hamba yang hina

Name: Aku
rumah: Di dalam aku
hamba:Jalantrabas Jalan Yang Cepat Menuju Ilahi

 

KOLOM BERITA

 

ARCHIEVES

 

SHOUTBOX

 

Pengunjung

geovisite
geovisite

 

Links

 
 

Sunday 30 March 2008
Pertemuan Guru besar Sejati

PERTEMUAN DENGAN KHIDR

Khidr adalah 'pemandu gaib' kaum Sufi, dan ia dipercaya sebagai Penuntun tanpa nama bagi Musa a.s. di dalam al-Qur'an. 'Orang Berbaju Hijau' ini sering dihubungkan sebagai 'Orang Yahudi' dan dalam legenda disamakan dengan tokoh-tokoh seperti St. George dan Elijah. Dongeng ini --atau laporan-- adalah karakteristik dari fungsi supranatural yang dihubungkan pada Khidr, baik dalam cerita rakyat maupun diantara guru-guru darwis.

Suatu ketika, saat berdiri di tepi sungai Oxus, aku melihat seorang pria tercebur. Pria lainnya, berbusana darwis, berlari menolongnya, tetapi dia sendiri terseret ke dalam air. Tiba-tiba aku melihat pria ketiga, berpakaian jubah berkilauan, hijau bercahaya, melemparkan diri ke air. Tetapi saat ia menyentuh permukaan air, bentuknya tampak berubah; ia bukan lagi seorang manusia, melainkan sebatang kayu. Dua orang lain berusaha meraihnya, dan bersama-sama mereka mencapai tepi.

Sulit untuk mempercayai apa yang telah kulihat, aku mengikuti dari kejauhan, menggunakan semak-semak yang tumbuh di sana sebagai pelindung. Dua pria menarik diri terengah-engah di tepian sungai; batang kayu tersebut terus hanyut. Aku mengawasinya, sampai jauh lepas dari pandangan, dan tersangkut di pinggir, dan pria berjubah hijau, basah kuyup, menarik diri ke pinggir. Air yang membasahinya mulai menetes; sebelum aku mencapainya, ia sudah hampir kering.

Aku menjatuhkan diri di depannya, menangis: "Anda pasti Khidr yang Hadir, Orang Berjubah Hijau, Guru Para Suci. Berkati aku, agar dapat mencapai." Aku takut menyentuh jubahnya, karena tampak menjadi seperti api hijau. Dia berkata; "Engkau sudah terlalu banyak melihat. Mengertilah bahwa aku datang dari dunia lain, dan aku tanpa mereka ketahui melindungi orang-orang yang telah melakukan pelayanan. Engkau mungkin murid Sayed Imdadullah, tetapi engkau belum cukup dewasa untuk mengetahui apa yang kami lakukan demi Allah."

Ketika aku mendongak, ia sudah lenyap, dan yang dapat aku dengar adalah suara gemuruh di udara.

Setelah kembali dari Khotan, aku melihat orang yang sama. Ia tengah berbaring di atas kasur jerami di sebuah tempat peristirahatan dekat Peshawar. aku berkata pada diriku sendiri, "Bila waktu lalu aku masih mentah, maka sekarang sudah dewasa."

Aku memegang jubahnya, yang ternyata sangat biasa --kendati di baliknya aku melihat sesuatu kilau hijau.

"Anda pasti Khidr," kataku padanya, "Tetapi aku harus tahu bagaimana orang yang tampak biasa seperti Anda menunjukkan keajaiban-keajaiban ... dan mengapa. Jelaskan keahlian Anda padaku, agar aku dapat melakukannya pula."

Ia tertawa, "Engkau tidak sabar, temanku! Waktu lalu engkau terlalu keras kepala --dan sekarang masih keras kepala. Pergilah, ceritakan pada siapa pun yang engkau jumpai bahwa engkau telah bertemu Khidr Ilyas; mereka akan memasukkanmu ke rumah sakit jiwa, dan semakin bersikeras bahwa engkau benar, mereka akan semakin mengikatmu."

Kemudian ia mengambil sebuah batu kecil. Aku menatapnya -- dan mendapatkan diriku lumpuh berubah seperti batu, sampai ia mengambil tas-pelananya dan berlalu.

Ketika aku ceritakan kisah ini, orang-orang tertawa atau menganggapku tukang cerita, dan memberiku hadiah.

HASAN AL-BASHRI

Ketika ia ditanya: "Apakah Islam, dan siapakah ummat Muslim?" ia menjawab: "Islam ada di dalam buku, dan muslim ada di pusara."

APA YANG SESUNGGUHNYA DIKETAHUI MANUSIA

Manusia menganggap, secara khayal, bahwa mereka mengetahui Kebenaran dan pemahaman Ilahiyah. Kenyataannya, mereka tidak tahu apa-apa.

(Al-Jurjani)

SUFYAN ATS-TSAURI

Seorang pria dalam mimpinya berjumpa dengan Sufi yang dihormati karena perbuatan baiknya. "Aku diberi penghargaan karena menyingkirkan kulit buah di jalan, yang seseorang dapat terpeleset olehnya," ujar si Sufi.

Ketika hal ini dilaporkan kepada Sufyan ats-Tsauri, berkata; "Betapa beruntungnya ia tidak dihukum untuk setiap peristiwa dimana ia beramal dan merasa senang atas perbuatan itu."

(Al-Ghazali)

DOSA

Dosa menentang Allah adalah satu hal; tetapi dosa pada sesama manusia adalah lebih buruk.

(Sufyan ats-Tsauri)

MANUSIA HARUS DALAM KEADAAN BENAR

Uwais al-Qarni berkata pada beberapa pengunjung:

"Apakah engkau mencari Allah? Jika demikian, mengapa engkau datang kepadaku?"

Para pengunjung hanya berpikir bahwa mereka memang mencari Allah. Kehadiran mereka dan emanasi (pancaran) mereka terbuka.

"Jika engkau tidak demikian," lanjut Uwais, "kendaraan apa yang mengangkut dirimu denganku?"

Karena mereka para cendekiawan dan emosionalis, mereka tidak dapat memahaminya.

BAYAZID AL-BISTHAMI

Seorang Majusi pemuja api ditanya, mengapa ia tidak menjadi Muslim.

Ia menjawab:

"Jika maksudmu bahwa aku harus menjadi orang sebaik Bayazid, aku tidak berani. Bagaimanapun, jika maksudmu aku harus menjadi orang sejelek engkau, aku tidak sudi."

KELAS

Kelas-kelas yang lebih rendah pada masyarakat adalah mereka yang mempergemuk diri sendiri dalam kehidupan atas nama agama.

(Ibnu al-Mubarak)

NAMA-NAMA

Engkau menyebutku orang Kristen, untuk membuatku marah dan membuat dirimu sendiri merasa senang. Lainnya menyebut diri mereka orang Kristen, untuk membuat diri mereka sendiri merasakan emosi yang lain. Baiklah jika kita berurusan dengan kata-kata yang menyenangkan, aku akan menyebutmu penyembah setan. Itu akan memberimu suatu agitasi yang akan menyenangkan dirimu untuk beberapa waktu.

(Zabardast Khan)

BAYAZID AL-BISTHAMI

Seorang pria religius yang tulus, murid Bayazid, suatu hari berkata padanya:

"Aku terkejut bahwa seseorang yang menerima Allah tidak harus hadir di masjid untuk shalat."

Bayazid menjawab:

"Aku, di lain pihak, terkejut bahwa siapa pun yang mengetahui Allah dapat memuja dan tidak kehilangan akal sehatnya, menjalankan shalatnya yang tidak sempurna."

MELAYANI

Aku tidak akan melayani Allah seperti seorang buruh, dalam pengharapan akan upahku.

(Rabi'ah al-Adawiyah)

MENJADI SEORANG BERIMAN

Engkau mungkin melihat dirimu sendiri menjadi seorang beriman, bahkan bila engkau adalah penganut kemusyrikan.

Tetapi engkau tidak dapat benar-benar percaya pada sesuatu sampai engkau menyadari proses di mana engkau berada pada posisimu.

Sebelum engkau melakukan ini, engkau harus siap pada dalil (postulat), bahwa semua keyakinanmu mungkin salah, bahwa apa yang engkau anggap keyakinan mungkin hanya sejenis prasangka yang disebabkan oleh sekitarmu --termasuk warisan leluhurmu, yang engkau mungkin memiliki keterikatan perasaan padanya.

Keyakinan sejati milik kerajaan pengetahuan sejati. Hingga engkau memiliki pengetahuan, keyakinan adalah gabungan opini semata, bagaimanapun hal itu mungkin tampak bagimu. Gabungan opini melayani kehidupan biasa. Keyakinan hakiki dimungkinkan oleh pembelajaran yang lebih tinggi.

(Diatributkan pada Ali)

PANDAI BESI DARI NISYAPUR

Abu Hafsh sang pandai besi dari Nisyapur menunjukkan tanda-tanda anugerah yang aneh melalui kekuatan perhatiannya, dari awal ia menjadi murid. Ia diterima sebagai penganut Syeikh Bawardi, dan kembali ke bengkel melanjutkan kerjanya. Ketika pikirannya terpusat, ia menarik sepotong besi membara dari tempaan dengan tangan telanjang. Kendati ia tidak merasa panas, pembantunya pingsan melihat pemandangan yang belum pernah terjadi ini.

Ketika ia menjadi Syeikh Agung kaum Sufi di Khurasan, tercatat bahwa ia tidak berbicara bahasa Arab dan menggunakan penerjemah ketika berbicara dengan pengunjung Arab. Namun, ketika ia mengunjungi Sufi agung di Baghdad, ia berbicara dengan bahasa demikian bagus sehingga kemurnian bicaranya tidak tertandingi.

Ketika Syeikh Baghdad memintanya untuk mengatakan pada mereka arti kemurahan hati, ia menjawab, "Aku akan mendengar penjelasan yang lain lebih dulu."

Guru al-Junaid kemudian berkata, "Kemurahan hati adalah tidak menyamakan kemurahan hati dengan dirimu sendiri, dan tidak mempertimbangkannya."

Abu Hafsh berkomentar, "Perkataan Syeikh sangat bagus. Tetapi aku merasa bahwa kemurahan hati berarti melakukan keadilan tanpa menghendaki keadilan."

Al-Junaid berkata pada yang lain, "Berdirilah kalian semua! Karena Abu Hafsh melebihi Adham dan seluruh bangsanya."

Abu Hafsh pernah berkata, "Aku meninggalkan kerja, dan kemudian kembali. Lalu kerja meninggalkanku, dan aku tidak pernah kembali."

(Hujwiri: The Revelation of the Veiled)

ASY-SYIBLI DAN AL-JUNAID

Abu Bakr ibnu Dulaf ibnu Jahdar ('asy-Syibli'), dan Abul Qasim al-Junaid, si 'Merak Kaum Terpelajar', adalah dua guru Sufi awal. Mereka berdua hidup dan mengajar lebih dari seribu tahun yang lalu. Kisah tentang masa belajar asy-Syibli di bawah al-Junaid, diberikan di sini, diambil dari The Revelation of the Veiled, salah satu dari buku-buku penting dalam bidangnya. al-Junaid sendiri memperoleh spiritualitasnya melalui pengaruh Ibrahim ibnu Adham ('Ibnu Adhem' dalam puisi Leigh Hunt), ia sebagaimana Budha, adalah seorang pangeran yang turun tahta mengikuti tarekat (Jalan), dan meninggal pada abad kedelapan.

Asy-Syibli, anggota istana yang angkuh, pergi ke al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, "Aku dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah padaku."

Al-Junaid berkata, "Aku tidak dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara."

"Apa yang harus kulakukan?" tanya asy-Syibli.

"Pergilah dan jadilah penjual belerang."

Setahun berlalu, al-Junaid berkata padanya, "Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan jadi apa pun selain mengemis."

Asy-Syibli menghabiskan satu tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke al-Junaid, dan sang Guru berkata kepadanya:

"Bagi ummat manusia, kau sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka." Ia pergi, menemukan mereka semua kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan mereka.

Sekembalinya asy-Syibli, al-Junaid berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai pagi berikutnya.

Ia diterima sebagai murid. Setahun sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa menjadi orang paling rendah dari seluruh makhluk.

Ia menggunakan ilustrasi perbedaan antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas.

Suatu hari, karena bicaranya tidak jelas, ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat. Dia berkata:

Bagi pikiranmu, aku gila.
Bagi pikiranku, engkau semua bijak.
Maka aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku
Dan meningkatkan kebijakanmu
'Kegilaanku' dari kekuatan Cinta;
Kebijakanmu dari kekuatan ketidaksadaran.

