran politik bisa diterima dengan baik. Memang kemampuan demikian akibat olah batin spiritual yang diimbangi kecerdasan politik dan baginya hak bagi Gus Dur. Namun bukankah Gus Dur juga tokoh publik? Juga dalam tingkatan tertentu disebut sebagai the living wali, sehingga ucapan dan tindakannya selalu “diamini” berjuta-juta umatnya. Dan kecenderungan untuk memistifikasikan politik Gus Dur ini membuat penilaian bagi orang yang belum dan tidak mampu memahami Gus Dur dianggap sebagai belum selevel dengannya atau “the king can do no wrong”.

Untuk menjawab pertanyaan yang pesimistik seperti itu diperlukan sebuah rumusan yang tepat dan gamblang agar Gus Dur tidak selalu dipahami sebagai tokoh yang penuh persangkaan mistik. Pengalaman penulis selama meneliti dan mewawancarai Gus Dur, ketika Gus Dur ditanya mengenai hal seperti itu jawaban yang ada adalah : “tidak benar saya dikatakan irasional, yang menganggap seperti itu karena memang mereka mempunyai pandangan yang lain dengan saya”. Penjelasan mengenai seringnya mendapat pesan dari “langit” yang kadangkala menjadi bahan rujukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dijawab Gus Dur dengan enteng : “saya memang sering mendapat informasi dari “si A” atau “si B”, tergantung masalahnya, jika pandangan-pandangan yang menurut banyak orang rasional terus diikuti dengan “pesan langit” itu akan semakin menguatkan”.

Tentu saja kemampuan komunikasi sarwa linuwih, penggabungan antara yang rasional dengan “irasional” Gus Dur ini tidak semua orang paham dan memilikinya, karena Gus Dur ketika melakukannya selalu dibarengi dengan proses transaksi pemikiran logis-operasional sesuai dengan alam pengalaman pikiran dan struktur batinnya (fenomenologi). Inilah yang kiranya bisa sedapat mungkin menjadi rujukan bagi siapa saja yang ingin mencoba secara obyektif menilai cara komunikasi politik Gus Dur. Sebagai individu fenomenologi dirinya selalu diikuti dengan realitas-realitas non empirik, artinya ada realitas lain yang sesungguhnya di balik realitas empiris. Apalagi ketika berada dalam dunia politik yang serba abu-abu (grey area).

Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak di permukaan -seperti pola perilaku sehari-hari -- hanyalah suatu gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” sang pelaku. Perilaku apapun yang tampak di tingkat permukaan baru bisa dipahami atau dijelaskan manakala bisa sedapat mungkin membongkar dunia kesadaran manusia pelaku. Karena realitas itu bersifat subyektif dan maknawi, maka ia akan bergantung pada persepsi. Persepsi merupakan inti dari setiap komunikasi jenis apapun. Kesalahan menerima persepsi yang tersirat dalam bahasa-bahasa makna berdampak terhadap hasil.

Karena komunikasi selalu terkait dengan persoalan bahasa maka bahasa dalam hal ini dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah penciptaan makna, termasuk makna-makna simbolis dari komunikasi “mistis” ala Gus Dur. Dengan demikian mamahami Gus Dur baik kelebihan maupun segala macam kekurangannya harus menukik dalam tingkatan dunia makna dan ide yang terbenam dalam diri pelaku. Karena inilah yang nantinya memunculkannya sebagai fakta fenomenologis untuk memahaminya sendiri sangat diperlukan suatu proses penghayatan yang oleh Max Weber disebut dengan interpretative understanding.

Ini seperti yang sering diingatkan oleh Gus Dur sendiri bahwa ada realitas lain yang kemunculannya butuh jeda atau waktu tersendiri untuk membuktikan apakah yang ia lakukan itu rasional atau dalam derajat tertentu memperoleh derajat kebenaran. Seperti contoh dengan apa yang terjadi sekarang ketika Gus Dur di partai yang dikomandoninya sedang diuji tahan banting untuk membuktikan “keampuhan” kekuatan pergerakan atau komunikasi politiknya menghadapi kekuatan-kekuatan yang tidak lain adalah orang-orang yang pernah bersamanya, menimba “ilmu” darinya, yang bisa saja tidak terlalu mempunyai cukup waktu luang untuk berlama-lama berada dalam distorsi-distorsi pesan yang baginya rumit dan sulit ditangkap dengan kekuatan rasional. Wallahu ‘alam.



gusdur.net

posted by Jalan trabas @ 18:15  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home