hamba yang hina

Name: Aku
rumah: Di dalam aku
hamba:Jalantrabas Jalan Yang Cepat Menuju Ilahi

 

KOLOM BERITA

 

ARCHIEVES

 

SHOUTBOX

 

Pengunjung

geovisite
geovisite

 

Links

 
 

Saturday 17 November 2007
KH. SALEH DARAT
DALAM kitab Alhikam, Kiai Saleh Darat menulis, salah satu tanda kewalian seseorang secara lahiriah adalah banyaknya umat yang berziarah jika ia telah meninggal dunia. Adapun secara batiniah, seseorang itu mampu menjadi wasilah (perantara) doa umat kepada Allah SWT. Kini, bertahun-tahun setelah kematiannya, dua tengara itu justru melekat pada dirinya. Setiap 10 Syawal, ribuan orang mengunjungi makam Kiai Saleh Darat di kompleks Pemakaman Umum Bergota, Semarang. Sebagian di antara mereka juga meyakini bahwa ia seorang wasilah. Terlepas dari benar-tidaknya keyakinan itu, jumlah umat yang hadir tak termungkiri menjadi penanda kebesaran namanya.
Sabtu (12/11), haul ulama besar yang terlahir dengan nama Muhammad Shalih itu kembali digelar untuk kali ke-105. Seperti tahun-tahun sebelumnya, umat berdatangan, tak hanya dari Semarang, tetapi juga kota-kota lain di Jawa Tengah seperti Kendal, Ungaran, Demak, Pati, Purwodadi, Ambarawa, Tegal, Solo, dan Pekalongan. Mereka sudah hadir semenjak pagi, bahkan di antaranya ada yang sengaja menginap sehari sebelumnya.
Dipimpin KH Muhammad Muin Alhafidz, umat yang hadir bersama-sama membaca tahlil. Ketua Pengajian Ahad Pagi 1939 itu juga menyampaikan riwayat Kiai Saleh Darat dalam menyampaikan syiar Islam di Tanah Jawa dan Nusantara. Ulama itu lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, sekitar tahun 1820. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih bin Umar Alsamarani. Adapun kata ''Darat'' di belakang namanya adalah sebutan masyarakat untuk menunjukkan tempat di mana dia tinggal, yakni di Kampung Darat, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.
Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu'in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Dia juga belajar kepada KH Muhammad Saleh Asnawi Kudus (tafsir Aljalalain Alsuyuti, KH Ishaq Damaran (nahwu dan sharaf), KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (ilmu falaq), KH Ahmad Bafaqih Balawi (kajian jauharah Attauhid karya Syaikh Ibrahim Allaqani dan Minhaj Alabidin karya Alghazali) serta KH Abdul Gani Bima (kitab Almasa'il Assittin karya Abu Alabbas Ahmad Alghani).
Belum merasa cukup, dia diajak ayahnya memperdalam agama di Singapura, sebelum akhirnya menuju Makkah. Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Pengagum
Seusai menuntaskan pendidikannya, dia mendapat kesempatan mengajar, terutama kepada para santri yang datang dari Jawa. Satu di antaranya adalah KH Hasyim Asy'ari yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya, KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat.
Para santri berdatangan dari luar daerah. Sebagian di antaranya menjadi ulama terkemuka, antara lain KH Mahfuzd (pendiri Pondok Pessantren Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), KH Sya'ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak, Yogyakarta).
posted by Jalan trabas @ 22:25  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home