GHULAM HAIDAR DARI KASHMIR

Mendengarkan suatu perdebatan diantara murid-muridnya, mengenai pentingnya ketaatan dengan sangat teliti terhadap hukum keagamaan, sebagai sarana penerangan, Ghulam Haidar memberi perintah, atas suatu alasan, agar mengumpulkan orang-orang berikut dan dibawa ke hadapannya;

Seorang Yahudi, seorang Kristen, seorang Zoroaster, seorang pendeta Hindu, seorang Sikh, seorang Budha, seorang Farangi ('Frank' atau Kristen), seorang Syiah, seorang Sunni, seorang penyembah berhala, dan lainnya. Terakhir, termasuk pedagang, pekerja, petani, pendeta dan pramuniaga, tukang roti dan berbagai tipe perempuan.

Selama tiga tahun murid-muridnya mengumpulkan orang-orang ini di satu tempat secara bersamaan, tidak memberitahu mereka bahwa kehadiran mereka diminta oleh guru. Dalam usaha tersebut, mereka menyebarkan rumor, tentang harta karun di Kashmir, dijadikan pedagang, dikirim ke tempat jauh untuk menjadi guru pribadi serta pelayan. Akhirnya, semua terkumpul. Ketika diberitahu bahwa sudah ada, Ghulam Haidar menyuruh mereka agar orang-orang tersebut diundang makan di Gedung Kuliahnya, Zawiya.

Ketika semua selesai makan, Pir (Ghulam Haidar) menunjukkan kepada tamu yang sebagian besar adalah orang-orang asing yang tidak mengikuti ajarannya. Juga hadir semua murid, yang telah diberitahu tidak boleh ikut ambil bagian dalam acara tersebut, kecuali menonton.

Ghulam Haidar berbicara dalam beberapa bahasa, menjelaskan perlunya bagi manusia untuk mengabdikan dirinya pada usaha, dan menguasai misteri yang menjadi hak asasinya, tanpa memperhatikan prasangkanya.

Tanpa kecuali, orang-orang tersebut berhasrat mengikuti Pir, dan rasa saling benci mereka hilang. Dan tamu-tamu tersebut tersebar, bahwa guru dikenal sebagai 'Sepotong Roti'; mereka 'Adonan yang dibuat Kashmir Pir', tanpa menghiraukan prasangka dasar mereka.

Setelah pertemuan ini, Haidar berkata: "Adonan adalah adonan," dan "satu adonan tidak lebih baik dari yang lainnya."

JANGAN MAKAN BATU

Seorang pemburu berjalan menembus hutan, dan ia melihat sebuah papan pemberitahuan yang dibacanya: 'Dilarang Makan Batu'.

Keingintahuannya timbul, dan ia mengikuti jalan setapak melewati tanda tersebut sampai tiba di sebuah gua, di pintu masuk terdapat seorang Sufi sedang duduk.

Sufi berkata padanya:

"Jawaban untuk pertanyaanmu adalah bahwa engkau tidak pernah melihat sebuah pemberitahuan larangan makan batu, karena memang tidak dibutuhkan siapa pun. Tidak makan batu bisa disebut kebiasaan umum."

"Hanya apabila manusia mampu menghindari kebiasaan lain yang sama, bahkan lebih destruktif daripada makan batu, ia akan bisa melebihi keadaannya yang menyedihkan pada saat ini."

MENGAPA ANJING TIDAK DAPAT MINUM

Asy-Syibli ditanya:

"Siapa yang membimbingmu di jalan?"

Ia berkata, "Seekor anjing. Suatu hari aku melihatnya hampir mati kehausan, berdiri di tepi air. Setiap kali melihat bayangannya di air, ia ketakutan dan mundur, karena dikiranya itu anjing lain. Akhirnya, karena sangat membutuhkan, ia mengusir rasa takutnya dan melompat ke air; dan 'anjing lain' itu pun lenyap."

Anjing tersebut menemukan bahwa rintangan, yang ternyata dirinya sendiri, penghalang antara dirinya dan apa yang ia cari, mencair.

"Dalam cara yang sama, rintanganku sendiri lenyap, ketika aku tahu bahwa itu adalah apa yang kuambil sebagai milikku sendiri. Dan jalanku pertama kali ditunjukkan padaku melalui perilaku seekor anjing."

PERAGAAN LATIHAN

Suatu hari, orang yang jahat mengundang Osman al-Hiri untuk makan bersamanya. Ketika Syeikh datang, orang tersebut mengusirnya. Tetapi ketika sudah pergi beberapa langkah, ia memanggilnya kembali.

Hal ini terjadi lebih dari tigapuluh kali, sampai orang lain, tidak sabar melihat kesabaran dan kelembutan sang Sufi, segera berlutut mohon ampun.

"Engkau tidak mengerti," ujar al-Hiri, "Apa yang kulakukan tidak lebih dari yang dilakukan anjing terlatih. Kalau engkau memanggilnya, ia datang; ketika engkau mengusirnya, ia pergi. Perilaku ini bukan ciri Sufi, dan tidak sulit dilakukan oleh siapa pun."

APA YANG DIUCAPKAN SETAN

Pada suatu ketika terdapatlah seorang darwis. Saat duduk merenung, ia memperhatikan bahwa terdapat semacam setan di dekatnya.

Si darwis berkata, "Mengapa engkau duduk di sana, tidak berbuat jahat?"

Setan mendongakkan kepala dengan letih, "Sejak para ahli dan calon guru di tarekat semakin bertambah, tidak ada lagi yang dapat kulakukan."

EMPAT SYEIKH DAN KHALIFAH

Khalifah Manshur memutuskan untuk mengangkat salah satu dari empat Syeikh Sufi Agung, menjadi Hakim Agung di Kerajaan. Mereka dipanggil ke Istana -- Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, Misar dan Syuraih -- tetapi di jalanan mereka sudah membuat rencana.

Abu Hanifah, salah seorang dari Empat Doktor Utama Ilmu Hukum, sebagaimana dia sekarang disebut, berkata: "Aku akan lari dari kedudukan tersebut dengan pengelakan. Misar akan berpura-pura gila. Sufyan akan melarikan diri; dan aku perhitungkan bahwa Syuraih yang akan menjadi Hakim."

Sufyan segera pergi dan menghilang, melarikan diri menjadi terhukum karena tidak setia. Tiga orang yang lainnya masuk dan mendatangi Khalifah.

Pertama, Manshur berkata pada Abu Hanifah, "Engkau akan menjadi Hakim."

Abu Hanifah menjawab, "Wahai Pemimpin Ummat, aku tidak bisa, aku bukan orang Arab; oleh karena itu aku tidak mungkin diterima oleh orang-orang Arab."

Khalifah berkata, "Ini tidak berkaitan dengan darah. Kita perlu pelajaran, dan engkau guru paling dihormati saat ini."

Abu Hanifah bersikeras, "Jika kata-kataku benar, aku tidak dapat menjadi Hakim. Dan jika mereka salah, aku tidak pantas untuk kedudukan itu, dan karena itu aku tidak memenuhi syarat."

Maka Abu Hanifah menjelaskan maksudnya, dan dibebaskan.

Misar, calon kedua yang merasa segan, mendekati Pemimpin Ummat dan menyentuh tangannya, menangis:

"Apakah engkau baik-baik, engkau dan si kecil dan ternakmu?"

"Bawa dia," teriak Khalifah, "Karena jelas ia gila."

Hanya tinggal Syuraih, dan mengaku sakit. Tetapi Manshur menyuruhnya menjalani pengobatan, dan menjadikannya Hakim.

MASALAH KEHORMATAN

Seorang Sufi pengembara, ditemukan di padang pasir, dibawa ke tenda kepala suku Badui yang liar.

"Kau mata-mata musuh kami, dan karena itu kami akan membunuhmu," ujar kepala suku.

"Aku tidak bersalah," jawab Sufi.

"Kau lihat pedang ini?" tanya Sufi, menggambar pedang. "Sebelum kau dapat mendekatiku, akan kubunuh salah satu dari orang-orangmu di sini. Jika kulakukan; kau akan memiliki hak yang sah untuk membalas kematiannya. Sementara melakukan itu, aku akan menyelamatkan kehormatanmu, yang saat ini dalam bahaya karena ternoda oleh darah seorang Sufi."

FUDHAIL ORANG JALANAN DAN ANAKNYA

Fudhail ibnu Ayyadh, dulunya adalah orang gelandangan. Setelah berubah ke kehidupan religius, ia merasa bahwa dirinya menyembah Allah di jalan yang benar dan membayar perbuatan jahatnya, karena itu ia mencari semua korban dan mengganti kerugian mereka. Suatu hari, ia merasakan pengalaman aneh. Ia meletakkan anaknya di lututnya dan menciumnya. "Apakah engkau menyayangiku?" tanya si anak, "Ya, tentu saja," jawab Fudhail. "Tetapi bukankah engkau juga menyayangi Allah, seperti yang sering engkau katakan padaku?" "Ya, aku yakin demikian," jawab si ayah.

"Tetapi bagaimana, engkau dapat dengan satu hati mencintai dua kekasih?"

Sejak saat itu Fudhail menyadari bahwa apa yang dicintai, sesungguhnya hanyalah sentimentalitas, dan bahwa ia harus menemukan bentuk cinta yang lebih tinggi.

Peristiwa tersebut adalah merupakan asal perkataannya:

"Apa yang secara umum dianggap sebagai pencapaian ummat manusia paling tinggi atau mulia, sesungguhnya adalah tingkatan paling rendah dari hal-hal tinggi yang mungkin dicapai bagi ummat manusia."

MASALAH KEDERMAWANAN

Seorang murid, memberi hormat kepada Sufi, dengan penuh ingin tahu ia bertanya, "Mengapa tigapuluh bagal Herat yang amat bagus ada di halaman Anda?"

Sang Guru menjawab, "Mereka untukmu."

Murid senang sekali mendengar bahwa mereka semua untuknya, kendati demikian ia bertanya, "Aku harus membayar tentunya?"

"Harganya," ujar guru, "mungkin lebih dari yang dapat kau bayar dengan dirimu sendiri. Tetapi syaratnya, jangan mengatakan pada siapa pun bahwa aku memberimu bagal. Aku di sini bukan untuk dikenal sebagai 'orang baik' diantara orang lain karena perbuatan demikian. Pada umumnya orang berpikir bahwa sesuatu 'baik' yang akibat dan asalnya tidak dapat mereka mengerti."

"Tidak ada yang lebih kecil daripada hargamu," jawab murid. Ia tuntun bagal-bagal tersebut dengan gembira, berbicara pada dirinya sendiri, "Guruku sesungguhnya menguntungkan diriku. Ini manifestasi luar dari suatu berkah bagian dalam."

Senja tiba, dan dalam beberapa saat murid tersebut sudah ditangkap patroli malam. Salah seorang dari mereka bicara pada yang lain, "Kita tuduh saja orang ini atas kejahatan tertentu yang tidak dapat kita pecahkan. Kita dapat menduga bahwa ia membeli bagal-bagal ini dari keuntungannya mencuri, jika ia tidak dapat mempertanggungjawabkan kemilikan mereka. Ia mungkin bersalah, tengah dalam pengobatan dan miskin. Sebagian dari kita pernah melihatnya sebelumnya, dan percaya bahwa ia mempunyai teman dengan karakter rneragukan."

Dibawa ke depan pengadilan sumir, si murid pertama-tama menolak menjawab berbagai pertanyaan tentang asal-mula bagal tersebut. Hakim yang memeriksa memerintahkan agar ia dimasukkan ke tempat interogasi.

Sementara itu, murid yang lain mendatangi guru, yang mengirim mereka, secara berantai, mengikuti nasib dari murid pertama.

Mereka melaporkan, dari waktu ke waktu, "Ia menolak bicara," dan, "Ia semakin lemah -- mereka menyiksanya."

Akhirnya Sufi berdiri dan tergopoh-gopoh menuju pengadilan.

Ia bersaksi hahwa dirinya yang memberi bagal-bagal kepada orang tersebut,. karenanya si tahanan dibebaskan. Kemudian ia menunjuk pengadilan, muridnya dan publik, yang bingung atas peristiwa tersebut:

"Reputasi kedermawanan mengandung tiga kejahatan; ia dapat merusak manusia yang mempunyai reputasi ini; dapat membahayakan manusia yang memuja kedermawanan jika ia menirunya secara bebal; dapat mengikis siapa pun yang menerima kedermawanan jika ia tahu pemberinya. Seharusnya tidak ada kewajiban apa-apa. Itulah mengapa Sufi berkewajiban melatih kedermawanan dengan kerahasiaan yang lengkap.

Bentuk kedermawanan paling tinggi yang dikenal orang awam sebanding dengan tingkat paling rendah kedermawanan sejati. Semula diadakan sebagai cara mengenalkan orang pada kebebasan. Kemudian menjadi berhala dan kutukan."

ORANG YANG BERUNTUNG

Al-Mahdi Abbassi mengemukakan pendapat yang dapat dibuktikan bahwa, apakah orang-orang mencoba membantu seseorang atau tidak sesuatu yang ada pada seseorang dapat menggagalkan sebuah tujuan tersebut.

Beberapa orang keberatan dengan teori ini, ia menjanjikan sebuah demonstrasi. Ketika setiap orang lupa peristiwa tersebut, al-Mahdi menyuruh seorang pria meletakkan sekarung emas di tengah jembatan. Pria lain diminta membawa orang berhutang yang tidak beruntung ke salah satu ujung jembatan dan menyuruhnya menyeberang.

Abbassi dan saksi-saksinya berdiri di ujung jembatan yang lain. Ketika orang itu pergi ke ujung lain, Abbassi bertanya padanya, "Apa yang kau lihat di tengah jembatan?"

"Tidak ada,", jawabnya.

"Bagaimana bisa demikian?"

"Segera setelah aku mulai menyeberangi jembatan, pikiran yang ada padaku adalah bahwa barangkali menyenangkan menyeberang dengan mata tertutup. Dan kulakukan."

BUNGA DAN BATU

Ketika guru agung dan syuhada Manshur al-Hallaj berada di tengah kerumunan, dihukum karena kemurtadan dan bid'ah, ia tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan saat tangannya dipotong di depan umum.

Ketika kerumunan orang melempar batu yang menyebabkan luka parah, ia tenang saja. Salah seorang temannya, seorang guru Sufi, mendekatinya dan memberinya -- bunga.

Manshur berteriak seolah dalam siksaan.

Ia melakukan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak dapat disakiti oleh perbuatan orang-orang yang mengira mereka berbuat benar. Tetapi hanya sentuhan dari orang yang tahu, seperti dia, bahwa dirinya dihukum dan dituduh dengan tidak adil, jauh lebih menyakitkan baginya dari siksaan apa pun.

Manshur dan teman Sufinya, tidak berdaya kendati mereka ada di depan tirani seperti itu, teringat akan pelajaran tersebut. Sementara penganiaya-penganiaya mereka hampir terlupakan.

Saat sekarat, Manshur berkata, "Orang-orang di dunia ini mencoba berbuat baik. Aku anjurkan engkau mencari sesuatu di mana bagian paling kecilnya lebih berarti daripada semua kebaikan; pengetahuan tentang kebenaran -- pengetahuan sejati."

HANBAL DAN PEMIKIRAN YANG TERKONDISI

Ahmad ibnu Hanbal adalah pendiri salah satu dari empat madzhab hukum yang besar, dan sahabat beberapa Guru Sufi awal. Di masa tua dan lemahnya, sebuah kelompok bid'ah di Baghdad merampas kekuasaan dan mencoba menyingkirkan dirinya, yang dari sudut pandang mereka dianggap sebagai kebenaran.

Imam Ahmad menolak, maka ia diberi seribu cambukan dan disiksa. Sebelum mati, dan memang meninggal segera setelah disiksa, ia ditanya apa yang ia pikirkan tentang pembunuh-pembunuhnya.

Katanya, "Aku hanya dapat mengatakan bahwa mereka memukulku karena mereka percaya bahwa mereka benar dan aku salah. Bagaimana aku dapat menuntut keadilan terhadap mereka yang percaya bahwa mereka benar?"

ORANG PERCAYA APA YANG DIKIRA BENAR

Ajaran, sebagaimana kebiasaannya, sepanjang urusan kehidupan secara umum. Syeikh Abu Thahir al-Harami mengendarai keledainya ke pasar, seorang murid mengikuti di belakang.

Di sisinya, seseorang berteriak, "Lihat, ini orang kafir kuno!"

Sang pengikut al-Harami, timbul amarahnya, berteriak pada tukang fitnah tersebut. Sebelum pertikaian semakin sengit, Sufi menenangkan muridnya, berkata, "Jika engkau menghentikan pertengkaran ini, aku akan menunjukkan padamu bagaimana engkau dapat melarikan diri dari persoalan seperti ini."

Mereka pergi bersama ke rumah Syeikh. Lantas Syeikh menyuruh pengikutnya membawakan sekotak surat: "Lihatlah ini. Semua surat ini ditujukan padaku. Tetapi mereka menulis istilah yang berbeda. Ini seseorang menyebutku 'Syeikh Islam', kemudian, 'Guru Mulia'. Lainnya mengatakan aku 'Orang Bijak dari Altar Kembar'. Dan sebutan-sebutan lainnya.

Amatilah bagaimana masing-masing sebutanku sesuai dengan anggapan mereka. Tetapi aku tidak satu pun seperti apa yang ia pikirkan demikian. Demikian itulah yang baru saja dilakukan orang malang di pasar tadi. Dan engkau menolaknya. Mengapa engkau berbuat demikian -- sudah menjadi aturan umum dalam kehidupan?"

ARAH MANA YANG BENAR?

Seorang bijak yang dihormati secara luas, menjadi irrasional dalam mengajukan fakta-fakta dan argumentasi. Diputuskan untuk mengujinya, sehingga yang berwenang di negara tersebut dapat menyatakan apakah ia membahayakan tatanan masyarakat atau tidak.

Pada hari pengujian, ia berparade melewati ruang pengadilan menunggang seekor keledai, menghadap ke belakang keledai. Ketika saatnya berbicara untuk dirinya sendiri, ia berkata pada hakim:

"Saat Anda melihatku tadi, ke arah mana aku menghadap?"

Hakim menjawab, "Menghadap ke arah yang salah."

"Anda menggambarkan maksudku," jawabnya, "karena aku telah menghadap ke arah yang benar, dari sudut pandangku. Keledainyalah yang menghadap ke arah yang salah."

SANG GURU

Berkaitan dengan guru Sufi, bahwa di masa mudanya, ia ingin mendekatkan diri pada guru yang tengah mengajar. Maka ia mencari guru, dan minta menjadi muridnya.

Guru berkata, "Kau belum siap."

Karena anak muda itu terus bersikeras, guru mengatakan, "Baiklah, aku akan mengajari engkau sesuatu. Aku akan pergi haji ke Mekkah. Ikutlah bersamaku."

Si murid sangat gembira.

"Karena kita bepergian bersama," ujar guru, "yang satu harus memimpin, lainnya patuh. Pilih peranmu."

"Aku akan mengikuti, Anda memimpin," jawab murid.

"Jika kau tahu bagaimana mengikuti," ujar guru.

Perjalanan dimulai. Saat mereka istirahat semalam di padang pasir Hijaz, mulailah hujan. Guru berdiri dan memegang penutup untuk murid, melindunginya.

"Tetapi ini yang seharusnya kulakukan untuk Anda," ujar si murid.

'Aku perintahkan kau untuk membiarkan aku melindungimu," ujar guru.

Saat tengah hari, anak muda berkata, "Sekarang hari baru. Biarkan aku jadi pemimpin, dan Anda mengikutiku." Guru setuju.

"Sekarang aku akan mengumpulkan ranting kayu, untuk membuat api," kata anak muda.

"Kau tidak boleh melakukan itu, aku yang akan mengumpulkannya," jawab guru.

"Aku perintahkan Anda duduk di sana sementara aku mengumpulkan ranting kayu," ujar si anak muda.

"Kau tidak boleh melakukan ini," jawab guru, "karena ini tidak sesuai dengan persyaratan pengikut membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpin."

Maka pada setiap kesempatan, Guru menunjukkan pada murid, apa sesungguhnya arti murid, melalui demonstrasi. Mereka berpisah di pintu gerbang Kota Suci. Menemui guru selanjutnya, anak muda itu tidak dapat menemukannya.

"Itulah yang harus kau pelajari," ujar orang lebih tua darinya, "adalah sesuatu tentang sikap dasar hubungan murid."

Murid harus tahu bagaimana mematuhi, bukan semata ia harus taat. Pertanyaan apakah menjadi murid atau tidak, datang setelah seseorang tahu apa sesungguhnya murid. Orang-orang menghabiskan waktu mereka bertanya-tanya apakah mereka harus menjadi murid -- atau yang lainnya. Sejak asumsi mereka (bahwa mereka dapat menjadi murid jika mengharapkannya) tidaklah benar, mereka hidup di dunia yang salah, dunia kaum intelektual. Orang-orang seperti itu tidak mempelajari pelajaran pertama.

HILALI DARI SAMARKAND

Hilali, ditemani lima muridnya, melakukan perjalanan jauh melintasi Asia Tengah. Dari waktu ke waktu, Hilali membuat rombongannya bertindak dalam cara beragam. Inilah beberapa petualangan mereka:

Ketika mereka mencapai Balkh dan utusan dari penduduk kota datang menyambut Guru, Hilali berkata kepada Yusuf Lang, "Kau jadilah Guru." Yusuf pun diterima dan dihormati. Laporan-laporan menyebar tentang keajaiban yang terjadi hanya dengan tinggal di bawah atap yang sama seperti orang-orang sakit. "Inilah apa yang orang-orang pikir mengenai kedarwisan, dan apa yang kita tahu tidaklah demikian," ujar Hilali.

Di Surkhab, rombongan memasuki kota yang semua penduduk berpakaian sama, tidak seorang pun berjalan di depan yang lain. "Manakah Guru Agung?" tanya pemimpin kota. "Akulah ia," jawab Hilali. Tiba-tiba mereka mundur sambil berseru, "Kami mengetahuinya melalui Cahaya Matanya."

"Ambil pelajaran dari ini," ujar Hilali kepada rombongannya.

Ketika memasuki Qandahar mereka diberi banyak makanan oleh Pemimpin Sardar, semua duduk melingkar. Hilali memberi perintah bahwa ia harus diperlakukan seperti murid, dan Jafar Akhundzada diperlakukan seperti Guru. Tetapi Pemimpin Sardar berkata, "Bahwasanya, rombongan ini bersinar dengan cahaya spiritual, dan apa pun yang kau katakan tentangnya, aku menganggapnya sebagai Qutub, Pusat Daya Tarik Zaman."

Semua menghormati Hilali, yang terpaksa memperkenalkan diri, Sardar meskipun penguasa, juga mempunyai kapasitas merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain.

KUTUKAN ORANG BADUI

Suatu hari, di Oasis Kufah, seorang suku Badui yang kasar melangkahi Hasan, cucu Nabi Muhammad saw, dan mencacinya, ayahnya dan ibunya.

Hasan berkata, "Orang Badui, apakah kau perlu bantuan? Apa masalahmu?"

Tetapi si Badui, tanpa memperhatikan sama sekali, terus berteriak dan menyumpah. Hasan membawa uang dan memberikannya pada orang tersebut, dan bicara padanya lagi:

"Orang Badui, maafkan! Hanya ini yang ada di rumah ini; tetapi aku berkata, bahwa jika kami mempunyai yang lain, akan kuberikan padamu, tanpa syarat."

Ketika mendengar kata-kata ini, si Badui tertegun dan menangis, "Aku bersaksi bahwa kau benar-benar cucu Nabi. Karena aku datang ke sini untuk menguji apakah silsilahmu dan sikapmu sesuai satu dengan yang lainnya."

MENGAPA DARWIS DI ISTANA

Salah satu perintah Hadrat ibnu al-Khafif di Syiraz adalah: "Seharusnya Sufi tidak mendatangi penguasa, atau datang dengan senang hati jika diundang olehnya."

Oleh karena itu, merupakan suatu peristiwa yang mengejutkan bagi dua orang calon Sufi yang tiba di rumahnya (Ibnu al-Khafif), saat mereka bercerita bahwa ia berada di istana raja.

Mereka berubah pikiran tentang kesucian sang Guru dan memutuskan berjalan di kota sebagai pengganti penghormatan mereka padanya.

Mengunjungi sebuah toko, mereka dengan tidak merasa berdosa terlibat dalam suatu pertengkaran, karena dituduh mencuri dan diseret di depan pengadilan raja.

Diyakinkan oleh penjaga toko bahwa keduanya bersalah, kerajaan memerintahkan agar mereka segera dibunuh, sebagai pelajaran bagi yang lain.

Ibnu al-Khafif, masih di pengadilan istana, menengahi dan hidup mereka diselamatkan.

"Mungkin sudah wajar bagimu berpikir bahwa tidak seharusnya aku ada di istana," ujar guru kepada keduanya, "tetapi setidaknya pelajarilah bahwa seorang Sufi melakukan hal-hal yang tak terduga karena alasan-alasan yang tidak kelihatan tetapi cukup beralasan."

posted by Jalan trabas @ 19:53   0 comments
Jalan Sufi

TAREKAT-TAREKAT DARWIS

Karena pemikiran yang dangkal
apa yang tampak kemunafikan pada
diri orang yang tercerahkan (mukasyafah),
sesungguhnya itu lebih baik dibanding
apa yang dirasakan sebagai ketulusan pada
si pemula.
(Hadhrat Bayazid al-Bisthami)

Hampir semua Sufi, pada suatu waktu atau lainnya, merupakan anggota dari salah satu Tarekat yang oleh para sarjana Barat disebut "Order", sebagai isyarat dari dugaan kemiripannya dengan ordo-ordo keagamaan Kristiani pada Abad Pertengahan. Ada beberapa perbedaan penting antara dua jenis organisasi tersebut.

Tarekat, bagi seorang Sufi, bukanlah suatu pelestarian entitas diri yang langsung dengan suatu hirarki dan pernyataan yang baku serta membentuk suatu sistem pelatihan bagi pemeluknya. Sifat Sufisme adalah evolusioner, untuk itu suatu lembaga Sufi niscaya tidak mungkin mengambil suatu bentuk permanen sekaku ini. Di tempat-tempat tertentu dan di bawah guru-guru individual, sekolah-sekolah muncul dan melaksanakan suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kebutuhan manusia terhadap penyempurnaan pribadi. Sekolah-sekolah ini (seperti sekolah Rumi dan Data Ganj Bakhsh, sebagai contoh) menarik minat banyak orang yang bukan Muslim, meskipun sekolah-sekolah Sufi sejak kemunculan Islam, selalu dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari tradisi Muslim.

Kemudian, meskipun Tarekat-tarekat Sufi memiliki aturan-aturan khusus dan serangkaian pakaian dan ritual, hal ini bukan suatu keharusan, dan sejauh mana Sufi mengikuti bentuk-bentuk ini ditentukan oleh kebutuhannya terhadap hal-hal itu, sebagaimana yang diperintahkan oleh gurunya.

Beberapa Tarekat besar mempunyai sejarah yang rinci, tetapi kecenderungan untuk membagi ke dalam berbagai bentuk spesialisasi pada waktu-waktu tertentu sama-sama mempunyai karakteristik nominal. Hal ini karena Tarekat dikembangkan melalui wahana untuk memenuhi suatu keperluan batin, tidak diarahkan oleh kerangka kerja organisasinya yang tampak jelas secara lahiriah.

Karena begitu banyak sekolah-sekolah tersebut maka salah seorang Sufi terbesar, Hujwiri (w. 1063) menulis sebuah kitab1 yang membahas Sufisme dan Tarekat-tarekat pada abad kesebelas, dengan memberikan informasi mendalam tentang mereka. Sebagian orang justru menganggap bahwa ia telah mengarang-ngarang sebagian dari bahan tersebut.

Bahkan perkembangan itu sendiri, berbeda dengan apa yang diduga orang, merupakan bagian dari kebijaksanaan darwis yang tidak bisa dihindari. Data ("darwis" dalam Hindu) Ganj Bakhsh (dalam bahasa India berarti Orang Dermawan) adalah gelar Ali al-Hujwiri yang dikenal di India.

Dilahirkan di Ghazna (Afghanistan), para Sufi menyebutnya sebagai "Yang Terpilih", orang yang dipilih untuk memaparkan kenyataan-kenyataan tertentu tentang Sufisme dan organisasi Sufi di daratan India. Meskipun bukan berarti Sufi pertama ini tinggal di India (ia dimakamkan di Lahore, Pakistan, dan makamnya diziarahi oleh orang-orang dari semua kepercayaan), tugasnya adalah untuk menegaskan, melalui kehidupan dan karya-karyanya, suatu klaim bahwa Sufisme secara keseluruhan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Arti pentingnya tidak mungkin diabaikan sebagaimana penulis Kristiani John Subhan mengatakan:

Makam Ali al-Hujwiri mungkin masih bisa dilihat di Lahore dekat pintu gerbang Bhati. Ia telah menjadi tujuan ziarah dan penghormatan selama sembilan ratus tahun. Semua macam dan kedudukan manusia, para raja dan pengemis, telah mengunjunginya selama berabad-abad, untuk mencari berkah spiritual dan temporal. Semua penakluk Muslim dan para darwis yang mengembara, di saat memasuki negeri ini, telah menjadikan makamnya sebagai titik tujuan penghormatannya.2

Kedudukan Hujwiri di kalangan Sufi mendekati peranan penting sebagai seorang penafsir Sufisme bagi orang-orang Muslim itu sendiri. Bagi Sufi, kitab Kasyful Mahjub memuat bahan-bahan yang hanya bisa dipahaminya, tersimpan dalam bentuk sebuah kitab yang dimaksudkan untuk dibaca oleh orang-orang Muslim yang saleh untuk memperkenalkan mereka kepada cara berpikir Sufi melalui terminologi tradisi formal mereka yang telah dikenal.

Kitab tersebut dikaji dengan seksama oleh anggota-anggota dari semua Tarekat. Hujwiri sendiri belajar di bawah bimbingan Abu al-Qasim Jurjani, seorang guru besar dari Tarekat Naqsyabandiyah, dan karya utamanya adalah kitab Kasyful Mahjub, yang merupakan buku pertama tentang Sufisme dan Tarekat dalam bahasa Persia.

Kitab tersebut mencatat kehidupan para Sufi terkenal, pada masa kuno maupun kontemporer, referensi-referensi untuk ajaran, shadagah, doa, kepercayaan dan mistisisme. Kitab ini ditujukan kepada mereka yang ingin mendekati Sufisme melalui konteks Islam yang berlaku. Di balik penyajian yang jelas ini, dengan suatu cara yang hanya bisa dipahami oleh para Sufi, kitab Kasyful Mahjub mengandung informasi tentang penggunaan dan makna dari bahasa rahasia yang digunakan para Sufi untuk berkomunikasi dan menjalankan latihan khusus.

Untuk sementara semua yang diungkap tentang hal ini termuat pada bagian yang membahas tentang jubah tambalan. Pemakaian jubah tambalan merupakan adat Sufi, sebagai ciri Sufi yang mempraktikkan Jalan tersebut. Ia mungkin bisa disebut sebagai seragam darwis pengembara, dan ini terlihat di hampir semua bagian Asia dan Eropa selama hampir empat belas abad. Nabi Muhammad (saw.) dan beberapa sahabat menunjukkan penerimaan mereka terhadap Jalan Sufi dengan mengadopsi pakaian jubah ini. Banyak guru Sufi menulis tentang cara menjahit lembaran-lembaran kain tersebut, siapa yang boleh memakainya, siapa yang boleh menganugerahinya, dan sebagainya. Semua fenomena ini adalah bagian dari misteri Sufi.

Kajian tentang jubah tambalan yang ditulis Hujwiri, jika dibaca secara dangkal, mungkin bisa memuaskan seorang teolog yang saleh. Dengan merenungkan hubungan antara tambalan-tambalan kain dan kemiskinan, cara menjahit lembaran kain secara benar dan pembenaran lahiriah atas kezuhudan yang ditunjukkan oleh tambalan-tambalan kain itu, maka bab ini bisa dibaca sebagai suatu yang bersifat kesalehan, suatu kumpulan gagasan dan fakta-fakta yang sangat memuaskan dan dikarang untuk tujuan-tujuan sentimentil. Kenyataan ini sangat khas.

Ketika membaca teks tersebut, pertama-tama seorang pelajar harus menyadari bahwa dia tidak bisa menerjemahkan kata "tambalan" itu dan mengabaikannya. Dia harus mencermati konsep-konsep yang terkandung dalam istilah Arab itu, dan merenungkannya untuk diterapkan terhadap teks dengan cara tertentu. Kemudian dia akan bisa memahami makna "lembaran", "berjalan" atau "kebodohan yang parah" dan seterusnya.

Dengan demikian pengaruh kitab tersebut terhadap Sufi sangat berbeda dengan peneijemahan yang akan dia dapatkan dari suatu pembacaan yang dangkal. Inilah sebuah contoh terjemahan semi harfiah yang diambil dari terjemahan Profesor Nicholson untuk bagian itu:

"Berupaya menjahit jubah-jubah tambalan diperbolehkan oleh para Sufi, sebab mereka telah memperoleh reputasi yang tinggi dalam masyarakat; karena banyak orang meniru mereka dan memakai jubah-jubah tambalan serta bersalah karena melakukan tindakan yang tidak terpuji; karena para Sufi tidak menyukai masyarakat selain masyarakatnya sendiri --karena alasan-alasan inilah mereka menciptakan suatu jubah yang tidak bisa dijahit siapa pun kecuali mereka sendiri, dan menjadikannya sebagai tanda untuk saling mengenal dan sebagai suatu lencana. Sedemikian (rumitnya) sehingga ketika seorang darwis menemui salah seorang Syekh dengan mengenakan sebuah baju, Syekh tersebut mengusirnya."

Akar kata bahasa Arab yang merupakan asal kata "tambalan" juga memiliki serangkaian makna yang penting. Diantaranya kita bisa mencatat:

  1. Yang bukan-bukan, "nyleneh" (raqua). Cara Sufi tampil ketika dia tengah berbicara atau bertindak dalam hubungannya dengan suatu pengetahuan-ekstra (inderawi) yang tidak bisa dimengerti oleh orang awam. "Ocehan-Pelawak" merupakan terjemahan yang tepat untuk sifat ini. "Bodoh" dalam pengertian Sufi juga berasal dari akar kata yang sama (arqa'a).
  2. Mabuk karena anggur (raqaa'). Para Sufi menggunakan analogi kemabukan untuk menyebut pengalaman mistis tertentu.
  3. Sikap tidak peduli (artaqa'). Sufi tampak sebagai orang yang tidak peduli terhadap hal-hal yang tampak paling penting bagi orang awam, tetapi secara obyektif mungkin memiliki arti penting lain.
  4. Langit Ketujuh (raqa'). Suatu isyarat bagi sifat ketuhanan dalam Sufisme.
  5. Papan Catur (ruqa'at). Pergantian hitam dan putih dari cahaya dan kegelapan, bagian lantai di tempat-tempat pertemuan darwis tertentu dengan warna seperti papan catur.
  6. Baju tambalan (muraqqa'). Satu-satunya kata dari kelompok (kata) ini selain kata terakhir yang bisa digunakan sebagai simbol atau alat, suatu obyek kiasan yang menerangkan akar kata tersebut sebagai suatu keseluruhan dan semuanya mengandung makna Sufi.
  7. Menambal baju, berjalan dengan cepat, menulis (prasasti), menguasai sasaran dengan anak-panah. Semua (makna) ini merupakan kata turunan dari akar kata yang sama yaitu raqa'a.
  8. Memperbaiki (sumur) menyimbolkan perbaikan "sumur" pengetahuan manusia, yang menurut para Sufi memiliki akar kata yang sama.

Salah satu tugas Hujwiri adalah menuliskan kode-kode rahasia Sufi sebagai unsur-unsur pokok yang digunakan oleh madzhab-madzhab darwis.

Hujwiri datang ke India mengikuti teknik perjalanan yang secara luas dipraktikkan pada Tarekat-tarekat tersebut. Ia dianjurkan gurunya untuk pergi dan menetap di Lahore. Ini merupakan keinginannya yang terakhir, tetapi karena ia berada di bawah disiplin utuh yang berada di antara (status) murid dan guru, maka ia berangkat ke India. Setiba di Lahore, ia melihat jenazah Syekh Hasan Zanjani tengah diusung ke kuburnya. Hujwiri adalah penerusnya, dan untuk itulah ia menyadari bahwa ia diutus karena alasan ini. Contoh penggantian guru-guru Sufi yang menjelang kematiannya dengan mengirim seseorang dari tempat yang sangat jauh seperti ini bukan sesuatu yang aneh dalam sejarah darwis.

Hujwiri tidak mendirikan sebuah Tarekat, tetapi tetap sebagai seorang guru secara umum. Namanya termasuk dalam daftar guru-guru dengan barakah-nya yang memancar ke seluruh komunitas darwis, tanpa melihat masa di mana dia hidup. Setelah meninggal, diyakini bahwa kewibawaannya tetap hidup di bumi, sebab kesempurnaannya telah mencapai tingkatan sedemikian rupa sehingga kematian lahiriah tidak memusnahkannya.

Tarekat-tarekat Sufi mungkin diorganisir dalam suatu bentuk kependetaan. Di sisi lain, "biara" atau madzhab Sufi mungkin terdiri dari suatu mata rantai orang-orang dan kegiatan yang menyebar di kawasan yang luas dan tidak terlihat oleh orang luar. Oleh karena itu ada Tarekat-tarekat --dan khususnya cabangcabang Tarekat-- dengan beberapa anggotanya berada di India, yang lain di Afrika, sebagian lagi di Indonesia. Secara kolektif mereka membentuk organisasi dari madzhab tersebut. Karena para Sufi meyakini kemungkinan berkomunikasi tanpa kehadiran secara fisik, maka konsep dari suatu Tarekat yang tersebar seperti ini lebih mudah diterima oleh Sufi dibandingkan orang-orang yang terbiasa dengan pandangan-pandangan yang lebih konvensional tentang masyarakat dan tujuan manusia.

Cabang-cabang Tarekat berupa serikat pekerja, kelompok pelajar, kesatuan-kesatuan pasukan. Kecuali pada masa yang lebih modern, jenis kesatuan yang ditunjukkan melalui biara konvensional. Biara Sufi, yang secara lahiriah serupa dengan biara Kristiani, Hindu atau Budha, dalam kenyataannya merupakan produk dari kondisi-kondisi ekonomi dan politis, bukan sebagai hasil dari suatu kepentingan esoteris. Menurut para Sufi, "biara merupakan jantung manusia". Sekali lagi, ungkapan ini sejalan dengan gagasan darwis bahwa Sufisme merupakan suatu entitas yang berkembang, dan tidak bisa tetap menjadi satu sistem untuk menurunkan bentuk-bentuk, betapapun menariknya bentuk tersebut.

Di tempat-tempat di mana bentuk kehidupan feodal masih berlangsung, karena terikat kepada hasil pertanian, biara-biara Sufi terus berkembang. Di daerah perkotaan, pusat-pusat Sufi lebih terkait dengan irama kehidupan kota dan mendapatkan penghasilan dari toko-toko yang disumbangkan kepada komunitas atau dari "pajak" pendapatan anggota-anggota tarekat tersebut.

Jadi, Tarekat Sufi berperan sebagai lembaga masyarakat yang secara khusus menerima, menggunakan dan menyebarkan Sufisme. Ia tidak memiliki bentuk tradisional, dan penampilan lahiriahnya akan tergantung kepada kondisi-kondisi lokal dan keperluankeperluan "amal".

Sebuah perusahaan penerbitan Arab adalah sebuah organisasi Sufi. Di beberapa kawasan, semua pekerja industri dan pertanian adalah para Sufi. Profesi-profesi tertentu di beberapa negara didominasi oleh para Sufi. Kelompok-kelompok para Sufi ini mungkin memandang dirinya sendiri sebagai Tarekat atau biara, yang terlibat dalam tugas khusus penerimaan, pemeliharaan dan penyebaran.

Tentu saja faktor sentral Tarekat adalah menghasilkan sosok manusia pengajar, sebagaimana terlihat dari dakwah tarekat atau suatu promosi mekanik dalam hubungannya dengan tingkatan yang tidak bisa diidentifikasi. Para Sufi tidak mempunyai kubu.

Hal ini bukan berarti bahwa hirarki dari para Sufi tidak ditentukan dengan baik. Tetapi seorang Sufi dikenal oleh Sufi lainnya, dan sejauh menyangkut tingkatan, melalui cara-cara selain dari penampakan lencana. Suatu tingkatan perkembangan tertentu dari individu, selain harus ditegaskan oleh seorang guru, dipegang oleh para Sufi dan (hanya) bisa dilihat oleh orang-orang lain yang telah mencapai tingkatan serupa.

Di dalam sekolah Tarekat itulah penerimaan awal dan perkembangan dari calon Sufi terjadi. Tidak seperti sistem-sistem pengajaran lainnya, tidak ada satu pun bentuk pengondisian. Calon (Sufi) harus dibiasakan kepada prinsip-prinsip Tarekat dan sosok guru, tetapi sebelum hal ini terjadi ia harus diuji. Pengujian tersebut dilakukan dengan tujuan melepaskan pribadi-pribadi yang tidak sesuai. Mereka yang mempunyai keinginan untuk menggabungkan dirinya kepada suatu organisasi atau individu-individu (tertentu) karena kelemahan mereka sendiri, akan tertolak. Orang-orang yang telah tertarik kepada reputasi para Sufi dan ingin meraih kekuatan-kekuatan ajaib akan tersisih. Tugas-tugas awal yang diberikan kepada seorang calon anggota memiliki dua fungsi utama --pertama adalah menentukan kesesuaiannya, kedua adalah memperlihatkan kepadanya bahwa dia harus menginginkan kehidupan Sufi untuk kepentingan kesufian itu sendiri.

Seorang guru yang bertanggung jawab atas calon darwis seringkali melakukan apa saja yang dia mampu untuk menghalanginya --bukan dengan cara persuasi, tetapi dengan memainkan suatu peran yang mungkin tampak memantulkan cacat dirinya sendiri. Para Sufi yakin bahwa hanya dengan cara-cara ini mereka bisa berkomunikasi dengan esensi yang menunggu untuk dibangkitkan oleh dorongan hati Sufi. Komunikasi formal dengan kepribadian lahiriah dari calon Sufi tidaklah penting. Ketika jiwa belum mampu menangkap Sufisme secara koheren, sang Sufi tidak akan berusaha membujuknya. Ia harus berkomunikasi dengan kedalaman yang lebih besar. Orang-orang yang bisa diyakinkan melalui cara-cara konvensional tentang arti penting Sufisme ini, tidak akan menjadi pengikut yang murni.

Banyak laporan-laporan tentang perilaku para Sufi yang konyol dan tidak bisa diterima berasal dari pelaksanaan rencana-rencana semacam ini.

Banyak dari Tarekat-tarekat besar telah diberi julukan. Tarekat ar-Rifa'iyah disebut "Para Darwis yang Meraung"; al-Qalandariyah disebut "Gundul"; al-Chisytiyah disebut "Para Musisi"; al-Mevlevi disebut "Tari", dan Tarekat Nagsyabandiyah disebut "Diam".

Tarekat-tarekat ini umumnya dinamakan sesuai dengan nama pendiri dari spesialisasi yang mereka wakili. Sebagai contoh, Rumi mengorganisir "tarian-tarian" sesuai dengan apa yang ia pandang menjadi cara terbaik untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman Sufistik bagi murid-muridnya. Sebagaimana tercantum dalam catatan-catatan kuno, tarian-tarian itu sesuai dengan mentalitas dan temperamen orang-orang Konia. Para peniru telah berupaya mengekspor sistem tersebut ke luar daerah budayanya, akibatnya tarian-tarian tersebut tidak ubahnya seperti sebuah pantomim dan pengaruh asli dari gerakannya telah hilang.

Gerakan-gerakan ritmis (dan tidak ritmis) yang disebut tarian digunakan banyak Tarekat dan selalu merespon kebutuhan-kebutuhan individual dan kelompok. Dengan demikian gerakan-gerakan Sufi tidak bisa dilakukan, dan tidak membentuk apa yang di mana saja disebut tarian, senam atau semacamnya. Penggunaan gerakan-gerakan mengikuti suatu pola yang didasarkan kepada penemuan-penemuan dan pengetahuan tertentu yang hanya bisa diterapkan oleh seorang mursyid/guru dari sebuah Tarekat darwis.

Tampaknya tarian-tarian keagamaan yang dikenal dalam Kristiani, Yudaisme dan bahkan suku-suku primitif merupakan suatu kemerosotan dari pengetahuan ini dan akhirnya ditekan menjadi hiburan, berbentuk magis atau bentuk-bentuk yang superfisial.

"Jika pisau cukur tidak digunakan mencukur jenggot setiap hari," ucap penyair Sufi terkenal, Jami', "maka dengan pertumbuhan yang lebih cepat jenggot cenderung lebat seperti rambut di kepala." (Baharistan --Peraduan Musim Semi).

Tarekat darwis mungkin bisa dilihat sebagai sebuah organisasi dengan sejumlah aturan minimum. Seperti perhimpunan lainnya yang mempunyai suatu tujuan, aturan-aturan Tarekat akan berakhir ketika tujuan telah tercapai.

Diagram-diagram skematis yang dipergunakan oleh Tarekat-tarekat tersebut bisa membantu menjelaskan gagasan ini. Lingkaran rantai dari Tarekat-tarekat itu memperlihatkan bagaimana kelompok-kelompok tersebut berasal dari madzhab-madzhab yang dikelilingi guru-guru tertentu. Madzhab-madzhab ini mengambil inspirasi dari majelis pribadi Muhammad (saw) dan para sahabat dekatnya. Oleh karena itu, dalam sebuah peta geometrik semacam ini, pusat (diagram) memperlihatkan sahabat-sahabat Abu Bakar, Ali dan Abdul Aziz al-Makki dalam sebuah lingkaran. Di sekeliling lingkaran ini ada tujuh lingkaran lebih kecil, masing-masing lingkaran berisi nama dari seorang guru besar. Tujuh Jalan utama Sufisme dan spesialisasi-spesialisasi pengajaran memancar dari pribadi-pribadi ini.

Semua Tarekat darwis mengklaim mendapatkan barakah dari salah satu atau beberapa guru ini. Harus diingat bahwa karena Sufisme tidak statis, maka semua barakah para pendiri Tarekat-tarekat tersebut diyakini merembes semua Tarekat-tarekat tersebut.

Bentuk pusaran dan lingkaran-lingkaran yang saling terangkai tersebut menunjukkan kesaling-ketergantungan dan gerakan ini. Dalam puisi, para pengarang seperti Rumi telah menekankan hal ini dengan menyatakan: "Ketika engkau melihat dua orang Sufi bersama-sama, engkau melihat keduanya dan dua puluh ribu lainnya."

Tujuan organisasi temporer yang disebut Tarekat dan disetujui oleh semua guru itu adalah menyediakan lingkungan dimana anggota bisa mencapai kemantapan batin yang bisa dibandingkan atau identik dengan keadaan batin para guru awal.

Dorongan untuk menciptakan suatu Tarekat dengan menggunakan sekelompok kata-kata dan dipilih untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan atau karakteristik tarekat, sangat jelas. Semua anggota tahu bahwa format tersebut bukan bersifat mistik, tetapi berubah-ubah. Akibatnya, mereka tidak bisa terikat secara emosional kepada lambang-lambang Tarekat. Dengan demikian pemusatan perhatian diarahkan pada rantai penyampaian (hubungan dengan substansi individu-individu). Kemudian, karena diyakini bahwa "Insan Kamil" adalah suatu individualitas sejati dan sekaligus suatu bagian menyeluruh dari kesatuan esensial, maka Sufi tidak mungkin melekatkan dirinya kepada satu personalitas semata. Sejak awal ia mengetahui bahwa kekuatan-kekuatan batinnya sedang dibimbing dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Oleh karena itu, dalam tarekat-tarekat darwis yang menjalankan kesalehan ketat, ada serangkaian kemajuan baku melalui satu individu. Pertama-tama murid harus melekatkan dirinya kepada guru. Ketika ia mungkin telah mencapai perkembangan maksimal, guru akan memindahkannya pada realitas pendiri Tarekat. Dari sini ia memindahkan kesadarannya kepada substansi ("kaki") Muhammad, perintis ajaran (Tarekat) dalam bentuk kontemporer. Dari sini ia dipindahkan kepada realitas Tuhan. Ada cara-cara lain dengan penerapan yang bergantung pada karakter sekolah dan terutama kualitas-kualitas kepribadian yang terkait. Dalam beberapa latihan, murid harus membenamkan dirinya sendiri dalam kesadaran para guru lainnya, termasuk Yesus dan lain-lainnya, yang dipandang oleh para Sufi sebagai anggota mereka.

Salah satu tujuan ziarah ke makam-makam atau bekas tempat tinggal guru adalah untuk melakukan hubungan dengan realitas atau substansi ini. Dalam ungkapan netral bisa dikatakan bahwa para Sufi meyakini, aktivitas Sufistik dalam menghasilkan seorang Insan Kamil mengakumulasi suatu kekuatan (substansi) sehingga ia sendiri mampu melakukan proses pengubahan individu yang lebih kecil. Hal ini tidak perlu dirancukan dengan gagasan tentang kekuatan magis tersebut, karena kekuatan yang ditempa sang Salik itu hanya akan bekerja bila didasarkan pada niat yang murni dan dia terbebas dari keakuannya. Kemudian ia akan bertindak dengan caranya sendiri, bukan dengan cara yang bisa diantisipasi oleh sang Salik. Lantaran telah melewati jalan tersebut sebelumnya, hanya gurunya yang bisa menilai akibat apakah yang akan ditimbulkan dari pengungkapan (tersingkapnya tabir) semacam ini.

Di dalam tarekat-tarekat tersebut, ketika murid telah diterima untuk mendapatkan pelatihan di bawah seorang mursyid, ia harus dipersiapkan untuk menghadapi pengalaman-pengalaman yang tidak mampu dimengerti oleh jiwanya yang belum tercerahkan.3 Proses yang mengikuti pengondisian atau pemikiran otomatis, disebut sebagai "pengaktifan hal-hal yang pelik".

Tidak ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris untuk istilah teknis "kepelikan" itu. Kata asalnya adalah lathifah (jamak: lathaif). Kata ini diterjemahkan dengan "titik kesucian", "tempat pencerahan", "pusat realitas". Dalam rangka mengaktifkan unsur ini, maka suatu keadaan yang bersifat fisik teoritis ditetapkan dalam tubuh --umumnya dipandang sebagai pusat dimana kekuatan atau barakah terbukti paling kuat. Secara teoritis lathifah dipandang sebagai "suatu organ baru dari persepsi spiritual".

Akar kata dalam bahasa Arabnya berasal dari tiga akar kata LThF. Dari akar kata ini, istilah-istilah yang dipergunakan dalam bahasa Arab meliputi konsep-konsep kepelikan, kehalusan, keramahan, karunia atau kerelaan, kesamaran. Oleh karena itu, dalam ungkapan "seks yang lembut," kata yang diterjemahkan dengan "yang lembut" dalam bahasa Arabnya diambil dari akar kata ini.

Murid harus membangkitkan lima lathaif, menerima pencerahan melalui lima dari tujuh pusat komunikasi yang halus. Dengan dipimpin oleh pembimbing (Syekh), metode ini bertujuan memusatkan kesadaran pada kawasan tertentu dari tubuh dan kepala, masing-masing kawasan dihubungkan dengan fakultas-fakultas lathifah.

Karena setiap lathifah diaktifkan melalui latihan-latihan, kesadaran murid berubah untuk menampung kemampuan jiwanya yang lebih besar. Ia menembus kebutaan yang membuat orang awam tertawan dalam kehidupan dan seolah-olah hal itu tampak sebagai sesuatu yang wajar.

Oleh karena itu, dalam beberapa hal, pengaktifan pusat-pusat lathifah tersebut menghasilkan suatu sosok manusia baru. Untuk pembaca yang secara tidak sadar mengaitkan sistem ini dengan sistem-sistem lainnya yang mungkin menyerupainya, kita harus mencatat bahwa pengaktifan lathaif tersebut hanyalah satu bagian dari suatu perkembangan yang sangat komprehensif dan tidak bisa dilaksanakan sebagai suatu kajian individual.

Lima pusat tersebut dinamakan Hati, Ruh, Rahasia, Misterius dan Yang Sangat Tersembunyi. Tanpa membicarakan secara ketat suatu lathifah sama sekali, hal lain adalah Diri yang tersusun dari suatu kumpulan "diri-diri". Inilah keseluruhan dari apa yang oleh orang-orang dipandang sebagai kepribadian. Hal ini ditandai dengan serangkaian rasa dan kepribadian yang berubah-ubah dengan kecepatan gerak yang memberikan kesan kepada seseorang bahwa kesadarannya konstan atau merupakan suatu kesatuan. Padahal tidak demikian.

Kepelikan ketujuh hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah mengembangkan kepelikan-kepelikan (kesamaran-kesamaran) lainnya dan menjadi milik seorang arif sejati, pemegang dan penyampai ajaran.

Pencerahan atau pengaktifan salah satu atau lebih dari pusat-pusat lathifah tersebut mungkin terjadi secara parsial atau aksidental. Ketika hal ini teijadi, pada suatu waktu seseorang mungkin mencapai suatu pendalaman pengetahuan intuitif berkaitan dengan lathifah yang terlibat. Tetapi jika hal ini bukan suatu bagian dari perkembangan komprehensif, maka jiwa akan mencoba secara sia-sia untuk menyeimbangkan dirinya sendiri di sekitar "piala agung" ini, suatu tugas yang mustahil. Akibatnya bisa sangat berbahaya, seperti semua fenomena mental satu-sisi, dan meliputi anggapan-anggapan yang berlebihan tentang arti penting diri (ujub), munculnya sifat-sifat tercela, atau suatu pembusukan kesadaran karena membanggakan suatu kemampuan.

Latihan-latihan pernafasan atau gerakan-gerakan tari yang dilakukan dengan runtutan yang tepat juga bisa menghasilkan dampak yang sama.

Perkembangan yang timpang akan menghasilkan orang-orang yang mungkin mempunyai ilusi bahwa mereka adalah orang yang tercerahkan atau arif Akibat kekuatan inheren dari lathifah, orang semacam ini mungkin hidup di masyarakat luas dan menjadi panutan. Dalam diagnosa Sufi, tipe kepribadian seperti ini menyebabkan munculnya sejumlah besar guru-guru metafisika palsu. Tentu saja mereka sendiri merasa bahwa mereka asli. Ini karena kebiasaan menipu diri sendiri atau memperdaya orang lain belum dihilangkan. Justru kebiasaan tersebut didukung dan diperkuat oleh kebangkitan organ baru yang belum terarahkan, yakni lathifah.

Kawasan-kawasan yang terlibat dalam pengaktifan lathifah adalah: Diri (nafsu/hawa), di bawah pusar; Hati, tempatnya hati lahiriah; Ruh, pada sisi tubuh yang berhadapan dengan posisi hati. Rahasia lathifah tepat berada di antara Hati dan Ruh. Misteri berada di dahi; Yang Sangat Tersembunyi berada di otak.

Makna-makna aktual dari tempat-tempat ini berasal dari suatu realisasi khusus Sufi ketika lathifah yang dimaksud sedang diaktifkan. Ini hanyalah awal kajian sehingga mereka diberi tempat-tempat ini.

Di sekolah-sekolah darwis, ada hubungan dialogis khusus antara guru dan pelajar --sesuatu yang tidak mungkin terjadi kecuali ada seorang guru sejati yang hadir dalam komunitas tersebut, dan sampai pada kondisi-kondisi tertentu telah siap untuk komunikasi tersebut. Tentu saja dalam hal ini Sufisme berbeda dengan filsafat atau suatu praktik yang bisa dipelajari melalui tangan kedua.

Pertukaran khusus ini meliputi teknik-teknik yang disebut tajalli (penampakan). Tajalli mempengaruhi setiap orang meskipun hanya sedikit orang yang bisa memahaminya. Sebagai contoh, seseorang mungkin melihat bahwa dirinya "beruntung" atau "melakukan hal yang benar" atau ia "tidak salah langkah". Ini mungkin merupakan akibat aksidental dari tajalli. Karena tidak menyadari sumber fenomena tersebut, seseorang akan menisbatkan penyebabnya kepada sesuatu yang lain, katakanlah "nasib baik". Ia merasa senang karena seseorang memujinya atau karena gajinya naik. Semua ini merupakan alasan, rasionalisasi. Ini juga merupakan bentuk tajalli yang sia-sia, sebab operasinya mempunyai kandungan nilai dan bahkan manfaat yang melebihi manfaat-manfaat sekunder yang bisa menghangatkan hati dari penerima yang tidak menyadarinya. Akan tetapi karena tidak menyadari mekanismenya, ia tidak bisa melangkah lebih jauh dalam mendapatkan manfaat-manfaat tajalli.

Kondisi ekstatik (fana'), ketika manusia merasa dirinya menyatu dengan penciptaan, atau Pencipta, terpesona, sesuatu seperti rasa mabuk; ketika ia merasa telah memasuki surga; ketika semua rasa saling berganti atau menjadi satu --semua ini menyebabkan ketidakmampuan untuk menerima dan berpartisipasi dalam tajalli. Apa yang dianggap oleh individu sebagai suatu berkah sebenarnya merupakan meluapnya kemampuan. Ini seperti tumpahan cahaya yang dipancarkan pada mata seseorang sampai akhirnya ia buta. Ia mempunyai kemuliaan dan mengalami keterpesonaan. Tetapi ini tidak berguna, sebab ia menyilaukan.

Ada tahapan yang lebih lanjut, ketika kebutaan telah dihilangkan, dan ketika kepribadian berada dalam ketergantungan penuh dan cukup siap menerima tajalli. Kemudian ada ilusi tajalli, kadang-kadang berupa kepekaan rasa (kemampuan merasakan sesuatu sebelum terjadi), kadang-kadang berupa suatu refleksi yang berguna untuk kreativitas artistik atau kepuasaan diri, tetapi bagi seorang Sufi, ia merupakan suatu keadaan khayal. Hal ini mudah ditengarai, karena keadaan seperti ini tidak disertai dengan suatu akses pengetahuan. Keadaan ini mengaburkan keadaan sejati, karena semata-mata memberikan suatu sensasi pengetahuan atau kepuasan. Dalam pandangan ini, ia menyerupai suatu impian, dalam mana sebuah keinginan terasa terpenuhi, dengan demikian memungkinkan pemimpi yang gelisah tersebut melanjutkan tidurnya. Jika ia tidak memperoleh suatu hasil yang menggembirakan dari pikirannya sendiri dalam mengatasi masalahnya, maka ia akan terbangun dan menunda istirahatnya.

Tajalli palsu yang dialami oleh mereka yang tidak membawa perkembangannya kepada suatu cara yang seimbang, mungkin menimbulkan suatu keyakinan bahwa hal itu merupakan suatu keadaan mistis sejati, terutama jika terbukti bahwa kemampuan-kemampuan supranatural terlihat aktif dalam kondisi ini. Para Sufi memilah antara pengalaman ini dan pengalaman sejati melalui dua cara. Pertama, guru akan langsung mengenali keadaan palsu tersebut. Kedua, sebagai suatu masalah penyelidikan diri (muhasabah), ia selalu bisa ditengarai bahwa pencapaian-pencapaian persepsi itu tidaklah mengandung nilai kepastian. Sebagai contoh, mungkin ada suatu akses intuisi. Mungkin seseorang mengetahui perihal seseorang --membaca pikiran adalah suatu contoh. Tetapi fungsi aktualnya, nilai dari kemampuan membaca pikiran adalah tidak ada. Orang yang menderita karena tajalli palsu akan mampu menceritakan fakta tertentu atau seringkali fakta tentang orang lain yang menandakan kemampuan menembus batas-batas ruang dan waktu. Pengujian tajalli terhadap orang yang tidak bisa mengenali secara langsung apakah asalnya ia merupakan persepsi "supranatural" disertai oleh suatu peningkatan pengetahuan intuitif secara permanen --sebagai contoh, melihat segala sesuatu sebagai satu keseluruhan, atau mengetahui jalan yang akan diambil untuk pengembangan-dirinya, atau jalan yang sesuai bagi orang lain, atau melakukan "keanehan-keanehan". Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan bahwa keajaiban-keajaiban yang seringkali diceritakan para Sufi itu, tidak disebabkan oleh suatu jenis kekuatan sebagaimana dipahami secara umum: "Ketika engkau memperoleh pengetahuan Ilahiyah, maka engkau akan menyatu dengan kehendak Tuhan (sehingga) esensi keabadianmu tidak menerima hal-hal lainnya ... Orang-orang akan menisbatkan keajaiban-keajaiban kepadamu. Keajaiban-keajaiban itu seolah-olah berasal darimu, tetapi asal-usul dan kehendak tersebut adalah milik Tuhan." (Muqalah VI dari kitab Futuh al-Ghayb).

Seperti cabang-cabang lain dari tindakan Sufi, banyak hal-hal lainnya yang tidak dikatakan dan ditulis tentang kepelikan-kepelikan tajalli tersebut. Ini semua hanyalah berperan sebagai petunjuk, dan bisa jadi sama sekali keliru jika diterapkan tanpa memperhatikan kondisi-kondisi yang berlaku. Bagi Sufi, setiap situasi adalah unik dan tidak ada buku pegangan sebagaimana dipahami secara umum.

Di samping kesalahan yang bisa menghalangi sebagian besar orang dari apa yang mereka anggap sebagai suatu penyelidikan tentang pencerahan Sufi, praktik pengaktifan lathaif adalah sangat mendasar jika kemajuan (spiritual) yang sesungguhnya ingin dicapai. Guru sejati adalah guru yang mampu mendidik murid-muridnya dengan cara sedemikian rupa, sehingga kebangkitan dari kepelikan-kepelikan itu terjadi secara bersamaan dan sesuai dengan kemampuan individu. Pepatah mengatakan, "Berilah sebuah manisan kepada seorang anak, maka ia akan bahagia. Berilah ia sekotak besar manisan, maka ia akan sakit."

Dalam tahapan pengaktifan lathaif, murid pertama-tama harus mengenali pengaruh-pengaruh Diri terhadap kepribadiannya. Hal ini merupakan sesuatu yang diperkenalkan oleh gurunya. Maka dari itu, hampir sejajar tetapi sedikit di belakang perkembangan ini, ia mendapatkan pengaktifan lathaif-nya yang didorong oleh upaya-upaya sang guru. Ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dia mulai sendiri jika ingin berhasil.

Pengalaman Sufistik pertamanya akan terkait dengan pencerahan salah satu lathaif-nya. Sebelum tahapan tersebut dicapai, ia akan menemukan bahwa ia harus mengupayakannya sendiri di wilayah kepribadian. Jika ia terlalu banyak dan lama memusatkan perhatian pada masalah ke-Diri-an itu, maka guru akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam membangkitkan pencerahan lathifah. Dalam berbagai komunikasi dimana faktor ini tidak dipahami secara tepat, memperjuangkan diri menjadi hampir segalanya dan tujuan akhir upayanya. Keterpikatan terhadap guru tetap kuat dan pembebasan kepribadian tidak bisa dihasilkan.

Dalam bidang inilah dibandingkan bidang lainnya bahwa para okultis dan sekolah-sekolah yang terpilah-pilah, maupun orang-orang yang mencoba-coba secara mandiri, hanya akan menuju pada sistem-sistem pembiakan-diri bagi perjuangan-diri, tanpa memperoleh manfaat dari pengalaman itu, yaitu tajalli yang akan menunjukkan kepadanya bahwa mereka mampu mencapai perkembangan yang mereka cari. Dalam menerima seorang murid, guru selalu berhati-hati untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa (calon) murid tersebut memiliki kemampuan untuk maju melalui pemusatan-diri menuju pelepasan lathifah.

Secara umum, doktrin-doktrin Sufi dikaji dan sekaligus diamalkan secara kolektif dalam Tarekat-tarekat darwis. Ini berarti bahwa harus ada keseimbangan antara penyajian intelektual dan pemahaman suatu doktrin serta penerapannya. Selain itu harus ada keseimbangan antara serangkaian pemikiran dan pernikiran lainnya. Konsentrasi sebagai suatu metode melakukan latihan adalah satu hal; tetapi ia harus disesuaikan dengan penyerapan benturan-benturan pasif Bagaimana cara melakukannya adalah suatu bagian yang intim dan metodologi Tarekat-tarekat darwis sangat efektif.

Beberapa Tarekat mengkhususkan variasi teknik tertentu. Ketika seorang murid telah dibawa sejauh mungkin ke dalam sekolah dari sebuah Tarekat, dia mungkin dikirim ke (sekolah) lainnya untuk memberikan unsur-unsur spesifik kepadanya dari sekolah tersebut. Hal ini juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati, sebab pasti akan ada suatu perkembangan satu-sisi. Jika kemampuan-kemampuan tertentu ingin dikembangkan, maka hal ini harus dilakukan dengan cara sedemikian rupa untuk memberi peluang bagi perkembangan yang benar dan sejajar pada masa berikutnya di sekolah lainnya.

Di antara spesifikasi-spesifikasi dari sekolah-sekolah tersebut adalah latihan qiff (berhenti/diam), yaitu ketika seorang guru memberi aba-aba, "Berhenti!" dan semua gerak fisik dihentikan sampai dia membolehkan para murid untuk istirahat. Latihan tersebut diterapkan oleh para guru Tarekat Naqsyabandiyah, sebagai Latihan Rahasia Kesembilan dari Tarekat ini, dan menjadi suatu metode yang terbukti efektif untuk menembus jaringan pemikiran asosiatif serta memungkinkan terjadinya penyampaian barakah.

Suasana dalam sebuah sekolah Tarekat darwis bisa dirasakan melalui pernyataan di bawah ini sebagai wahana lahiriah dari kuliah pendahuluan oleh Syekh al-Masyaikh, yang ditujukan kepada sejumlah calon (murid) untuk memasuki Tarekat Azhamiyah baru-baru ini:

"Tujuan para Sufi adalah menjernihkan diri mereka sampai pada tingkatan tertentu sehingga mereka memperoleh pencerahan (anwar) dari apa yang kita sebut sebagai beberapa sifat Tuhan, atau Nama-nama Indah (Asma'ul-Husna). Tidak ada Sufi yang bisa menjadi bagian dari 'Susunan Tuhan' melalui pemurnian puncak semacam ini. Tetapi hanya dengan cara menghilangkan penderitaan material itu, dia bisa menghidupkan esensi sejatinya, apa yang bisa kita sebut sebagai ruh."

"Perhatianmu tergugah oleh anekdot yang diceritakan Allamah Sanai, dalam kitabnya Taman Kebenaran Berdinding. Dalam kitab ini ia menunjukkan bahwa persepsi agama yang dangkal tidaklah tepat, maka ketika aku berbicara tentang Tuhan, Ruh dan lainnya, engkau harus mengingat bahwa semua itu adalah hal-ihwal, sebagaimana ditekankan oleh Ibnu Arabi, yang tidak mempunyai kaitan secara tepat denganmu, dan yang harus dipahami, bukan semata-mata disebut dan dikaitkan dengan emosionalisme."

"Al-Allamah Sanai berkata:

'Seorang arif pernah bertanya kepada seorang yang (belum) tercerahkan, karena melihat ia mudah menerima asumsi-asumsi yang dangkal, 'Apakah engkau pernah melihat kunyit, atau hanya mendengarnya?'

Ia menjawab, 'Aku telah melihatnya, aku telah memakannya lebih ratusan kali (dalam nasi kuning).'

Allamah tersebut berkata, 'Baiklah! Tetapi apakah engkau tahu bahwa ia tumbuh dari sebuah biji? Bisakah engkau melanjutkan untuk berbicara seperti ini? Apakah orang yang tidak mengetahui tentang dirinya sendiri bisa mengetahui jiwa orang lain? Ia yang (hanya) tahu tentang tangan dan kaki, begaimana ia bisa mengetahui ketuhanan? ... Ketika engkau mengalami (sendiri), maka engkau akan mengetahui makna keimanan ... Keilmuan secara keseluruhan telah salah arah'."

"Selanjutnya, karena banyak perkembangan (rasional) telah merendahkan kilatan batin (ruh) dari sang Salik dan dengan demikian menghalangi kemajuannya menuju kesempurnaan. Untuk mengurangi perkembangan-perkembangan ini, latihan-latihan tertentu harus dilakukan. Latihan-latihan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang Salik. Bagaimana melakukan latihan ini secara tepat bergantung pada amalan dan pengetahuan dari seorang Pembimbing Khusus (mursyid, pir). Sebagian orang mempunyai kesan bahwa pencerahan ini bisa dicapai oleh seorang Salik dengan membaca kitab-kitab Tasawuf dan mempraktikkannya sendiri. Secara teoritis hal ini tidak kuat dan juga tidak dikenal dalam pengalaman mistik, jauh berbeda dari pengetahuan batin kami tentang kepalsuannya. Seorang mursyid tentu saja sangat penting."

"Istilah-istilah tertentu harus diperhatikan. Nafs dalam terminologi Sufi bermakna ego sekaligus 'nafas'. Bagaimana cara menggunakan kata tersebut adalah penting untuk diketahui dan dicapai dengan memperhatikan penerapannya dalam kenyataan aktual, bukan dengan membaca kamus semata. Sering dikatakan bahwa nafs al-ammarah (diri yang selalu memerintah) harus ditundukkan. Ini mungkin bermakna bahwa keinginan-keinginan serta sikap-sikap mental dan fisik tertentu harus dilihat untuk apa semua itu dan diperlakukan dengan selayaknya. Dalam penggunaan ini, kata tersebut terlihat bermakna diri atau ego. Dalam penggunaan lain, kata tersebut benar-benar berarti nafas. Sebagai contoh, dalam latihan yang dikenal dengan habs-i-dam, ia berarti 'penahanan pernafasan' di bawah pengawasan ketat seorang Mursyid yang menggunakan latihan ini untuk tujuan khusus dan terbatas."

"Kata bai'at berarti mengambil sumpah, ikrar, dan menandakan suatu peristiwa ketika seorang Salik meletakkan tangannya di antara tangan dari seorang Pembimbing Spiritual untuk melakukan ikrar ganda. Di pihak murid, mengikat dirinya untuk mencari Jalan yang ditunjukkan oleh pembimbing. Di pihaknya sendiri, berusaha membimbing sang Salik di Jalan tersebut. Ini merupakan saat yang khusus, khidmat dan penuh makna. Ada suatu interaksi ganda yang saling terkait dalam perjanjian tersebut, suatu hubungan berdasar perjanjian yang diresmikan melalui bai'at ini. Dalam konjungtur inilah seorang Salik diperbolehkan menyebut dirinya sendiri sebagai murid (orang yang berkehendak mencari), Orang yang Terarahkan."

"Istilah muraqibah meliputi bentuk-bentuk konsentrasi. Di dalamnya murid berusaha keras untuk menghilangkan pikiran-pikiran tertentu dari jiwanya dan memusatkan pada hal-hal yang akan memungkinkan pencerahannya dan meletakkan dasar kemantapan pribadinya. Istilah tersebut juga berkaitan dengan sikap duduk dengan kepala menunduk, dagu di lutut, suatu sosok Sufi yang benar."

"Kata dzikir secara harfiah berarti pengulangan atau bacaan. Kata ini menjelaskan tindakan dari seorang murid yang mengulang-ulang bacaan sebanyak yang telah ditentukan oleh mursyidnya. Dalam pengertian lain, ia juga disebut wirid."

"Istilah teknis tajalli, pencerahan, maupun nur (jamak: anwar) dihubungkan dengan proses pengaktifan menuju realitas independen melalui kekuatan yang terkandung dalam kekuatan Cinta. Dalam proses ini kita bekerja dengan Nama-nama yang Indah (Asmaul Husna). Meskipun secara umum dipandang berjumlah sembilan puluh sembilan, sesuai dengan jumlah biji tasbih Sufi, dalam pengertian ini nama-nama tersebut tidak terbatas. Dalam 'amalan' aktif, nama-nama tersebut pertama-tama terbatas pada nama-nama yang diperlukan untuk membantu mengaktifkan organ-organ persepsi dan komunikasi yang khusus."

"Tidak ada artinya sama sekali mengaktifkan organ-organ baru yang khusus bagi persepsi dan komunikasi kecuali jika pada saat yang sama individu tersebut mampu menyadari tentang apa yang dikomunikasikan, kepada siapa, dan mengapa. Peningkatan komunikasi dalam dirinya sendiri paling jauh terbatas pada bidang-bidang yang dimiliknya --di kalangan para intelektual yang menganggap bahwa mereka memiliki sesuatu untuk disampaikan. Sementara bagi kita sendiri, metode-metode masa kini sudah memadai untuk tujuan-tujuan biasa."

"Kata qalb (hati) mungkin bisa dipandang sebagai suatu lokalisasi anatomis dari organ yang harus dibangkitkan. Posisinya terletak di detak jantung fisikal yang biasanya ditentukan di dada kiri. Dalam kepercayaan dan amalan Sufi, organ ini dipandang sebagai tempat dari penglihatan batin utama dan awal yang terlibat dalam 'pencarian' dan 'kerja'."

"Pencerahan total terhadap organ ini dan organ-organ lainnya mendahului walayat al-Kubra (kewalian utama) sebagai tujuan Sufi dan sesuai dengan pencerahan dalam sistem-sistem lainnya. Pada tahapan ini ada kekuatan-kekuatan tertentu yang tampaknya mengendalikan fenomena alamiah. Harus diingat bahwa kekuatan-kekuatan ajaib tersebut berkaitan dengan suatu bidang dimana kekuatan-kekuatan tersebut menyatu dan bermakna dan tidak bisa diuji dari sudut pandang 'penjual-mantra'."

"Penyatuan yang dicapai Sufi itu disebut fana' (peleburan, peniadaan). Pelumpuhan diri tidak diperbolehkan dan pemeliharaan tubuh secara layak adalah penting."

"Sebelum latihan-latihan berlangsung, baik Keseimbangan yang Lebih Besar ataupun Keseimbangan yang Lebih Kecil harus telah dicapai oleh calon Sufi. Keseimbangan ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa manusia biasa tidak mampu berkonsentrasi sama sekali, kecuali untuk periode-periode yang sangat singkat. Dalam kitabnya Fihi Ma Fahi, Rumi menekankan hal ini, suatu persoalan yang paling penting dalam semua situasi pengajaran:

Perubahan-perubahan perasaan (dhamir) adalah milikmu, semua itu tidak terkendali. Jika engkau mengetahui asal-usulnya, maka engkau pasti mampu menguasainya. Jika engkau tidak bisa membatasi perubahan-perubahanmu sendiri, bagaimana engkau bisa membatasi perubahan-perubahan yang membentukmu?"

"Disamping kandungan formalnya, sejumlah besar puisi Sufi merujuk pada tingkatan-tingkatan keutuhan atau kemampuan untuk memusatkan jiwa sehingga bisa menemukan jalan menuju kebenaran tidak terpecah-pecah. Dalam kitabnya Kebun Rahasia, ketika Syabistari berbicara tentang suatu kilatan yang berputar dan hanya memberikan suatu ilusi bahwa ini membentuk suatu lingkaran cahaya, (sebenarnya) ia tengah membicarakan pengalaman Sufi yang dikenal oleh semua darwis, dalam suatu tahapan 'penghimpunan' tertentu."

Sebagaimana ditegaskan dalam praktik-praktik kerja Tarekat-tarekat (berbeda dari tarekat-tarekat yang mengkhususkan pada penyembahan orang suci), darwis percaya bahwa ada suatu keadaan khusus yang harus diaktifkan. Ini tidak bersifat emosional, dan bukan intelektual seperti pengalaman biasa. Rujukan-rujukan pada pencerahan, penjernihan dan pembedaan berkaitan dengan hal ini. Seorang darwis menjernihkan kesadarannya sehingga ia bisa menyadari keadaan-keadaan jiwa dan kondisi-kondisi realitas yang hanya dimengerti secara lahiriah oleh pikiran awam. Mungkin bisa dikatakan bahwa biasanya orang memahami pikiran dan emosi hanya sebagai suatu kuantitas. Segi yang lebih rumit tetapi sangat mendasar bagi kesempurnaan, yaitu kualitas, sulit untuk dilatih atau dijelaskan, dan oleh karena itu diabaikan oleh semua orang dengan memberikan perkiraan-perkiraan sangat kasar tentang kapasitas keseluruhannya.

Tentu saja persepsi tentang kepelikan-kepelikan yang tak terbatas ini tidak mungkin bagi orang awam. Seperti seorang anak kecil yang harus belajar membedakan antara benda-benda kasar dan halus, maka persepsi manusia yang masih mentah harus dilatih dalam hubungannya dengan hal ini.

Daya gerak utuh dari Organ Evolusi tersebut hanya akan bekerja jika sesuatu yang terkait dengan pelepasan telah dicapai. Hal ini hanya terjadi ketika persiapan-persiapan pendidikan tertentu telah dilakukan. Sebelum tahapan perkembangan kesadaran itu, berbagai pengalaman yang tidak dapat disangkal menandai tahapan-tahapan kemajuan tertentu. Pengalaman-pengalaman ini memberikan bukti atas kemajuan dan kekuatan individu untuk melanjutkan pada tahapan berikutnya. Jika ia tidak menerima pencerahan-pencerahan ini dalam rentetan yang benar, ia akan tinggal pada suatu tahapan kesadaran parsial atau kekuatan konsentrasi yang tidak teratur. Salah satu akibat yang tidak diinginkan dari perkembangan lanjut seperti ini adalah ketika calon Sufi itu tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan terhadap pengajarnya.

Jika apa yang disebut sebagai Organ Evolusi tersebut dikembangkan dan bisa bekerja, fungsi-fungsi instink, emosi dan intelek diubah serta bekerja dalam suatu suasana baru. Serangkaian pengalaman yang segar dan luas selalu terbuka bagi darwis.

Berbagai kemungkinan tak terbatas dan mekanisme yang saling terjalin terlihat dalam hal-hal yang sebelumnya tampak lamban atau digunakan terbatas. Sebuah contoh darwis terdapat dalam rujukan pengajaran pada pembolehan mendengarkan musik. Syibli al-Kubra mengatakan: "Mendengarkan musik dengan sengaja secara lahiriah tampak sebagai sesuatu yang merusak; secara batiniah ia merupakan suatu peringatan. Ketika 'Tanda' diketahui, maka orang semacam ini mungkin akan menyimak, karena dia mendengarkan sebuah peringatan. Jika dia tidak memiliki tanda tersebut (bangkitnya Organ Evolusi), berarti dia tengah menyerahkan dirinya kepada kemungkinan bahaya." Sifat sensual musik di sini disebutkan, begitu pula nilai musik yang semata-mata emosional dan secara intelektual terbatas. Semua ini berbahaya, sebab mereka mungkin membawa kepada sensualitas dan karena menghasilkan suatu selera bagi kegemaran sekunder (terhadap musik; karena seseorang bisa menikmati musik sebagai musik), maka ia akan menyelimuti kegunaan musik yang sesungguhnya, yaitu untuk mengembangkan kesadaran.

Ini merupakan pengertian musik yang bukan saja tidak dikenal di Barat, tetapi dengan keras disangkal oleh banyak orang di Timur. Karena kekhususan-kekhususan musik, sebagian Tarekat darwis, terutama Tarekat Naqsyabandiyah yang kuat dan sangat mampu beradaptasi, menolak untuk menggunakannya.

Demikian pula suatu spesialisasi dari sekolah-sekolah darwis menghargai nilai sejati puisi yang dipergunakan sebagai suatu latihan mistis. Setiap puisi mempunyai beberapa fungsi. Sesuai dengan "realitas"-nya, ia juga akan bermakna bagi Sufi. Dengan landasan-landasan teologis, semua Sufi memperbolehkan mendengar puisi, sebab Nabi Muhammad saw memperbolehkannya. Beliau pernah bersabda, "Sebagian puisi adalah hikmah," dan "Hikmah itu seperti unta betina milik orang saleh yang hilang. Kapan saja ia menemukannya, maka dialah yang paling berhak atasnya." Beliau sebenarnya menggunakan sebuah rima Arab untuk menegaskan tentang tema Sufi tentang suatu realitas sempurna yang tidak lain adalah Tuhan. "Pernyataan Arab yang paling benar terletak pada rima (ungkapan berirama) dari Labid bahwa 'segala sesuatu tidak penting kecuali Allah, karena peristiwa-peristiwa berubah'."

Ketika beliau diminta untuk mengomentari tentang puisi, Nabi saw menjawab, 'Apa yang baik darinya adalah baik, dan apa yang buruk darinya adalah buruk. " Ini merupakan diktum yang diikuti oleh para guru Sufi menyangkut pembolehan mendengar, membaca atau menulis puisi.

Tetapi, menurut guru besar Hujwiri, puisi secara esensial harus nyata dan benar. Jika ada kepalsuan dan ketidakbenaran didalamnya, maka ia akan meracuni pendengar, pembaca, dan penulisnya dengan kesalahan-kesalahannya itu.

Cara-cara puisi didengarkan dan kemampuan pendengar untuk mendapatkan manfaat darinya, adalah penting bagi Sufisme. Para guru darwis tidak akan memperbolehkan jika esensi yang sesungguhnya dari puisi tersebut bisa diapresiasi oleh mereka yang tidak dipersiapkan dengan benar untuk memahaminya secara utuh, meskipun demikian banyak orang yang mungkin meyakini bahwa dia tengah menggali keutuhan itu dengan mendengar sebuah puisi.

Hujwiri meneruskan diktum dari sekolah-sekolah darwis itu bahwa mereka yang terhanyut karena mendengar musik sensual adalah mereka yang mendengarkan dalam pengertian yang tidak sejati. Mendengarkan musik atau puisi yang sesungguhnya adalah suatu pengembangan, karena memberikan suatu jangkauan pengalaman-pengalaman yang jauh lebih beragam dan bernilai dibandingkan pengalaman-pengalaman yang bersifat lahiriah atau ekstatik. Meskipun demikian, dalam konteks kekinian hal ini hanya bisa diungkapkan dengan suatu pernyataan tegas dan tidak mudah diverifikasi di luar lingkungan Sufi.

Bagi Sufi, ada empat Perjalanan. Pertama adalah pencapaian suatu kondisi yang dikenal dengan fana', kadangkala diterjemahkan sebagai "peniadaan". Ini merupakan tahapan penyatuan kesadaran dimana Sufi merasakan harmoni dengan realitas obyektif. Hasil dari kondisi inilah yang merupakan tujuan dari Tarekat-tarekat darwis. Setelah ini masih ada tiga tahapan. Niffari, seorang guru besar pada abad kesepuluh, menggambarkan empat perjalanan tersebut dalam kitabnya, yaitu Muwaqif yang ditulis di Mesir hampir seribu tahun yang lalu.

Setelah ia mencapai tahapan fana', Sufi memasuki perjalanan kedua, di sini ia benar-benar menjadi "Insan Kamil" dengan kemantapan pengetahuan obyektifnya. Ini adalah tahapan baqa', permanensi. Sekarang ia bukan "manusia yang mabuk karena Tuhan", tetapi seorang guru dengan haknya sendiri. Dia memiliki gelar quthub, pusat magnetik, "suatu titik dimana semua mengarah kepadanya".

Dalam Perjalanan Ketiga, guru tersebut menjadi seorang pembimbing spiritual bagi setiap orang sesuai dengan individualitas pribadinya. Sementara jenis guru sebelumnya (pada Perjalanan Kedua) hanya mampu mengajar di dalam wahana budaya atau agama lokalnya sendiri. Jenis guru ketiga ini mungkin hadir menjadi berbagai sosok untuk berbagai tipe manusia. Ia bekerja dalam banyak tingkatan. Namun ia bukan "segala sesuatu untuk segala manusia" sebagai bagian dari suatu kebijakan yang terencana. Di sisi lain, dia bisa memberi manfaat kepada setiap orang sesuai dengan potensi orang tersebut. Sebaliknya guru dari perjalanan kedua hanya mampu bekerja dengan orang-orang tertentu.

Dalam Perjalanan Keempat, perjalanan akhir, Insan Kamil itu membimbing orang lain dalam tahap transisi dari apa yang secara umum dipandang sebagai kematian fisik, menuju suatu tahap pengembangan yang lebih jauh dan tidak terlihat oleh orang awam. Oleh karena itu, bagi darwis, pemisahan yang terjadi pada kematian fisik konvensional tidak ada. Suatu komunikasi dan pertukaran yang terus-menerus terjadi antara dirinya dan bentuk kehidupan berikutnya.

Dalam sebuah komunitas darwis, seperti dalam kehidupan biasa, pencapaian-pencapaian spiritual dari seorang individu Sufi mungkin tidak terlihat kecuali bagi mereka yang mampu memahami pancaran-pancaran (emanasi) dari suatu tataran yang lebih tinggi sebagai ciri darwis yang sebenarnya.

Tahapan-tahapan inilah yang dirujuk al-Ghazali dalam karya dasarnya, al-Ihya'. Dia mendekati deskripsi tentang tahapan-tahapan itu dari sudut pandang relevansi antara yang satu dengan lainnya dan fungsinya bagi dunia luar. Menurutnya, ada empat tahapan yang mungkin bisa dikiaskan dengan buah kenari. Pilihan (biji) kacang ini secara kebetulan, sebab dalam bahasa Persia, buah kenari disebut "berbiji empat" yang juga bisa diterjemahkan dengan "empat esensi" atau "empat akal". Biji kacang memiliki sebuah selongsong (kulit), sebuah kulit dalam, sebuah biji (inti) dan minyak. Selongsong rasanya pahit, berfungsi sebagai penutup selama periode tertentu. Selongsong ini dibuang ketika biji dikeluarkan. Kulit dalam lebih bernilai dari selongsong, tetapi tetap tidak bisa dibandingkan dengan biji itu sendiri. Sementara biji merupakan tujuan jika seseorang berusaha memeras minyaknya. Meskipun demikian daging dalam ini mengandung benda yang dibuang (ampas) untuk menghasilkan minyak.

Meskipun kitab Niffari termasyhur dan banyak dikaji oleh para sarjana, penerapan praktis metodenya dan penggunaan sesungguhnya dari istilah teknis waqfat yang dia gunakan, tidak bisa dipahami dengan hanya membacanya. Meskipun istilah waqfat terkait dengan "Jeda Ketuhanan" dan latihan "Penghentian" yang memungkinkan seseorang menembus ruang dan waktu, sebenarnya ia merupakan faktor yang sangat rumit dan hanya secara kasar ditunjukkan oleh istilah. Sebagai contoh, ia juga memiliki sifat penyinaran yang menghilangkan kegelapan karena keanekaragaman (wujud) ini. Keanekaragaman disebabkan oleh pemahaman fenomena sekunder sebagai fenomena utama, atau melihat pembedaan (diferensiasi) sebagai perbedaan itu sendiri. Pada tahapan-tahapan paling awal dari latihan darwis, hal ini dijelaskan melalui contoh-contoh dan latihan-latihan sehingga ketika seseorang tengah bekerja dengan konsep "buah", dia tidak boleh memusatkan dirinya dengan jenis-jenis buah yang sangat beraneka ragam, tetapi dengan konsep yang mendasar dari buah tersebut.

Sebuah sekolah darwis, baik yang ada di biara atau di kedai minum Eropa Barat, mempunyai makna yang sangat mendasar bagi Sufisme, karena di dalam situasi sekolah itulah bahan-bahan seperti tulisan-tulisan Niffari dikaji dan diamalkan sesuai dengan ciri-ciri khas murid dan kebutuhan-kebutuhan sosial dimana dia bekerja di dalamnya.

Karena itulah perkembangan Sufi harus mengambil akar dalam suatu cara tertentu di berbagai masyarakat yang berbeda-beda. Ia tidak bisa diimpor. Begitu juga metode-metode amalan yang sesuai dengan Mesir atau Yoga India abad kesepuluh, tidak bisa bekerja secara efektif di Barat. Cara-cara tersebut bisa menaturalisasikan dirinya, tetapi dengan cara mereka sendiri. Pesona misteri dan pesona Timur yang penuh warna itu selama berabad-abad telah mengaburkan pikiran Barat tentang kenyataan bahwa pengembangan manusia itulah yang menjadi tujuan, bukan tarian-tariannya.

Catatan:

1 Kasyful-Mahjub (Mengungkap yang Terhijab).

posted by Jalan trabas @ 19:46   0 comments